Struktur Majemuk Masyarakat Indonesia


Struktur Majemuk Masyarakat Indonesia
Struktur Masyarakat Indonesia
Indonesia merupakan negara yang merdeka sekitar abad pertengahan ke-20, terdiri dari ribuan pulau yang di pisah oleh beberapa samudera tak heran Indonesia menjadi negara yang memiliki keragaman dalam berbagai hal baik itu dalam hal agama, etnis dan budaya. Dalam pembahasan kali ini, penulis akan membahas tentang bagaimana struktur masyarakat Indonesia yang ada di zaman Kolonial Belanda hingga pasca kemerdekaan seperti saat ini, mengkaji masyarakat majemuk dari berbagai tokoh yang ada serta mengetahui ciri-ciri masyarakat prularisme, 
Dalam melihat struktur masyarakat Indonesia dapat ditandai oleh dua ciri yang memiliki sifat unik. 
Secara horizontal ditandai dengan kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertical, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertical antara lapisan atas dan lapisan bawah yang tajam. Dari kedua ciri tersebut perbedaan-perbedaan suku-bangsa, agama, adat dan kedaerahan merupakan ciri masyarakat majemuk .

Definisi Masyarakat Majemuk Dari Berbagai Tokoh Ahli

 Istilah masyarakat majemuk pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall untuk mengambarkan masyarakat indonesia pada masa Hindia-Belanda. Pengertian masyarakat majemuk menurut Furnivall adalah merupakan suatu masyarakat majemuk (plural societies) yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Masyarakat majemuk di Indonesia disebut sebagai suatu tipe masyarakat daerah tropis di mana yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras. Contohnya orang-orang belanda sebagai golongan minoritas namun memiliki peran dalam penguasaan dalam memerintah Indonesia sementara golongan pribumi memiliki peranan sebagai warga negara kelas tiga di negerinya sendiri.  Sedangkan kelas kedua ditempati oleh orang-orang Tionghoa, sebagai golongan terbesar diantara orang asia timur lainnya. 
Di kehidupan politik, pertanda masyarakat Indonesia yang nampak jelas adalah masyarakat Indonesia bersifat majemuk dimana tidak adanya kehendak bersama (common will). Karena masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan elemen-elemen yang terpisah atau perbedaan ras, yang merupakan kumpulan individu yang bersifat organis sehingga sebagai individu kehidupan mereka tidaklah utuh. Contohnya yakni orang-orang Belanda yang datang ke Indonesia untuk bekerja, mereka menganggap masalah-masalah kemasyarakatan politik ekonomi yang terjadi di Indonesia tidak sebagai warga negara melainkan sebagai kapitalis dan warga pribumi merupakan buruh-buruh mereka. Adapun juga orang Tionghoa yang datang ke Indonesia semata-mata untuk kepentingan ekonomi. Secara keseluruhan masyarakat Indonesia tumbuh diatas dasar sistem kasta tanpa ikatan agama, nah dari cara hidup mereka masing-masing hasilnya masyarakat Indonesia yang sebagai keseluruhan tidak memiliki kehendak bersama (common will). 
Dalam kehidupan ekonomi jika tidak adanya kehendak bersama maka tidak ada permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat (common social demand).  Kebutuhan-kebutuhan keagamaan, politik, dan keindahan semua meerupakan kebutuhan kultural, memiliki aspek ekonomi oleh karena semuanya pada akhirnya menyatakan diri secara terorganisir hanya sebagai kebutuhan-kebutuhan ekonomi, yakni sebagai permintaan dan demand masyarakat sebagai keselurhan. Namun pada jika dilihat  di Indonesia pada masa Hindia-Belanda permintaan masyarakat tidaklah terorganisir,, melainkan bersifat seksional (sectional), dan tidak permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua elemen masyarakat. Golongan Eropa, Tionghoa, dan golongan pribumi, masing-masing memiliki pola permintaannya sendiri-sendiri. 

Tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua elemen masyarakat menjadi sumber yang membedakan karakter daripada ekonomi majemuk (plural economy) dari suatu masyarakat majemuk, dengan ekonomi tunggal (unitary economy) dari suatu masyarakat yang bersifat homogeneous. 
Apabila proses ekonomi di dalam masyarakat yang berisfat homogeneous dikendalikan oleh adanya common will. Maka hubungan-hubungan sosial di antara elemen-elemen masyarakat majemuk sebaliknya semata-mata dibimbing oleh proses ekonomi dengan produksi barang-barang metrial dengan tujuan utama daripada kehidupan masyarakat. Jadi penggolongan masyarakat terdiri atas dasar perbedaan ras, maka pola produksi pun terbagi diatas dasar perbedaan ras pula, dimana dalam masing-masing ras memiliki fungsi produksi sendiri-sendiri. Contohnya orang-orang Belanda dalam bidang perkebunan, penduduk pribumi dalam bidang pertanian dan orang-orang Tionghoa sebagai  kelas pemasaran yang menjadi perantara diantara keduanya. 
Dalam setiap masyarakat selalu ada konflik kepentingan anatara kota dan desa, antara kaum modal dan kaum buruh, akan tetapi di masyakarakat majemuk konflik kepentingan lebih tajam akibat dari perbedaan kepentingan ekonomi jatuh bersamaan dengan perbedaan ras. Menurut Furnivall, keadaan masyarakat Indonesia pada masa kini jauh berbeda dengan masa Hindia-belanda, jadi pengertian masyarakat majemuk yang digambarkan oleh Furnivall tidak dapat begitu saja diberlakukan untuk melihat masyarakat Indonesia pada masa sekarang.
Dengan kata lain, Furnivall mencoba menggambarkan adanya piramida struktur masyarakat Indonesia pada masa kolonial Hindia-Belanda. Struktur masyarakat Indonesia pada masa kolonial terdiri atas orang-orang Eropa yang menduduki strata sosial atas, orang-orang Timur Asing (Arab, India, dan Tionghoa) yang menduduki strata sosial menengah, dan orang-orang pribumi yang menduduki strata sosial bawah. Bagi Furnivall, ia melihat masyarakat majemuk berdasarkan perbedaan dari dua atau lebih kelompok-kelompok yang secara budaya dan ekonomi terpisah serta hidup tanpa ada pembauran satu sama lain dalam satu kesatuan politik.

Kemudian tokoh lainnya, Clifford Geertz mendefiniskan masyarakat majemuk sebagai masyarakat yang terbagi atas subsistem-subsistem yang lebih kurang berdiri sendiri dan dipersatukan oleh ikatan-ikatan primordial. Subsistem-subsistem tersebut yang hidup terpisah tersebut diintegrasikan oleh adanya kesamaan ras, etnis, agama, dan budaya, dapat disimpulkan bahwa Geertz melihat kemajemukan masyarakat indonesia lebih ke arah internal suatu bangsa.
Dengan cara yang lebih singkat, Pierre L. Van den Berghe (1967) menyebutkan beberapa karakteristik berikut sebagai sifat-sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk, yakni : 
(1) terjadinya segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki kebudayaan yang berbeda satu sama lain,  (2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplementer, (3) kurang mengembangkan konsensus diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar, (4) secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain; (5) secara relatif integarasi sosial tumbuh diatas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi; (6) serta adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain. 

Oleh karena itu maka Van Den Berghe menganggap masyarakat majemuk tidak dapat digolongkan begitu saja ke dalam salah satu diantara dua jenis masyarakat menurut Emile Durkheim. Suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, akan tetapi sekaligus juga tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki differensiasi atau spesialisasi yang tinggi.
Setelah mengetahui pemaparan oleh beberapa tokoh di atas, Indonesia merupakan negara yang memilki masyarakat yang bersifat majemuk. Namun definisi mengenai kemajemukan masyarakatnya akan berubah seiring berkembangnya negara ini. Furnivall mengartikan pluralitas masyarakat Indonesia pada masa kolonial Hindi-Belanda berdasarkan golongan yang ada pada masa tersebut seperti golongan Eropa, golongan Tionghoa dan golongan pribumi. Namun ketika Indonesia mengalami kemerdekaan. Konsep kemajemukannya lebih ditekankan dalam masyarakat pribumi itu sendiri karena pada saat pasca kemerdekaan golongan Eropa telah meninggalkan Indonesia dan membuat golongan Eropa tidak termasuk kedalam sistem sosial masyarakat Indonesia.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pluralitas di Indonesia

Ada beberapa faktor mengapa pluralitas masyarakat Indonesia dapat muncul. Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap pluralitas suku bangsa di Indonesia. Isolasi geografis mengakibatkan penduduk yang menempati suatu pulau atau sebagian dari suatu pulau di Nusantara tumbuh menjadi kesatuan suku-bangsa yang sedikit banyak terisolasi dari kesatuan suku-bangsa yang lain. Tiap kesatuan terdiri dari sejumlah orang yang mempunyai ikatan emosional, serta memandang diri mereka sebagai suatu jenis tersendiri. Pada umumnya, mereka memiliki bahasa dan warisan kebudayaan yang sama. Lebih dari itu, mereka mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturuan yang sama, suatu kepercayaan yang kerap didukung oleh berbagai mitos yang hidup bersama dengan masyarakat.
Hildred Geertz menyebutkan ada lebih dari 300 suku-bangsa di Indonesia masing-masing dengan bahasa dan identitas yang berbeda-beda. Skinner menyebutkan adanya lebih dari 35 suku-bangsa di Indonesia, Skinner juga menggambarkan perbandingan besarnya suku-bangsa tersebut. Beberapa suku-bangsa yang tergolong paling besar di antaranya, yakni Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, dan Bugis.
Dalam pengertian suku-bangsa, orang-orang Tionghoa merupakan salah satu suku-bangsa di antara berbaga suku-bangsa di Indonesia. Berdasarkan angka statistik tahun 1956 dalam laporan Biro Pusat Statistik (BPS), berdasarkan perkiraan pertambahan penduduk golongan Tionghoa sebesar 3 persen, serta kurang lebih 100.000 orang Tionghoa yang kembali ke negeri Tiongkok selama tahun 1959 dan 1960, Skinner memperkirakan jumlah orang Tionghoa yang tinggal di Indonesia pada tahun 1961 ada kurang lebih 2,45 juta orang, sementara orang-orang Indonesia yang tergolong pribumi pada waktu itu kira-kira 90.882 juta orang. Meskipun jumlah orang-orang Tionghoa tidak sebesar orang-orang Indonesia pribumi, namun kedudukan mereka sangat kuat termasuk dalam bidang ekonomi, hal ini mempoengaruhi hubungan mereka dengan suku-bangsa yang lain terutama dengan golongan pribumi.

Faktor yang kedua, yakni Indonesia terletak di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Letak Indonesia yang berada di tengah-tengah lalu-lintas perdagangan laut melalui kedua samudera tersebut, maka masyarakat Indonesia sudah sejak lama memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui para pedagang asing. Pengaruh pertama kali yang mempengaruhi masyarakat Indonesia berupa pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha dari India sejak 400 tahun sesudah masehi. Hinduisme dan Budhaisme pada waktu itu tersebar meliputi daerah yang cukup luas di Indonesia, serta melebur bersama-sama dengan kebudayaan asli yang telah hidup lebih dahulu. Namun pengaruh agama Hindu dan Budha sangat kuat tertanam di pulau Jawa dan Bali hingga saat ini.
Pengaruh kebudayaan Islam mulai memasuki masyarakat Indonesia sejak abad ke-13, akan tetapi proses penyebaran baru meluas pada abad ke-15. Agama Islam memperoleh pengaruh yang kuat di daerah-daerah dimana pengaruh agama Hindu dan Budha tidak cukup kuat. Di daerah seperti Jawa Tengah dan Jawa timur mempunyai pengaruh agama Hindu dan Budha yang cukup kuat, suatu kepercayaan keagamaan yang bersifat sinkretik (syncretic), dimana kepercayaan animisme-dinamisme bercampur dengan kepercayaan agama Budha, Hindu, dan Islam.

Hasil semua pengaruh kebudayaan yang kita jumpai dalam bentuk pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Di luar jawa, timbulnya golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah yang strategis berada di dalam jalur perdagangan internasional, golongan Islam konservatif tradisionalis di daerah pedalaman, golongan Kristen (Katolik dan Protestan) di daerah-daerah Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Tapanuli, dan beberapa daerah di Kalimantan Tengah, serta golongan Hindu Bali (Hindu-Dharma) terutama di pulau Bali. Di pulau Jawa, kita menjumpai golongan Islam modernis terutama di daerah pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan kebudayaan pantainya, serta sebagian besar daerah Jawa Barat; golongan Islam konservatif-tradisionalis di daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan golongan Islam nominal yang disebut sebagai golongan abangan, terutama di daerah-daerah jawa Tengah dan Jawa Timur, serta golongan minoritas Kristen yang tersebar hampir di setiap daerah perkotaan di pulau Jawa.
Iklim Indonesia yang memiliki perbedaan merupakan faktor yang menciptakan pluraitas regional Indonesia. Hal ini akan menciptakan dua macam lingkungan ekologi yang berbeda seperti terdapat daerah pertanian sawah yang dapat kita temukan di pulau Jawa dan Bali, kemudian daerah pertanian ladang yang ditemukan daerah yang berada di luar pulau Jawa. Karena perbedaan yang cukup kontras akan berpengaruh ke dalam bidang lainnya bukan hanya dalam hal pangan saja. Pulau Jawa memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi dibandingkan penduduk yang ada di luar pulau Jawa, tercatat pada tahun 1930 dan 1961 sebagai berikut;
Dari data yang diperoleh dari Karl J Pelzer, Physixal and Human Recourse Pattern dalam Nasikun (1993) menjelaskan bahwa pulau Jawa memiliki luas daerah sebesar 132.174 KM2 (6,94%) dan daerah luar Pulau Jawa memiliki luas daerah sebesar 1.722.171 KM2 (93,06%) dengan tingkat penduduk  pada tahun 1930, daerah pulau Jawa memiliki penduduk 41.718 (68,70%) sedangkan luar Jawa memiliki penduduk 19.009 (31, 30%). Kemudian pada tahun 1961 dengan angka masing-masing Pulau Jawa memilki jumlah penduduk sebesar 63.059 (64,95%) dan luar pulau Jawa memiliki penduduk sebesar 34.026 (35,05%). 

Dari data diatas dapat kita lihat bahwa masyarakat yang tinggal di daerah pulau Jawa hanya dapat mengolah tanahnya hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar saja, hal ini disebabkan oleh tingginya kepadatan penduduk yang terjadi di daerah Pulau Jawa namun tidak diiringii dengan luas lahan tanah yang tersedia hingga pada akhirnya rata-rata petani yang tinggal di pulau Jawa hanya memiliki tanah seluas kurang dari setengah hektar. Berbeda dengan masyarakat yang berada di luar Pulau Jawa dapat memproduksi pertaniannya untuk kebutuhan pasar karena luas lahan serta sedikitnya masyarakat yang tinggal di daerah luar pulau Jawa.

Kemudian perbedaan selanjutnya dapat kita lihat dalam bidang sosial-budaya. Desa-desa yang ada di pulau Jawa tidak mungkin sepenuhnya berdiri sendiri sebagai selfsufficient unit. Mengingat sistem pertanian yang membutuhkan kerjasama dalam memelihara irigasi antar desa. Keadaan lebih lanjut membuat masyarakat membutuhkan unit kemasyarakatan untuk mengintegrasikan berbagai hal desa tersebut, hingga pada akhirnya berkembanglah kerajaan di pulau Jawa yang dimana rakyatnya membayar pajak dan kerajaan menyediakan pelayanan birokrasi serta perlindungan. 
Dengan kata lain sistem pertanian sawah di Jawa mendorong tumbuhnya suatu tertib kemasyarakatan yang berdasarkan kekuasaan di daratan. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya kerajaan besar seperti kerajaan Majapahit yang berada di daerah pulau Jawa. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa daerah-daerah luar pulau Jawa tidak dapat mengembangkan daerahnya menjadi lebih baik, hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan kerajaan besar lainnya seperti Sriwijaya yang memanfaatkan kekuasaan yang berada di lautan menjadi sebuah keunggulan mereka melalui jalur perdagangan.

















DAFTAR PUSTAKA

Nasikun. Sistem Sosial Indonesia.  Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1993

No comments:

Post a Comment

Kepercayan, sistem pemerintahan Bangsa inca, Bangsa Maya, bangsa Aztec dan peradaban india kuno

1   Kepercayaan dan sistem pemerintahan Bangsa Inca, bangsa maya dan bangsa Aztec Kepercayaan Bangsa Inca: Masyarakat Inca perca...