Ilmu Sosial Indonesia telaah dari Historis


Ilmu Sosial Indonesia Telaah Historis

Pembahasan mengenai perkembangan sosiologi Indonesia akan disorot dari dinamika ilmu sosialnya terlebih dahulu karena latar belakang peristiwa-peristiwa sejarah bangsa Indonesia manggambarkan hubungan kekuasaan yang unik atas bangunan ideologi orientalisme sejak era kolonialisme dengan jangka waktu yang lama sampai pada lahirnya rezim otoritarianosme orde baru. Selain itu, juga akan mendiskusikan perihal diskursus ilmu sosial Indonesia delam makna kekuasaan dan reproduksi pengetahuan terkait dengan konteks kolonialisme dimana ilmu social yang khas Belanda berpengaruh kuat terutama karena dibawa oleh ilmuan-ilmuan sosialnya melalui penelitian-penelitian ilmiah mereka terhadap masyarakat Indonesia.

Fase sebelum Perang Dunia II menjadi focus awal karena pada masa ini pengaruh ilmu social Belanda begitu kuat terutama pada diskursus indologi, kebijakan pemerintah Hindia-Belanda mengenai politik Etis serta periode-periode awal revolusi kemerdekaanyang menentukan bagi arah ilmu social Indonesia.

Berbicara tentang perkembangan ilmu social di Indonesia tentu memori kita akan tertuju pada daratan Eropa, tempat dimana pada dua abad yang lalu ilmu tersebut lahir disana. Ilmu social lahir dari perkembanganilmu filsafat Eropa. Menjadi induk dari segala ilmu yang ada, ilmu ini terus berkembang dan mencari hakikat manusia dan perkembangannya. Sementara ilmu sosial itu mengalami perkembagan pesat dalam arti perkembangannya yang meluas tidak hanya didaratan Eropa namun sampai ke wilayah Amerika dan Asia, meskipun dalam sejarahnya beberapa peristiwa yang turut andil mempengaruhi kelahiran teori-teori ilmu social awal berlangsung di beberapa Negara di Eropa.

Dalam konteks di Indonesia, ilmu-ilmu social pada perkabangan awalnya juga dibawa oleh orang-orang Eropa dimasa kolonialisme Hindia-Belanda. Dinamuka ilmu social dan sosiologi khususnya dipengaruhi oleh factor dan praktik-praktik kolonialisme itu sendiri. Sebagai Negara jajahan, ilmu social memainkan fungsi sebagai medium guna menjaga kepentingan penjajah riset-riset ilmiah terhadap kehidupan social, budaya dan system politik yang ada dimasyarakat Hindia-Belanda kala itu. Dengan logika yang cukup sederhana, tentu kita bisa membaca ketika pemerintah jajahan yang niscaya berhubungan dan berinteraksi dengan penduduk pribumi, memerlukan pemahaman akan pola kebudayaan, adat-istiadat, struktur masyarakat hingga pola pikir agar pemerintahan tersebut dapat berjalan secara efektif dan efisien. Karena itu, penelitian-penelitian seperti yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje dan Van Vollenhovenmisalbya, menunjukan arti penting mengenai gambaran realitas masyaraka terutama dari aspek social-budaya yang kemudian menjadi bahan evaluasi oleh pemerintahan jajahan. Pada jaman colonial inilah studi-studi dalam rangka mengenal adat sertaa tradisi dan kebiasaan dari oenduduk pribumi didaerah jajahan menjadi marak dan popular untuk dipelajari seperti etnologi, antropologi, dan sosiologi hingga pengetahuan seputar suku-suku bangsa di Indonesia banyak terkumpul. Begitu pula dengan Raffles pada masa berkuasa di Hindia-Belanda memberi contoh dalam studinya yang menyelami adat serta kebiasaan masyarakat di Pulau Jawa. Buku yang terbit dua jilid ini selain menyajikan data-daa statistic penduduk Jawa juga membuat banyak deskripsi etnologis suku bangsa Jawa Barat.

Pada masa kolonialisme ini pula, di Belanda tepatnya di Leiden, lahirlah pendidikan Indologie yang berguna untuk menghasilkan tenaga kerja pegawai pemerintahan Belanja yang mempunyai cukup referensi mengenai masyarakatsetempat agar bisa bertugas di daerah jajahannya. Pendidikan ini bertujuan untuk memberikan kepada calon pegawai administrasi Belanda sebuah paket pengetahuan dasar akademis yang merupakan sebuah kurikulum campuran, yang terdiri dari geografi, etnologi, dan linguistic. Program ini pertama kali dimulai pada tahun 1842, yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah akademi pada tahun 1864, hingga pada akhirnya ditetapkan sebagai sebuah departemen di Universitas Leiden tahun 1891. Oleh karena sifat dan tujuannya, maka indologie merupakan sebuah paket pendidikan pegawai administrasi dan para praktisi, dan karena itu pula merupakan program studi yang cendderug mengikuti orientasi kebijaksaan daripada orientasi-disiplin, dan lebih bersifat program terapan daripada program dasar.

Bicara mengenai politik Etis dan Indologie, tentunya akan memperbincangkan sejarah Indonesia secara keseluruhan tanpa menyajikan peristiwa penting diseputar praktek kolonialisme Hindia-Belanda yang dikenal dengan politik etis akan terasa kurang lengkap, begitu enurut sebgaian esarilmuan social terutama sejarawan. Sedangkan dalam konteks perkembangan ilmu social Indonesia, masa-masa ketika politik etis beroperasi di Hindia-Belanda menjadi arena pertaruhan dan sekaligus menjadi tantangan bagi konstruksi ilmu itu sendiri. Sebagaimana disinggung pada penjelasan sebelumnya, bahwa pada paruh kedua abad ke-19 yang ditandai dengan kedatangan pegawai-pegawai administrasi colonial yang terdidik dalam beberapa bidang ilmu social, status akademis dari tiap cabang ilmu yang diperkenalkan sejak masa itu dikatakan tidak jelas dan tidak didefinnisikan. Program pendidikan yang disebut indologie tersebut barulah  sebatas kurkulum campuran yang terdiri dari geografi, etnologi dan linguistic. Menurut Ignan Khalden, meskipun terdapat pembagian studi-studi pragmatis dengan penekanan utama masing-masing pada sejarah dan bahasa, yang kemudian menjadi pembelajaran antropologi yang ada pada saat ini, pada studi social politik yang kemudian menjadi jurusan sosiologi, dan pada studi social-ekonomi sebagai asal-muasal ilmu ekonomi yang ada sekarang, akan tetapi perbedaan akademis yang sesungguhnya masih terasakabur dan belum dianggap penting.

Jadi, melihat kebijakan politik etis dalam desin penyadaran d wilaya pendidikan, pada ulasan selanjutnya akan tampak bahwa ide-ide kemajuan yang menjadi bagian dari kebijakan politik ini akan berdampak, baik secara langsung maupun tidak langsung, pada lahirnya gagasan-gagasan Indonesia Merdeka. Namun sebelumnya, dalam konteks perkembangan di wilayah internal birokrasi pemerintahan Hindia-Belanda, kegiatan-kegatan para birokrat ini terbukti mengembangkan indologie dan bahkan melalui mereka ini kegiatan indologie semakin intensif, karena mereka diminta untuk melakukan observasi, baik untuk kebutuhan pribadi maupun untuk kebutuhan administrative. Selain itu, pola-pola birokrasi yang berjalan menunjukan ciri-ciri.

Kerja para birokrat ini dimasa politik etis pada dasarnya untuk meningkatkan taraf hidup penduduk pribumi Hindia-Belanda. Namun, tidak hanya sebatas itu melainkan tetap dalam bingkai menjaga kepentingan dan  kebijakankolonial. Akhirnya dalam beberapa catatan sejarah, meskipun kebijakan politik etis atas dasar rasa “hutang budi” ini tidak semuanya mencapai target yang direncanakan atau dengan bahasa lain tidak berhasil dalam mewujudkan kesejahteraan, dan kemakmuran penduduk pribumi Hindia-belanda, akan tetapi watak colonial yang begitu kuat dari pemerintahan Belanda sehingga campur tangan Negara terhadap kehidupan orang-orang Hindia-Belanda tidak didasarkan pada kebutuhan mereka melainkan pada apa yang pihak colonial anggap baik bagi mereka. Maka dalam hal ini kebijakan politik etis bisa dilihat dalam konteks memajukan kesejahteraan penduduk yang tidak didorong oleh aspirasi yang membangun.


Revolusi Kemerdekaan dan Arah Bagi Ilmu Sosial Indonesia

Pasca perang dunia 1 dan depriasi ekonomi dunia pada tahun 1930an yang pada akhirnya membawa pengaruh pada praktik-praktik radikalisme dan perlawanan politik di Indonesia. Seiring itu politik etis menjadi proyek politik yang ketinggalan zaman. Adapun pernyataan Snouck Hurgronje, “kita tak bisa menggantungkan rasa ketentraman kita pada ukuran ukurn yang berfungsi untuk memperkukuh kekuasaan kita dengan mencegah ketidakpuasan dan perlawanan”bagian perkembangan ini juga menempatkan Tan Malaka dan Hatta di Belanda serta Soekarno dihindia yang membuka diskursus dapat dikatakan tergolong baru dalam artian mendikonstruksi wacana Etis menjadi wacana merdeka. Bermula dari kebijakan politik etis terutama pada wilayah pendidikan . politik etis juga melanggengkan seperioritas Belanda dan menurunkan kaum boemiputra ke posisis yang lebih rendah dari sebelumnya, sudah terbukti juga pemicunya dapat meningkatkan paradoks dalam bentuk rasa rendah diri yang sudah tidak tertahankan untuk mencut wacana Nederlander-Inlander atau superioritas dan inferioritas. Yang menimbulkan kesadaran untuk bisa mengambil tugas mengangkat dan mendidik orang lain. Dapat dilacak juga upaya-upaya para pendiri pelopor gerakan Boedi Oetomo(1908) yang tidak lain berada dalam jalur mengangkat dan mendapat eksitensi dalam diskursus etis dengan waktu usaha yang terbatas.

Politik etis mulai terbukti gagal dalam menikatkan kesejahteraan masyarakat hindia, adapun peninggalan dari kebijakan pendidikan yang akhirnya menghasikan kaum terpelajar dari golongan pribumi Hindia-Belanda yang dapat duduk di dalam struktur administrasi-birokrasi pemerintahan colonial. Akan tetapi mereka merasa adanya ketidakailan dalam upah dan kenaikan pangkat yang tetap memprioritaskan Belanda. Konstruksi pemahaman yang dibangun pada pengalaman penindasan yang cukup lama dan menyiksa sejak zaman VOC masuk. Masa pemerintahan colonial bersama dengan kelompok-kelompok lain mulai mecari jalan keluar dari system kolonialisme, disinilah kesadaran yang bersifat nasional muncul yang dimotori oleh kaum terpelajar pribumi, baik dinegeri jajahan maupun di negeri Belanda yang menandai sebuah era transformasi dalam kepemimpinan politik masyarakat hindia. Melalui semangat dari himpunan “pemoeda-peladjar” dan singgungan yang intensif dengan wacana intelektual barat (Eropa) yang kemudian membawa pengaruh kepada wacana kemerdekaan.

Gerakan Budi Utomo, sarekat islam juga merupakan organisasi yang sangat berperan dalam menumbuhakan gagasan nasionalisme, dapat dilihat pada tahun 1916 serekat islam dalam kongrest pertamanya untuk menetapkan tujuan baru yaitu berkontribusi untuk meningkatkan kesadaraan gerakan kebangsaan antar warga hindia . serekat islam juga mendorong sentiment anti-Barat dan anti-kolonialpada arah perjuangan pertama untuk melawan ketidakadilan masyarakat muslim. 

Partai komunis Indonesia (PKI) adalah organisasi yang sejalan dengan serekat islam (SI). PKI didirikan pada 1919, PKI lahir dalam kelompok radikal dari golongan yang ada di serekat islam lalu dipecah menjadi dua golongan yaitu SI putih dipimpin oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto, H. Agus Salim dan Abdoul Moeis. Sedangkan SI merah dipimpin oleh Semaoen, Darsono dan teman-temannya yang berhaluan sosialis-radikal yang dapat dilihat dari keterbatasan tubuh SI sehingga menganggap sudah tidak sejalan untuk melawan ketidakadilan. Di akhir tahun 1920an dalam sejarah tercatat terjadi pemberontakan PKI di Jawa Barat pada November 1926 dan di pesisir Barat Sumatera pada januari 1927. Pki juga dianggap sebagai pengganggu keamanan hingga akhirnya terjadi pemberangusan PKI. Sejarahnya PKI sempat berhasil meraup dukungan luas dimasyarakat Indonesia. PKI juga bisa dikatakan organisasi politik pertama kali yang berani melakukan perlawanan terhadap pemerintah colonial Belanda. Pada tahun 1926 muncul generasi baru dalam perjuangan politik melawan kolonialisme belanda, golongan ini juga sebagai perjuangan nasionalisme kemerdekaan Indonesia yang melanjutkan generasi Budi Utomo dan serekat Islam.

Tiga organisasi yang dibentuk oleh kaum intelektual Indonesia pada akhir 1920-an. Ketiga kelompok itu adalah Indonesische studieclub berdiri tahun 1924 disurabaya, Algemeene Studieclub berdiri tahun 1925 di Bandung serta Perhimpoenan Indonesia di Belanda. Ketiga orgnisasi ini, perhimpunan Indonesia memiliki pengaruh panjang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pelajar Indonesia di Belanda mendirikan Indische Vereeniging ialah organisasi cikal bakal dari perhimpunan Indonesia. Sebelum perhimpunan Indonesia(PI), pengaruh dari gerakan Indische Partij bisa dialamatkan disini, mereka mengkritik pemerintah colonial sehingga organisasi itu dilarang pemerintah Hindia Belanda dan pemimpinnya di buang ke Belanda pada tahun 1913. Datangnya tiga tokoh indische partij yairu dr. Tjipto Mangunkusumo, dr. E.F.E Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat, pengaruh pemikiran mereka sampai kepada pelajar Indonesia di negeri Belanda. Pelajar Indonesia terdorong rasa nasionalisme yang awalnya mereka berpikir politis. Tujuan organisasinya berubah mengarah pada bentuk nasionalisme Indonesia. Para pelajar dan orang-orang Indonesia di Belanda seperti satu keluarga, satu bangsa. Untuk menambah semangat nasionalisme maka perkumpulan ini ganti menjadi perhimpunan Indonesia(PI) tahun 1925. 

Pada tahun 1925 PI mengeluarkan Menifesti politik pada majalah PI yaitu Indonesia merdeka.PI sangat aktif dalam semangat kemerdekaan dari bentuk tulisan baik majalah maupun pamphlet seperti pernytaan PI dalam majalah Indonesia yang terbit bulan Mei 1945. Manifesto politik merumuskan secara jelas dan tajam ideology nasionalisme Indonesia yang sebelumnya masih ada hambatan seperti segmentasi etnik. Berbeda dengan organisasi lain, PI memilik dampak besar bagi perkembangan organisasi di Hindia. PI tercatat ikut andil dalam kelahiran PNI(partai nasional Indonesia) dan organisasi berhaluan nasionalis setelah pelarangan PKI tahun 1927. George Kahin meneliti soal nasionalisme dan revolusi Indonesia beranggapan PI salah satu penentu arah dari gerakan nasional Indonesia. 

Adapun yang dikonsepkan oleh Antonio Gramsci bahwa wacana tentng setiap organisasi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang disebut sebagai kelompok intelektual yang berpartisipasi di aras politik, sosial maupun budaya untuk kemaslahatan bangsa. Untuk pemaknaan kaum intelektual. PI mengalami pergantian nama dari Indische Vereeniging (IV) tidak dengan dasar argumentasi kuat.ide menetpkan jati diri dan identitas kebangsaan seara historis dari kesadaran kolektif untuk membangun solidaritas nasionaldan bisa ematahkan konstruksi dari pihak colonial. Kostrusi nasional dicirikan simbolik dari penamaan Indische menjadi Indonesia. Nasionalisme muncul di Indonesia dalam istilah Ben Anderson sebagai komonita imajiner untuk melampaui batasan agama, suku, budaya dan etnik yang merupakan sejarah bangsa eropa dalam mewujudkan kebangsaan. Di eropa lahirnya kesadaran nasional, maka di Indonesia nasionalisme merupakan tujuan perjuangan bersama untuk membentuk Negara Indonesia merdeka. Nasionalisme juga sebagai tujuan bersama mewujud sebagai wacana pergelutan kekuasaan. Kekuasaan diasosiasikam kepada pemerintah colonial belanda., foulcault pernah mengutarakan wacana mampu mentransmisikan dan memproduksi kekuasaan. Bisa melemahkan kekuasaan atau merapuhkan. Kaum intelektual hindia memiliki modal budaya seperti konsepsi Gouldner modal simbolik dalam gagasan Bourdieu yang mengikuti Antonio Gramsci yang dikenal sebagai intelektual organis, yaitu ,manifestasi perlawanan pruduk aktivitas kelas tertindas dengan kesadaran sosial kritis. Penindasan oleh kolonialisme dalam waktu panjang jika tanpa kekuasaan kokoh,  kekuasaan oleh Foulcault berpeluang melahirkan anti kekuasaan. Organisasi pergerak nasional merupakan bentuk kebudayaan kontra yang berfungsi untuk membangun kebudayaan politik.

Konstelasi politik dunia bergejolak seiring dengan krisis ekonomi global. Pada tanggal 1 september 1939 Hitler menyerbu polandia sebagai penanda kobarnya perang duinia II di Eropa. Tahun ini juga Indonesia telah membentuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang diprakasai organisasi nasionalis. Disinilah peperangan dimulai, penjajahan jepang di Indonesia berlangsung selama 3,5 tahun dalam waktu itu juga kehidupan Indonesia berubah ketika halnya  dijajah belanda. Dalam catatan sejarah lebih banyak menderita karna pabrik ditutup dan epang ingin tenaga kerja dialihkan kesektor pangan agar industry tetap berjalan. Banyak peninggalan jepang terhadap perkembangan lmu sosial Indonesia. 
Ilmuwan sosial belanda lebih aktif dan produktif dalam menghasilkan karya karya ilmiah berbentuk penelitian untuk memenuhi kepentiang pemerintah colonial Belanda. Sedangkan kaun intelektual Indonesia lebih menonjol pada aksi politis karena solidaritas kebangsaan, cita-cita nasionalisme. Dapat dikatakan bahwa ilmu sosial Indonesia hingga Negeri ini memproklamasikan kemerdekaannya sangat kental dominasi ilmu sosial yang dibawa para ilmuwan belanda beserta ideologi yang dianutnya.

Ilmu Sosial Indonesia Masa Orde Baru

Pada tahap ini, perkembangan ilmu sosial Indonesia sangat kompleks. Kekuasaan Orde Baru terbukti menjadi daya tarik bagi banyak teknokrat dan ilmuwan sosial. Di pembahasan awal diulas mengenai praktik diskursif ilmu sosial Indonesia dengan menggunaan telaah orientalisme. Kemudian, penekanan diberikan pada bagaimana ideologi pembangunan menggerakkan segala daya ilmu sosial ke dalam lingkaran kekuasaan negara. Terakhir, pada periode-periode menjelang dan berakhirnya rezim Orde Baru yang ditandai dengan semangat berkembangnya paradigma kritis dalam geliat ilmu sosial umumnya melalui tangan-tangan ilmuwan sosial baik di dalam kampus maupun yang terjun ke dalam lembaga-lembaga independen seperti lembaga swadaya masyarakat.
Kemerdekaan Indonesia dan berakhirnya Perang Dunia II sekaligus menunjukkan bagaimana diskursus pembangunan dan modernisasi mulai dikenalkan secara meluas terutama kepada pengendali kekuasaan. Dengan demikian, sejak tahun 1945, walau terjadi pergantian kekuasaan dari pemerintahan kolonial Hindia-Belanda ke pemerintahan Republik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno, tidak serta-serta membawa perubahan yang berarti terkait karakter atau orientasi dari kepentingan Pemerintah (kekuasaan), termasuk dalam hal kebijakan untuk mempromosikan perkembangan ilmu-ilmu sosial. Kepentingan ini menurut Heryanto (2006), setidaknya bisa dilihat dari beberapa proyek yang ditujukan untuk menciptakan administrasi pemerintahan yang stabil, pengumpulan data di masyarakat tradisional, proses modernisasi dari masyarakat tradisional, industrialisasi, dan pembangunan bangsa. Perkembangan ilmu sosial Indonesia mengalami perubahan di era kepemimpinan Sukarno (1945-1966). Perubahan ini tampak ketika daya dan perekonomian masyarakat di Indonesia mulai banyak diminati. Tercatat seperti pusat studi Indonesia di Cornell University yang didirikan oleh George Mc.T Kahin, dikemudian hari akan menjadi sentral bagi ilmuwan-ilmuwan sosial Indonesia untuk menimba ilmu di universitas tersebut.
Indonesia sebagai negara baru merdeka tidak terlepas dari politik internasional yang dikomandoi Amerika Serikat (AS) tersebut. Sementara realitas politik di dalam negeri menunjukkan pula bagaimana diskursus antimprealisme yang dilontarkan Sukarno dalam rangka membangun karakter kebangsaan (nation and character building) sebagai diskursus lainnya, di samping berkat pembacaan sejarah yang kelam di masa penjajahan kolonial serta -meminjam istilah Ben Anderson menyatukan identitas kedaerahan pada satu komunitas yang diimajinasikan berwujud nasionalisme. Praktik diskursif era Sukarno ini sangat kontradiktif ketika Indonesia mulai di bawah kekuasaarn Suharto sehingga posisi Sukarno pada masa itu tidak dalam posisi aman dalam kacamata perpolitikan global.
Sebagaimana disebutkan di atas, kepentingan AS di Indonesia sulit dibendung. Penentu kebijakan AS telah melakukan kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi (universitas) dan lembaga-lembaga penelitian guna menyusun skema yang bersifat dominatif, dengan mempromosikan ide pembangunan khususnya bagi negara-negara baru merdeka. Wacana (discourse) pembangunan ini kemudian menjadi tawaran yang disebarluaskan kepada negara-negara Dunia Ketiga seperti Indonesia Konsep pembangunan sendiri berakar pada teori modernisasi yang pada hakikatnya dibangun atas asumsi bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem di mana terdapat tata kelembagaan yang kompleks, antara dimensi politik, ekonomi dan kebudayaan merupakan satu jalinan. Semakin modern suatu masyarakat maka tingkat diferensiasi sosialnya semakin tinggi. Asumsi semacam inilah yang diprakarsai Talcott Parsons, seorang ilmuwan sosiologi yang berpengaruh besar pada perkembangan ilmu-ilmu sosial terutama di Indonesia. Salah satu tesisnya bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terbuka, sehingga masyarakat selalu dipandang dalam hubungannya dengan masyarakat lain. Dalam perspektif teori modernisasi ini tradisi dan budaya yang ada di negara-negara bekas jajahan dianggap sebagai penghambat utama dari kemajuan ekonomi dan politik. Diskursus inilah yang akan bertahan lama di Indonesia hingga era Orde Baru menggantikan kepemimpinan Soekarno.

Paradigma Kritis Pasca-Orde Baru


Kekuasaan dalam bentuk apapun niscaya memuat unsur-unsur progresif di mana terbuka peluang bagi upaya-upaya resistensi, penolakan dan bentuk ketidakpercayaan. Ketika kekuasaan berwujud amanah dalam keberpihakan kepada masyarakat secara keseluruhan tanpa harus menyempitkannya pada aspirasi kelompok kecil maka keadilan dan penegakan hukum menjadi tiang utama. Akan tetapi sejarah yang tercatat di Indonesia menunjukkan fakta sebaliknya, kekuasaan di bawah kendali si penguasa mampu bertahan dalam durasi waktu yang cukup panjang dengan berbagai perangkat digunakan, mulai dari penggunaan alat-alat kekerasan sampai pada praktik kekuasaan yang halus dengan memainkan apa yang oleh Louis Althusser dikenal dengan Aparat Negara Ideologis/ Ideological State Apparatus, yang diinjeksikan dengan Aparat Negara Represif/ Repressive State Apparatus sehingga ia berkarakter hegemonik. Perlu juga diketahui bahwa pembangunanisme sebagai sebuah ideologi dominan di era Orde Baru, oleh kalangan yang sepakat dengan paham marxisme dikritik terus-menerus. Sebagaimana dalam ajaran marxisme, ideologi merupakan kesadaran palsu dan pemenuhan basis-basis material serta perjuangan kelas merupakan jalan untuk perubahan sosial. Selama Orde baru berkuasa, kritik dari kalangan marxisme ini sebagai bagian dari bentuk resistensi terhadap ideologi pembangunanisme dan modernisasi. Karena itu, kritik yang dimaksud adalah kritik ideologi. Kritik ideologi ini kemudian dikembangkan oleh sekolah Frankfrut (frankfurt School) dengan mengambil ide-ide Marxisme, neo- xisme, ditambahkan psikoanalisa Sigmund Freud, sehingga kemudian lahirlah Teori Kritis yang mengarah kepada emansipasi dalam kerangka pembebasan terhadap kultur dan ideologi dominan. Dalam konteks perkembangan ilmu sosial Indonesia, kultur ini menunjukkan paradigma ilmu sosial tradisional atau positivis, meminjam istilah Sindhunata (1983), yang berkembang pesat selama Orde Baru. Sedangkan, ideologi dominan merujuk kepada modernisasi pembangunanisme sebagaimana yang disebutkan di atas, yang digunakan selama era tersebut.


Dalam pembahasan mengenai ilmu sosial di Indonesia pada masa Orde Baru hingga saat ini, pada mulanya ilmu sosial di bawa oleh ilmuwan-ilmuwan sosial Belanda yang kemudian sangat berpengaruh terhadap kultur akademis maupun non-akademis. Oleh karena kedatangan ilmuwan- ilmuwan sosial tersebut merupakan bagian dari praktik kolonialisme pemerintahan Hindia-Belanda, maka kerja akademis yang dihasilkan pun tidak luput dari kepentingan penjajahan itu sendiri terutama dalam urusan memberi legitimasi ilmiah atas segala kebijakan pemerintah walaupun di sisi lain juga tidak dapat diabaikan sumbangsih pemikiran pada masa itu yang masih dirasakan dan oleh sebagian kalangan masih dijadikan rujukan hingga saat ini. Konteks, sosial yang bernama kolonialisme tersebut secara jelas menjadi latar belakang perkembangan awal ilmu sosial Indonesia. Sampai ketika indonesia menyatakan kemerdekaannya sebagai negara berdaulat, kehidupan sosial-politik baik di dalam negeri seperti cita-cita nasionalisme dan spirit revolusi pada era Sukarno, maupun pada lingkup global yang ditandai dengan peristiwa Perang Dunia II juga membawa dampak bagi kelangsungan dan arah ilmu sosial Indonesia. Sementara situasi yang jauh lebih kompleks ialah saat Orde Baru memegang kendali kekuasaan. Pemerintahan Suharto ini pun ramai dikenal sebagai rezim otoritarianisme yang represif di segala bidang. Gejala teknokrasi ilmu sosial pun tampak nyata pada masa ini, dan mayoritas ilmuwan sosial mendapat tempat di lingkaran kekuasaan. Pembangunanisme yang sangat khas Orde Baru tersebut tidak lain merupakan ideologi sekaligus wacana utama di panggung akademis ilmu sosial lndonesia. Sebagai ideologi maupun diskursus, pembangunanisme lantas menunjukkan bahwa ia bukanlah kerja aparatus negara (pemerintahan) semata akan tetapi melibatkan banyak institusi serta aktor-aktor intelektual (lmuwan sosial dan ekonom) sehingga membentuk hubungan kekuasaan yang mampu melanggengkan status quo dan menjadikan negara Orde Baru tersebut bersifat hegemonik dalam setiap kebijakannya terutama terkait dengan pembangunan ekonomi.


Akan tetapi perkembangan ilmu sosial Indonesia di masa Orde Baru ini pun tidak secara menyeluruh sejalan dengan apa yang digagas pemerintahan Suharto. Terdapat polemik dan dialektika keilmuan yang dinamis di antara kalangan ilmuwan sosial baik yang berada di lingkaran kekuasaan maupun yang bertahan di basis-basis perguruan tinggi. Artinya bahwa kritik dari kalangan ilmuwan sosial Indonesia tetap mengalir sejak era 1990-an hingga tumbangnya Orde Baru. Dengan demikian, paradigma kritis itu pun melalui ide-ide Marxisme, neo-Marxisme maupun teori-teori sosial kritis mulai marak digemari di lingkungan akademis ilmu sosial. Hal ini tidak lain sebagai upaya sebagian kalangan ilmuwan sosial Indonesia yang peka melihat macetnya perkembangan ilmu sosial yang cenderung mengikuti arah kebijakan negara dan bukan sebaliknya melontarkan kritik sekaligus mempertegas keberpihakan pada masyarakat mayoritas yang dirugikan selama rezim Orde Baru berkuasa.

No comments:

Post a Comment

Kepercayan, sistem pemerintahan Bangsa inca, Bangsa Maya, bangsa Aztec dan peradaban india kuno

1   Kepercayaan dan sistem pemerintahan Bangsa Inca, bangsa maya dan bangsa Aztec Kepercayaan Bangsa Inca: Masyarakat Inca perca...