Sosiologi Indonesia : Orde Baru, Pasca Orde Baru, dan Globalisasi

Sosiologi Indonesia : Orde Baru, Pasca Orde Baru, dan Globalisasi


Bayang-bayang sosiologi Indonesia
Awal mula sosiologi Indonesia muncul yaitu sejak sosiologi dikenal sebagai pelajaran dalam perkuliahan ilmu hukum di era kolonialisme hingga fase awal pelembagaan sosiologi yang banyak dipengaruhi oleh tradisi keilmuan Amerika Serikat, dengan penekanan utama pada masa orde baru. Hal tersebut dilanjutkan dengan bagaimana paradigma kritis muncul dan berkembang kembali menjelang tumbangnya rezim Suharto hingga pada situasi saat ini dimana semakin banyaknya berbagai variasi teori dan metodologi, dengan beragamnya bentuk mobilitas dalam era globalisasi ditopang dengan kemajuan teknologi sampai melahirkan pola-pola interaksi social yang termediasikan oleh media baru dan melampaui pemaknaan konservatif menuju paradigm konteporer seperti postmodern.
Aguste Comte merupakan pencetus sosiologi dalam makna sebuah ilmu pengetahuan masyarakat (sosial) ditahun 1839 yang diilhami oleh kelahiran masyarakat baru saat industrialisasi mulai tumbuh dan berkembang di Eropa. Kelahiran sosiologi merupakan reaksi atas revolusi industri dan perkembangan kapitalisme yang menimbulkan masalah serta perubahan-perubahan social terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Baik perkembangan sosiologi awal di Eropa maupun yang berkembang pesat di Amerika Serikat (AS), keduanya akan sangat menentukan dan mempengaruhi perkembangan sosiologi Indonesia sejak masa penjajahan Belanda hingga saat ini. Pemikiran-pemikiran sosiologi klasik misalnya, tampak lebih awal mempengaruhi sosiologi Indonesia yag mulanya dibawa oleh ilmuwan-ilmuwan social Belanda. Ditemukannya sejumlah karya yang telah menggunakan pendekatan sosiologis seperti metodologi dan pemikiran Max Weber dalam penelitian J.C. van Leur tentang proses pelembagaan agama Hindu di masyarakat Jawa, kemudian D. M. G. Koch yang menganalisa gerakan nasionalis dengan penekanan pada sosiologi agama yang dielaborasi dari karya Weber, The Protestant Ethbic and The Spirit of Capitalism, serta analisa ahli sosiologi B. Schrieke mengenai sejarah Indonesia khususnya terhadap struktur politik di Kerajaan Mataram. Konsep Durkheimian juga dapat dilihat pada penelitian de Kat Angelino terhadap kebijakan pemerintah colonial Hindia-Belanda.
Adapun salah satu lembaga yang menjadi salah satu bentuk perhatian dunia akademis Amerika Serikat (AS) yang juga berperan penting dalam perkembangan sosiologi Indonesia hingga saat ini yaitu sekumpulan akademisi dari beberapa perguruan tinggi yang mulai menaruh perhatian seperti pendirian Cornell Modern Indonesian Project di Universitas Cornell yang diprakasai George Kahin. Penelitian Kahin mengenai revolusi dan nasionalisme  Indonesia misalnya, di satu sisi membuka jalan bagi ketertarikan awal Amerika Serikat secara umum terhadap Indonesia sebagai Negara baru yang lepas dari pengaruh kolonialisme, dan motif ekonomi yang berada pada prioritas utama, meskipun faktor profesionalisme Kahin sebagai peneliti juga tidak dapat dikesampingkan. Namun, di sisi lain, penelitian Kahin tersebutlah yang akhirnya membuat ia dekat dengan tokoh-tokoh pemimpin nasional pada periode awal kemerdekaan itu serta banyak mendapat bantuan secara personal oleH Selo Soemardjan, kemudian bersama ilmuwan-ilmuwan sosial Indonesia lainnya seperti Harsja W. Bachtiar dan Sulaiman Sumardi, mendapatkkan akses beasiswa studi lanjut di Amerika Serikat, yang kemudian hari pemikiran-pemikiran mereka sangat berpengaruh besar dalam perkembangan sosiologi awal di Indonesia.
Corak Amerika tidak hanya dilihat dari jenjang studi yang memang sebagian besar ditempuh diperguruan tinggi Amerika Serikat, namun juga dilihat dari hasil penelitian sosiolog-sosiolog Indonesia tersebut seperti “Perubahan Sosial di Yogyakarta”/Social Changes in Yogyakarta oleh Selo Soemardjan; “Pembentukan Negara Indonesia”/ The Formation of the Indonesian Nation oleh Harsja Bachtiar; dan Sulaiman Sumardi yang focus pada politik wilayah dan birokrasi di Jawa Barat (“Some Aspect of The Social Origin of Indonesian Political Decision Makers”); serta perubahan struktur masyarakat di Jawa oleh Soedjito Sosrodiharjo langsung dibawah bimbingan tokoh-tokoh sosiologi seperti Robin M. Williams, Jr., Neil J. Smelsert, George C. Homans, dan Talcott Parsons. Pilihan penelitian mereka pada epistemology positivisme dan teori structural-fungsional yang memang sedang pesat berkembang di Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II di kemudian hari cocok dan bersinergi dengan ideology pembangunanisme yang diambil pemerintah Orde Baru. Jika di masa awal kemerdekaan Indonesia, pengadopsian konsep-konsep sosiologi Amerika terutama perspektif Parsonian berjalan seiring dengan proses dialog dan kerjasama membangun jaringan internasional antara peneliti Indonesia dan Indonesianis Amerika, maka sekembalinya sosiolog-sosiolog Indonesia menempuh studi di Amerika Serikat, mereka turut berjasa dalam proses penyebarluasan, pengembangan dan pelembagaan sosiologi secara massif di Indonesia sejak tahun 1960-an.

B. Modernisasi dan Pembangunan Sebagai Karakter Sosiologi Indonesia
Singkatnya, perjalanan Sosiologi Indonesia telah berlangsung sejak masa kolonialisme, orde lama, orde baru, hingga masa reformasi. Namun, yang menjadi fokus utama dalam Sosiologi Indonesia sendiri hanyalah pada masa orde baru. Hal ini terkait erat dengan bagaimana pada masa orde baru, Soeharto, yang pada waktu itu menjabat sebagai presiden kedua NKRI menjadikan ide-ide dari modernisasi dan pembangunan sebagai dalih menjawab persoalan bangsa terkait kemiskinan dan kesejahteraan sosial.
Perlu digaris bawahi bahwa gagasan-gagasan mengenai modernisasi dan pembangunan juga erat kaitannya dengan kekuasaan yang “represif” dan “prohibitif” karena dikendalikan oleh institusi negara. Tujuan dari pemerintah yang memiliki kekuasaan, atau khususnya yang terjadi pada masa orde baru di Indonesia sendiri adalah agar rakyat tunduk dan patuh atas segala kehendak rezim.
Terdapat dua hal yang dijelaskan dalam sub bab mengenai modernisasi dan pembangunan ini, yakni mengenai: (1) Bagaimana pembangunan menjadi diskursus sentral, baik di kalangan akademis maupun pemerintah di masa orde baru; dan (2) Bagaimana Sosiolog-sosiolog Indonesia menjawab tantangan modernisasi, baik dalam tataran praktik maupun diskursus selama masa orde baru.
Sebelum menjawab pertanyaan yang pertama, sang penulis mengemukakan terlebih dahulu jawaban dari nomor dua. Sedikitnya terdapat tiga tantangan bagi masyarakat Indonesia, khususnya para Sosiolog yang pada akhirnya membuat Amerikanisasi ilmu sosial lahir dan berkembang di Indonesia:
1. Banyak kesalahpahaman diantara masyarakat yang mengira bahwa modernisasi merupakan tujuan akhir dalam mencapai kemajuan dan perkembangan ketika sebenarnya di dalam sudut pandang Sosiologi, sejak awal modernisasi hanyalah ditempatkan sebagai objek kajian yang proses transformasinya di kawal hingga kini. Ditambah, pengikut mahzab Frankfurt seperti Habermas juga menolak ide modernitas dan menganggap konsepsi masyarakat modern belumlah final.
2. Di lingkup pemerintah, teori modernisasi memainkan peran kunci dalam konsolidasi pembentukan gagasan pembangunan sistem politik dan ekonomi, yang kemudian membuat praktik-praktik korupsi tingkat nasional merajalela di Indonesia.
3. Semasa orde baru, ilmu sosial seperti Ilmu Ekonomi, Ilmu Politik, dan Sosiologi selalu menjalin hubungan linier terhadap kekuasaan negara (program dan kebijakan pemerintah). Hal ini yang kemudian memunculkan kontroversi, karena sifat awal ilmu sosial yang tadinya bebas nilai kemudian bergeser sifatnya menjadi tidak bebas nilai. Maksudnya adalah dimana tidak ada lagi jarak atau pembatas antara kepentingan dan pengetahuan.
Selanjutnya, mengenai cara Sosiolog di Indonesia menjawab tantangan modernisasi. Diantaranya adalah:
1. Koentjaraningrat, Harsja W. Bachtiar dan Selo Soemardjan menyunting dan membuat tulisan mengenai Metodologi Penelitian Masyarakat (1973) sebagai upaya untuk mengorientasikan ilmu sosial di Indonesia kepada empirisme gaya Amerika Utara.
2. Koentjaraningrat, di dalam bukunya The Social Sciences in Indonesia, memainkan peran intelektual yang cukup penting dalam proses nation-building dan modernisasi yang berlangsung di bawah naungan negara.
3. Dibangunnya Lembaga Kemasyarakatan dan Ekonomi Nasional (LEKNAS) LIPI yang menjadi wadah cukup berpengaruh dalam menghimpun peneliti-peneliti Sosiologi, Ekonomi, Demografi, Antropologi, dan Sejarah yang melakukan kajian dan penelitian ilmu sosial yang bersifat integral, dengan memperhatikan segala aspek sosial dan ekonomi. Juga, selanjutnya meluaskan jaringan pusat-pusat penelitian sampai ke daerah sebagai upaya untuk menunjang pembangunan yang disebar ke daerah.
4. Banyak ilmuwan sosial yang selanjutnya menjadi birokrat-penasehat, seperti Selo Soemardjan, Harsja W. Bachtiar, dan Soelaiman Soemardi yang memegang jabatan di lingkaran kekuasaan negara.
5. Sedangkan diskursus yang selalu menjadi pembahasan para ilmuwan sosial, berlangsung pada pertemuan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS). Isu yang diangkat adalah apakah penelitian sosial (terkait ide-ide modernisasi dan pembangunan) dapat memberikan sumbangan kepada perumusan kebijakan pemerintah..
Beralih kepada pertanyaan pertama dari sub bab ini—Bagaimana pembangunan menjadi diskursus sentral, baik di kalangan akademis maupun pemerintah di masa orde baru. Tentunya, hal ini bermula dari janji Soeharto yang menggunakan demokrasi Pancasila dalam mengupayakan perkembangan dan kemajuan Indonesia di masa kekuasaannya. Namun, di dalam praktiknya demokrasi pancasila hanya sebagai simbolis dari rezim Soeharto, dimana aktualisasi kekuasaan rezim ini adalah otoritarianisme atau mengacu kekuasaan pada satu orang yaitu Soeharto sendiri.
Dalam hal ini, kata “pembangunan” menjadi diskursus sentral masa orde baru guna membedakannya dengan orde lama Soekarno. Pembangunan dipandang sebagai upaya yang paling tepat untuk mengimplementasikan Pancasila, sehingga setiap orang di negeri ini wajib untuk mendukungnya. Ide-ide mengenai pembangunan termasuk modernisasi di dalam pemerintahan Soeharto selanjutnya ia kemas ke dalam Trilogi Pembangunan. Lebih jelasnya, Trilogi Pembangunan adalah wacana pembangunan nasional yang dicanangkan oleh rezim orde baru sebagai landasan penentuan kebijakan politik, ekonomi, dan sosial dalam melaksanakan pembangunan negara. Berikut adalah tiga point utamanya:
Stabilitas nasional yang dinamis.
Pertumbuhan ekonomi tinggi.
Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Tiga point ini yang selanjutnya diketahui berasal dari terinspirasinya Soeharto terhadap gagasan-gagasan yang dikenalkan ilmuwan sosial asal Amerika Serikat di masa lalu, Salah satunya adalah dalam Ilmu Ekonomi, teori W.W. Rostow mengenai tahap-tahap pertumbuhan ekonomi (salah satu jenis dari teori modernisasi). Terdiri dari tahapan: Prakondisi tinggal landas, tinggal landas, dan kemandirian yang terjadi secara terus-menerus.
Lebih dalam lagi, jika ditanya mengenai alasan mengapa pembangunan menjadi diskursus sentral di kalangan akademis maupun pemerintah adalah karena di masa tersebut perkembangan ilmu sosial di Indonesia cocok dengan paradigma modernisasi dan pembangunan yang menganggap ilmu sosial sebagai mesin dalam memahami dan membaca perubahan masyarakat. Juga, karena di masa orde baru para ilmuwan menjadi dekat dengan lingkaran kekuasaan negara. Dimana pada masa rode baru, kaum intelektual terpelajar memiliki peranan yang besar, khususnya dalam hal pembangunan berupa pertumbuhan ekonomi, tidak seperti saat mereka masih berada dalam masa pemerintahan orde lama—Soekarno.
Selain itu, seperti yang telah disebutkan pada beberapa paragraf sebelumnya, bahwa banyak ilmuwan sosial di Indonesia yang pada waktu itu menjadi birokrat-penasehat. Membuat sebagian besar ilmuwan sosial berada dalam lingkaran kekuasaan. Menjelmanya praktik teknokrasi dalam ilmu sosial menjadi paradigma tersendiri di masa tersebut, khususnya pada 1970-an, dimana para ilmuwan sosial dimintai nasehatnya mengenai banyak hal, mulai dari problem kemiskinan, kesejahteraan sosial di Indonesia, masalah teknologi, bahkan sampai mengurus tahanan politik G-30-S. Dengan penilaian yang kuat bahwa para ilmuwan sosial di masa tersebut memiliki jawaban atas segala permasalahan dalam pembangunan dan mampu untuk menyelesaikan hal-hal praktis, sehingga penelitian-penelitian cenderung diorientasikan pada kebijakan.

C. globalisasi, Post-Modernisme dan Tantangan Sosiologi Indonesia
Fenomena masyarakat kapitalis muncul seiring dengan perkembangan industrialisasi yang terjadi di Eropa. Industrialisasi yang mendorong terjadinya proses urbanisasi pada kehidupan masyarakat. Tokoh-tokoh pemikiran sosiologi telah mengamati seperti Emile Durkheim dengan melihat fenomena kapitalisme dan memusatkan perhatiannya pada pembagian kerja masyarakat atau division of labour. Perhatiannya mengenai pembagian kerja karena melihat masyarakat dalam suatu solidaritas sosial. Durkheim membagi klasifikasi solidaritas sosial ke dalam dua tipologi yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Pertama, solidaritas mekanik yang menekankan pola hubungan masyarakat berdasarkan ikatan emosional, kekeluargaan, kedekatan yang erat. Kedua, solidaritas organik yang menekankan pola hubungan masyarakat yang memiliki pembagian kerja masing-masing, sifatnya lebih longgar dibandinkan dengan solidaritas mekanik. Dari tipologi tersebut dilihat bahwa pembagian kerja telah menungjukan perkembangan kapitalisme yang didorong perkembangan industri.
Tokoh seperti Max Weber juga menilai dalam masyarakat kapitalisme adalah perhitungan mengenai pengetahuan dan rasionalitas sehingga menuntut orang untuk barada pada proses survival of the fittest. Kapitalisme berjalan lancara dengan uang sebagai orientasi pertama yang dikaitkan dengan religiusitas agama protestan pada saat itu. Sehingga menurut pandangan weber efektifitas dan efisiensi merupakan suatu prinsip kerja yang rasional dalam kapitalisme. Menurut tokoh Karl Marx, dimana dorongan kapitalisme menyebabkan terjadinya kelas-kelas sosial, sbelumnya aristoteles juga memiliki pemikiran sama seperti Marx dimana pembagian kelas-kelas sosial masyarakat terjadi karena faktor ekonomi. Marx membagi kelas-kelas sosial ke dalam tiga tipologi, yaitu kelas borjuis, kelas menengah dan kelas proletar.
Kelas dalam ilmu sosial di Indonesia meredup seiring dengan paradigm yang dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru lebih memilih menghindari pandangan-pandangan marxisme untuk menghindari terjadinya konflik yang akan menggangu pembangunan yang digadang-gadang oleh pemerintah demi memajukan modernisasi. Paradigm kritis muncul sebagai antitesa dominasi ilmu empiric-analitik, dimana paradigm kritis ingin memberikan perhatiannya pada pembebasan manusia dari dominasi kekuasaan. Utntuk itu, kalangan diluar pemerintahan seperti mahasiswa dan kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat mulai mempertanyakan proyek modernisasi.
Globalisasi muncul seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II, perang dingin dan runtuhnya komunisme. Globalisasi ekonomi misalnya, dimana lembaga-lembaga ekonomi dunia berkembang secara massif seperti Organisasi Perdagangan Dunia, perusahaan transnasional dan multinasional, lembaga keuangan internasional dan Bank Dunia yang mengakumulasikan modal. Lembaga yang memiliki dominasi sehingga mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan bernegara, seakan-akan negara hanya sebagai pelaksana kebijakan. Menurut Arjun Appadurai dimana dia menyorot arus utama dalam proses globalisasi yaitu ethnoscape, technoscape, financescape, mediascape,dan ideospace. Ethnospace merupakan penggambaran mengenai perpindahan orang-orang diseluruh dunia, contohnya seperti wisatawan, imigran dan pengungsi. Technospace merupakan bidang teknologi yang bergerak dan berkembag secara masif mengenai mekanisasi dan informasi. Financespace meruoaan globalisasi dalam bidang ekonomi yang bergerak secara cepat mulai dari mata uang, saham dan komoditas. Mediaspace merujuk pada distribusi media elektronik yang menyebarkan informasi secara cepat. Dan ideospace merupakan gambaran dari suatu ideology cenderung bernuansa politik.
Melihat hal tersebut bahwa globalisasi bukan hanya mempengaruhi politik ekonomi suatu negara melainkan juga mempengaruhi budaya dalam masyarakat. Globalisasi dapat menimbulkan terciptnya budaya dengan identitas yang baru dengan menyeragamkan rasa dan selera. John Urry menguraikan bagaimana sosiologi dalam konteks mendapatkan tantangan seiring dengan perkembangan globalisasi. Keilmuan mengenai masyarakat perlu ditinjau kembali dengan melihat berbagai kompleksitas dan perkembangannya yang masif. Urry membahas mengenai mobilitas dimana dalam kehidupan masyarakat terlibatnya teknologi yang besar sehingga menimbulkan berbagai masalah di kehidupan masyarakat. Alain Touraine juga mempertayakan sosiologi klasik pemikiran Comte dan Durkheim dimana lebih menekankan dunia yang beradab juga telah memperkenalkan oposisi tegas dalam kehidupan masyarakat dari beradab, barbar dan jajahan.
Touraine juga disebut dengan soisologi ultramodernitas dimana memberikan perhatian yang lebih pada sosiologi baru, menggabungkan psikoanalisis dan marxisme. Menurut Touraine sosiologi harusnya menciptakan diri, mengubah diri dan mengembangkan dirinya agar tidak selalu terkukung dengan penciptaan generasi. Globalisasi menyebabkan perubahan sosial di masyarakat, Urry telah menjelaskan bahwa pola-pola dalam masyarakat telah di topang dalam teknologi komputeritasi yang menyangkut akses internet. Manuel Castells juga berpendapat mengenai globalisasi, dimana sosiologi dalam globalisasi bertugas untuk mempelajari proses pembangunan, serta perubahan pada masyarakat yang baru disebut oleh Castells adalah masyarakat jejaring.
Castells menjabarkan tiga dimensi sosial dalam perubahan sosial dimasyarakat yang meyebabkan adanya struktur sosial baru. Tiga dimensi tersebut yaitu pertama, paradigm teknologi baru didasari penyebaran teknologi informasi. Kedua, globalisasi dipahami sebagai peningkatan kapasitas sehingga dapat bekerja secara cepat dan efisien. Ketiga, wujud manifesto dari budaya dominan pada hypertext. Dari ketiga tokoh tersebut Urry, Touraine dan Castells telah mempengaruhi perkembangan sosiologi di Indonesia. Menyadarkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat global yang tidak bias dipisahkan dari pengaruh globalisasi baik dari segi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Fenomena sosial yang telah berlangsung hamper di seluruh negara di dunia ini. Bahwa budaya sebagai salah satu pasar kapitalisme lanjut apalgi sekarang di dominasi oleh perushaan asing.
Fredric Jameson adalah seorang pemikir post-modernisme yang berpikiran neo-marxs, melihat bahwa realitas sekarang menunjukkan kita telah memasuki fase kapitalisme lanjut yang memiliki ciri-ciri: symbol dan tanda yang tiada henti, arus informasi serta konsumsi imaji yang hedonistik. Post-modernisme menjadi salah satu kajian yang diminati dengan melihat perubahan yang ditampilkan dari gejala-gejala sosial dan budaya. Seiring dengan fenomena budaya yang baru di kalangan masyarakat khususnya anak muda. Salah satu teori postmodrnisme yang cukup berpengaruh adalah jean Baudrillard tentang masyarakat consumer, dimana menurutnya uang dapat berbicara lebih dari apapun seperti suatu gambaran dan hiper realistis. Kritik Baudrillard ini dapat dilihat dari adanya pengaruh media. Media memiliki peran dalam dimensi globalisasi budaya mulai dari gaya hidup, perkembangan di dunia fashion dan perkembangan teknologi komputerisasi. Dimana segala sesuatu selalu melihat sebagai rujukan.
Tokoh post-modernisme lainnya adalah Jaques Derrida dari gagasannya mengenai dekonstruksi. Dimana dekonstruksi miliknya berarti menelusuri jejak makna yang lupu dari dikotomi serta cerita tentang oposisi biner. Derrida melihat adanya ruang spasial yang memungkinkan kita bias melihat sesuatu yang lain. Disini Derrida dalam memudahkan memahami dekonstruksinya yaitu bagaimana ‘yang lain’ pada akhirnya menjadi layak diperhitungkan.
Perkembangan konsep dari ‘Yang lain’ dari Derrida di kenal juga pada masa post-kolonialis seperti gayatri Spivak dengan memaknainya dengan konsep subaltern, dimana dalam tradisi gramscian mengkritisin adanya dominasi laki-laki atas perempuan. Postmodernisime pada posisi yang kritis terhadap gejala sosial budaya lahir dari adanya kapitalis lanjut. Postmodernisme juga bukan hanya sebagats teori maupun suatu pendekatan, melainkan postmodern juga menjaga tugas sosiologi seperti yang kemukakkan oleh Manuel Castells dimena berperan agar masyarakat tidak serta merta kehilangan kreativitasnya, keberanian dalam mengambil peranan secara global juga sehingga tidak akan ketinggalan zaman. Utamanya postmodern menjaga proses refleksi diri.
Arjun Appadurai menuturkan fenomena globalisasi yang terjadi di Indonesia, dimana mengembangkan pemikiran postmodernisme, postkolonialis serta teori kritis mahzab Frankfrut. Pergeseran Sosiologi Indonesia dari masa Ode Baru ke Pasca Orde Baru juga ditandai dengan fenomena globalisasi dimana muncul paradigm kritis seperti postmodernisme, postkolonialis serta teori kritis yang tidak juga menjadi bentuk resistensi arus mainsteam dari pandangan parsonian. Artinya bahwa berbagai pergeseran pasca Orde Baru tetap berada di luar mainstream Sosiologi Indonesia yang sifatnye reproduktif terhadap pengetahuan sebelumnya.

No comments:

Post a Comment

Kepercayan, sistem pemerintahan Bangsa inca, Bangsa Maya, bangsa Aztec dan peradaban india kuno

1   Kepercayaan dan sistem pemerintahan Bangsa Inca, bangsa maya dan bangsa Aztec Kepercayaan Bangsa Inca: Masyarakat Inca perca...