Struktur, Infrastruktur dan suprastruktur politik Indonesia


Struktur Politik Di Indonesia


Stuktur politik berasal dari dari dua kata, yaitu struktur dan politik. Dimana struktur artinya badan atau organisasi, sedangkan politik artinya urusan negara. Secara etimologis, struktur politik adalah badan atau organisasi yang berkenaan dengan urusan negara. Menurut buku Sahya Anggara (2013:43), struktur politik adalah alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Dari definisi-definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa struktur politik merupakan suatu badan yang memiliki sebuah kekuatan dalam mengatur segala kebijakan atau perencanaan yang akan dilakukan oleh negara. Kemudian menurut buku Sahya Anggara (2013:44), terdapat dua fungsi dari struktur, yaitu:
1. Fungsi-fungsi sosialisasi politik adalah merupakan fungsi mengantarkan generasi muda dan anak-anak untuk mendapatkan sosialisasi kehidupan politik dari berbabagi institusi, seperti keluarga , tempat-tempat ibadah, lingkungan kerja, sekolah, dan sebagainya.

2. Rekrutmen politik melibatkan proses perekrutan pemimpin-pemimpin politik melalui partai-partai politik. Dalam fungsi ini, komunikasi politik sangat diperlukan karena hal tersebut meruapakan salah satu cara agar elemen-elemen didalam sistem politik bisa berjalan dan tidak mengalami hambatan-hambatan tertentu. Dalam struktur politik yang demokratis, terdapat dua sifat struktur politik, yaitu struktur politik formal dan struktur politik infomal. 

      Strutur politik formal adalah mesin politik yang dengan absah mengidentifikasi masalah, menentukan dan melaksanakan segala keputusan yang mempunyai kekuatan mengikat pada seluruh masyarakat. Artinya struktur politik formal disini merupakan struktur yang mengatur berbagai masalah yang ada didalam masyarakat, termasuk hubungan antara masyarakat. sehingga dikatakan bahwa hubungan ini mempunyai kekuatan yang saling mengikat diantara masyarakat. Sedangkan stuktur politik informal adalah struktur yang mampu mempengaruhi cara kerja aparat masyarakat untuk mengemukakan, menyalurkan, menerjemahkan mengonversikan tuntutan, dukungan, dan masalah tertentu yang berhubungan dengan kepentingan umum. Artinya struktur politik informal disini merupakan sebuah struktur yang mengatur hubungan di luar masyarakat. Jadi struktur yang dibangun disini untuk meelaborasikan antara segala sesuatu yang ada dimasyarakat dengan segala sesuatu yang ada diluar masyarakat. Sehingga diharapkan dengan strutur seperti ini dapat tercipta pembaruan-pembaruan dari luar untuk dapat dikenalkan dengan masyarakat yang ada. 

Struktur Politik Formal
Dalam sistem politik, struktur dibedakan atas tiga jenis, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dimana hal tersebut merupakan bagian dari trias politika. Namun banyak negara yang belum menggunakan struktur sistem politik yang demikian. Bahkan dalam negara demokrasi modern, mereka cenderung membagi kekuasaan dibandingkan dengan memisahkan kekuasaan yang ada. Menurut yang diajarkan Jhon Locke(1632-1704) dan Montesqieu (1689-1755), mereka membagi kekuasaan dalam tiga klasifikasi, yaitu eksekutif, legislatif, dan federatif. Eksekutif disini ditugaskan sebagai badan yang membuat segala jenis peraturan dan perundang-undangan yang ada. Legislatif disini ditugaskan sebagai badan yang menjalankan segala jenis peraturan dan perundang-undangan yang sudah dibuat oleh eksekutif sebelumnya. 

Sedangkan federatif disini ditugaskan untuk mengawasi jalannya peraturan atau perundang-undangan yang sudah di buat oleh eksekutif dan dijalankan oleh legislatif. Sehingga dalam pelaksanaan tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang sudah disepakati sebelumnya oleh aturan yang dibuat. Namun dalam perjalannya, akhirnya Montesqieu menyempurnakan jenis kekuasaan tersebut dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.  Yudikatif disini tetap memililiki peranan atau tugas yang sama dengan federatif dulunya, yaitu sebagai badan yang mengawasi jalannya perundanag-undangan atau peraturan yang sudah di buat oleh eksekutif dan dijalankan oleh legislatif. Akan tetapi, dalam undang-undang dasar 1945, ajaran trias politika ini tidak disebutkan didalamnya. Namun jika di lihat dalam pembagian kekuasaan di Indonesia, secara tidak langsung Indonesia menganut sistem kekuasaan dari trias politika. 

Pemerintahan dan Birokrasi (Eksekutif)

Menurut Buku Sahya Anggara (2013:48), dalam sistem politik, pemerintahan dan birokrasi merupakan struktur penting karena menyangkut pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan. Dalam segala kebijakan yang dibuat, eksekutif juga dibantu dengan legislatif, selaku yang menjalankan segala jenis kebijakan atau peraturan yang dibuat oleh eksekutif. Dalam negara, sering terdengar istilah politik eksekutif. Politik eksekutif ini terdiri dari berbagai tingkatan, dimana tiap tingakan memiliki fungsi dan peranannya masing-masing, seperti presiden, para kabinet presiden, perdana mentri, dan sebagainya. Mereka semua merupakan bagian-bagian dari eksekutif. Jika di lihat dari negara Indonesia. Salah satu contoh adalah perbedaan ketika era reformasi dan orde baru. 
Dimana ketika era reformasi, pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Dimana MPR disini bisa dikatakan sebagai salah satu pemegang kekuasaan tertinggi yang ada di Indonesia. Bahkan bisa dikatakan alasan presiden Soeharto bisa menjabat.

   Sedangkan federatif disini ditugaskan untuk mengawasi jalannya peraturan atau perundang-undangan yang sudah di buat oleh eksekutif dan dijalankan oleh legislatif. Sehingga dalam pelaksanaan tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang sudah disepakati sebelumnya oleh aturan yang dibuat. Namun dalam perjalannya, akhirnya Montesqieu menyempurnakan jenis kekuasaan tersebut dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.  Yudikatif disini tetap memililiki peranan atau tugas yang sama dengan federatif dulunya, yaitu sebagai badan yang mengawasi jalannya perundanag-undangan atau peraturan yang sudah di buat oleh eksekutif dan dijalankan oleh legislatif. Akan tetapi, dalam undang-undang dasar 1945, ajaran trias politika ini tidak disebutkan didalamnya. Namun jika di lihat dalam pembagian kekuasaan di Indonesia, secara tidak langsung Indonesia menganut sistem kekuasaan dari trias politika. 

Pemerintahan dan Birokrasi (Eksekutif)

Menurut Buku Sahya Anggara (2013:48), dalam sistem politik, pemerintahan dan birokrasi merupakan struktur penting karena menyangkut pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan. Dalam segala kebijakan yang dibuat, eksekutif juga dibantu dengan legislatif, selaku yang menjalankan segala jenis kebijakan atau peraturan yang dibuat oleh eksekutif. Dalam negara, sering terdengar istilah politik eksekutif. Politik eksekutif ini terdiri dari berbagai tingkatan, dimana tiap tingakan memiliki fungsi dan peranannya masing-masing, seperti presiden, para kabinet presiden, perdana mentri, dan sebagainya. Mereka semua merupakan bagian-bagian dari eksekutif. Jika di lihat dari negara Indonesia. Salah satu contoh adalah perbedaan ketika era reformasi dan orde baru. Dimana ketika era reformasi, pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Dimana MPR disini bisa dikatakan sebagai salah satu pemegang kekuasaan tertinggi yang ada di Indonesia. Bahkan bisa dikatakan alasan presiden Soeharto bisa menjabat selama kurang lebih 32 tahun, karena anggota-anggota MPR yang ada merupakan orang-orang yang memiliki hubungan politik yang lebih dengan presiden Soeharto. Sehingga dalam hal ini masyarakat tidak bisa berbuat banyak dalam penentuan negara Indonesia. Puncaknya adalah ketika peristiwa reformasi yang akhirnya menggulingkan pemerintahan presiden Soeharto. Berbeda dengan era orde baru. Dimana pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara lebih demokratis, yaitu penentuan berada di tangan rakyat. Bahkan presiden dan wakil presiden juga bisa kapan saja diberhentikan oleh MPR bila terjadi penyalahgunaan kekuasaan. 

Lembaga Legislatif

Ketika era Soeharto, lembaga legislatif ini merupakan salah satu lembaga yang bisa mengesahkan. Namun ketiak orde baru, lembaga legislatif ini tidak hanya sebagai lembaga yang mengesahkan, namun juga sekaligus sebagai lemabaga yang bisa mengawasi dari pembuatan kebijakan yang ada. Perubahan lainnya terletak dari partai politik yang masuk ke dalam DPR. Dimana ketika era Soeharto hanya terdapat tiga partai politik yang berada dalam DPR, sedangkan setelah orde baru terdapat kurang lebih lima partai politik yang turut andil dalam DPR. Namun perubahan tersebut tidak dibarengi oleh kinerja yang memuaskan. Banyak pengamat yang masih menganggap bahwa kinerja dari DPR kurang lebih ingin memenuhi kebutuhan pribadinya atau kebutuhan partai yang dibawa dibandingkan dengan memenuhi kebutuhan rakyat.

Lembaga Peradilan (Yudikatif)

Dalam lembaga peradilan, salah satu lembaganya adalah Mahkamah Agung. Dimana salah satu tugasnya adalah memutuskan perkara berdasarkan undang-undang dasar 1945. Dalam UUD 1945, ada beberapa pasal yang menjelaskan tugas dari Mahkamah Agung sendiri. Namun pandangan masyarakat terlebih pada undang-udang atau hukum yang ada di Indonesia, malah sebaliknya dengan tugas yang sudah ada dalam UUD 1945. Penyelewengan kekuasaan yang terjadi oleh Mahakamah Agung juga tidak sedikit. Banyak yang beranggapan bahwa putusan-putusan yang nantinya akan dikeluarkan oleh Mahkamah Agung kurang lebih tergantung dari kepentingan-kepentingan kekuasaan bukan berdasarkan UUD 1945.

Stuktur Politik Informal

Partai Politik
Menurut Buku Sahya Anggara (2013:53), partai politik merupakan salah satu ciri dari politik yang modern, bahkan tidak bisa di pisahkan dengan sistem politik, baik yang menganut sistem demokrasi ataupun yang sistem otoriter. Dimana partai politik merupakan sebuah wadah untuk menghimpun berbagai jenis aspirasi-aspirasi yang ada dimasyarakat untuk nantinya disampaikan kepada negara. Dengan adanya partai politik ini diharapkan, hubungan antara masyarakat dengan negara menjadi lebih dekat.
Menurut buku Sahya Anggara (2013:54), dalam sistem politik yang demokrasi, partai politik bisanya melaksanakan empat fungsi, yaitu: Pertama, sarana komunikasi politik. Partai politik disini harus menjadi jembatan antara negara dan masyarakat. Dimana segala jenis aspirasi masyarakat harus di himpun dan kemudian disampaikan kepada negara. Begitu juga dengan segala jenis kebijakan yang dibuat negara, partai politik juga harus membantu negara dalam menyebarkan kebijakan kepada masyarakat umum. Kedua, sarana sosialisasi politik. Dalam partai politik, bisanya terdapat tujuan, cita-tita yang sama. Dimana tujuan utamanya adalah melaksanakan kebijakan-kebijakan partai dalam sistem politik. Sehingga disini partai politik bertugas untuk mensosialiasikan segala jenis kebijakan yang sudah disatukan dengan program kerja kepada masyarakat. Agar masyarakat dapat memilih ataupun mendung partai tersebut. Ketiga, sarana rekrutmen politik. Dalam mendapatkan kekuasaan penuh, partai politik harus memiliki pemimpin yang mampu membawa partai politik mendapatkan kekuasaan penuh dalam sistem politik. Keempat, sarana pengatur konflik. Sebagai partai politik harus bisa menjadi pihak ketiga ketika terjadinya konflik antara masyarakat dengan negara. 

Struktur Politik Informal Diluar Partai Politik

Menurut Buku Sahya Anggara (2013:57), struktur-struktur politik informal, seperi media massa, kelompok berbasis agama, LSM atau NGO, dan asosiasi profesi telah menunjukkan eksistensinya dalam sistem politik setelah kurang lebih selama 32 tahun mendapatkan tekanan dari pemerintah. Struktur politik informal ini hadir karena struktur politik informal lain dalam hal ini partai politik tidak bisa mengawasi segala jenis kebijakan yang merugikan masyarakat. Sehingga kehadiran struktur politik informal ini sangat diperlukan ketika partai politik tidak lagi memihak kepada masyarakat.

Infrastruktur dan Suprastruktur Politik di Indonesia

Sistem politik pada hakikatnya mengandung makna suatu totalitas unsur yang saling berkegantungan dalam suatu himpunan yang secara ideal berorientasi pada suatu tujuan (goal). Secara teoritis sistem politik merupakan sebagai salah satu sub sistem dari sistem yang lebih besar, yaitu sistem sosial. Dengan begitu, berarti dalam bekerjanya, sistem politik tidak bekerja dalam situasi yang vakum melainkan dalam situasi yang dinamis berkaitan dengan sub-sistem lainnya seperti budaya, ekonomi, komunikasi, dan sistem lainnya. Sedangkan secara terminologis, sistem politik sendiri pada hakikatnya terdiri dari unsur-unsur yang terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu supra struktur dan infra sturktur. 

   Suprastruktur politik yaitu struktur politik pemerintahan sektor pemerintahan, suasana pemerintahan, sektor politik pemerintahan (political suprastructures, surface structures, govermental sphere, formal political machines), atau pihak-pihak yang langsung terlibat dalam penyelengaraan kehidupan Negara. Pihak yang demikian, tercatat terdiri dari lembaga Eksekutif (Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri), Legislatif (MPR, DPR , serta DPD), dan Yudikatif (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial), serta lembaga-lembaga lain seperti kepolisian dan  lain sebagainya. 

 Infrastruktur politik berarti struktur politik masyarakat/rakyat, suasana kehidupan politik masyarakat/rakyat (political infrastructures subsets, socio-political sphere), dengan kata lain pihak-pihak yang tidak atau tidak langsung terlibat dalam penyelengaraan kehidupan Negara. lembaga-lembaga seperti ini diantaranya adalah LSM, Parpol, dan Media massa. 
Suatu sistem politik pasti mempunyai fungsi bagi sistem politik itu sendiri dan fungsi ini dijalankan oleh struktur politik itu tadi. Fungsi tersebut terbagi menjadi dua yaitu fungsi in put dan fungsi out put. Yang termasuk diperankan fungsi in put adalah fungsi-fungsi sebagai berikut: 
1) Sosialisasi dan rekrutmen politik; 
2) Artikulasi kepentingan; 
3) Agregasi (pengelompokan) kepentingan; 
4) Komunikasi politik. Sementara fungsi out put diperankan oleh fungsi sistem politik dalam tataran fungsi 
5) Pembuatan peraturan; 
6) Penerapan peraturan 
7) pengawasan peraturan. 

     Pemeranan fungsi sistem politik tadi, baik pada fungsi in put maupun fungsi out put, secara fisik itu dilakukan oleh struktur politik yang terdapat dalam suatu sistem politik. Maka pemenuhan tugas dan tujuan masing-masing berbeda pula. Struktur politik tersebut, dalam sistem politik dibedakan menjadi dua yaitu infrastruktur politik dan suprastruktur politik.

Jurnal Kesehatan Masyarakat

     PENGETAHUAN, SIKAP DAN AKTIVITAS REMAJA SMA 
DALAM KESEHATAN REPRODUKSI DI KECAMATAN BULELENG


Karya: I Made Kusuma Wijaya, Ni Nyoman Mestri Agustini, Gede Doddy Tisna MS2




         Siswa yang dijadikan sampel penelitian ini adalah siswa dari sekolah menengah atas yang ada dalam wilayah Puskesmas Buleleng I, yaitu: SMA Bhaktiyasa, SMA Kerta Wisata, SMA Muhamadyah, SMA Santo Paulus, SMA Saraswati, SMA Dwijendra, SMA LAB Undik-sha, SMAN 1 Singaraja, SMAN 4 Singaraja, SMKN 1 Singaraja, SMK TP 45 Singaraja dan SMA Widya Paramita yang keseluruhannya berjumlah 346 siswa.Responden dalam penelitian ini dibedakan menurut jenis kelamin dan umur. Jumlah sampel berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 51.3% (170 responden) dan sampel berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 48.7% (170 responden). Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa jumlah sampel yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari sampel yang berjenis kelamin laki.


     Jika dilihat dari jenis kelamin maka remaja yang berjenis kelamin perempuan mempunyai tingkat pengetahuan baik yang lebih tinggi daripada remaja yang berjenis kelamin 
laki-laki, dimana hasil yang diperoleh adalah dari 349 responden didapatkan yang mempunyai tingkat pengetahuan baik pada remaja yang berjenis kelamin perempuan adalah sebanyak 92 (51,4%) reponden dan sisanya sebanyak 72 (40,2%) responden mempunyai tingkat pengetahuan cukup, 15 (8,4%) responden memiliki tingkat pengetahuan kurang, sedangkan pada remaja siswa sekolah menengah atas yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai tingkat pengetahuan baik adalah sebanyak 56 (32,9%) responden dan sisanya sebanyak 92 (54,1%) responden memiliki tingkat pengetahuan cukup, 22 (12,9%) responden memiliki tingkat pengetahuan kurang.


     Jika dilihat dari umur yaitu remaja dari umur 14 tahun sampai 19 tahun maka dapat dilihat pada umur 18 tahun mempunyai tingkat pengetahuan baik yang paling besar yaitu sebanyak 6 (66,7%) responden sedangkan sisanya 9 (47,4%) responden tingkat pengetahuannya cukup, 4 (21,1%) responden tingkat pengetahuannya kurang dan selanjutnya pada umur 15 tahun yang mempunyai tingkat pengetahuan baik sebanyak 51 (45,9%) responden sedangkan sisanya 56 (50,5%) responden tingkat pengetahuannya cukup, 4 (3,6%) tingkat pengetahuannya kurang, selanjutnya umur 16 tahun yang mempunyai tingkat pengetahuan baik sebanyak 54 (45,4%) responden sedangkan sisanya 55 (46,2%) responden tingkat pengetahuannya cukup, 10 (8,4%) responden tingkat pengetahuannya kurang, selanjutnya umur 17 tahun yang mempunyai tingkat pengetahuan baik sebanyak 36 (40,9%) responden sedangkan sIsanya sebanyak 36 (40,9%) responden tingkat pengetahuannya cukup, 16 (18,2%) responden tingkat pengetahuannya kurang, selanjutnya umur 14 tahun yang mempunyai tingkat pengetahuan baik sebanyak 1 (12,5%) responden sedangkan sisanya sebanyak 7 (87,5%) responden tingkat pengetahuannya cukup, 0 (0%) responden tingkat pengetahuannya kurang, selanjutnya umur 19 tahun yang mempunyai tingkat pengetahuan baik yang paling kecil yaitu sebanyak 0 (0%) responden, sedangkan sisanya sebanyak 1 (25%) responden tingkat pengetahuannya cukup, 3 (75%) responden tingkat pengetahuannya kurang.

Setelah dilakukan tabulasi data mengenai sikap responden terhadap kesehatan re-
produksi didapatkan hasil sebagai berikut: sebagian besar yaitu sebanyak 302 orang (86,5%) memiliki sikap yang baik, kemudian diikuti 43 orang (12,4%) memiliki sikap yang cukup dan sisanya yaitu sebanyak 3 responden (0,9%) memiliki sikap yang kurang. Bila dilihat berdasarkan jenis kelamin, maka terdapat perbedaan tingkat sikap antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Sebanyak 78,1 % laki-laki memiliki sikap yang baik, sedangkan sisanya yaitu sebanyak 21,9% memiliki sikap cukup dan kurang. Pada responden dengan jenis kelamin perempuan, persentase responden dengan sikap baik lebih besar, yaitu sebanyak 95% memiliki sikap baik sedangkan sisanya yaitu 5% memiliki sikap yang cukup dan kurang. Bila dilihat dari umur, maka ditemukan bahwa persentase sikap dengan kategori baik terbesar dimiliki oleh kelompok umur 14 tahun yaitu 100%, diikuti oleh kelompok umur 16 tahun, 15 tahun, 17 tahun, 18 tahun dan yang terkecil adalah kelompok umur 19 tahun. Begitu pula sebaliknya kelompok umur 19 tahun memiliki persentase sikap dengan kategori cukup dan kurang paling besar, yaitu 75%.

   Setelah dilakukan tabulasi silang antara tingkat pengetahuan dan sikap responden terhadap kesehatan reproduksi terlihat bahwa responden dengan pengetahuan baik diikuti dengan sikap responden yang baik yaitu 94,6 % (140 responden dari 148 responden dengan pengetahuan baik). Responden dengan tingkat pengetahuan cukup yang memiliki sikap baik adalah sebanyak 86%, dan persentase tersebut semakin menurun, dimana hanya 58,3% responden dengan tingkat pengetahuan kurang yang memiliki sikap dengan kategori baik. 
Aktivitas responden dalam kesehatan reproduksi dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu 
positif dan negatif. Setelah dilakukan tabulasi data mengenai aktivitas responden dalam kesehatan reproduksi didapatkan sebagian besar yaitu sebanyak 132 orang (38,2%) memiliki aktivitas yang mengarah ke negatif, dan sisanya yaitu sebanyak 214 responden (61,8%) memiliki aktivitas yang mengarah ke positif. 

    Berdasarkan jenis kelamin didapatkan persentase aktivitas yang negatif pada laki-laki hampir berimbang dibandingkan dengan aktivitas positifnya, yaitu sebanyak 45,5% laki laki memiliki aktivitas yang negatif, dan sebanyak 54,5% memiliki aktivitas yang positif. Hal tersebut sedikit berbeda pada responden dengan jenis kelamin perempuan, persentase responden dengan aktivitas positif lebih besar, yaitu sebanyak 68,7% memiliki aktivitas yang mengarah positif dan sisanya yaitu 31,3% memiliki aktivitas yang mengarah ke negatif.
Berdasarkan umur, ditemukan bahwa persentase aktivitas negatif ditemukan paling 
besar pada responden dengan umur 18 tahun yaitu sebesar 52,6%, diikuti oleh responden 
dengan umur 19 tahun, 16 tahun, 14 tahun, 15 tahun dan terkecil adalah responden dengan 
umur 17 tahun sebesar 33,3%.

      Setelah dilakukan tabulasi silang antara tingkat pengetahuan dan aktivitas responden 
dalam kesehatan reproduksi terlihat bahwa responden dengan pengetahuan baik diikuti 
dengan aktivitas responden yang positif, yaitu 70% (103 responden dari 147 responden dengan pengetahuan baik). Persentase tersebut semakin menurun dengan menurunnya pengetahuan responden. Responden dengan tingkat pengetahuan cukup hanya 61,3% yang memiliki aktivitas positif, dan responden dengan tingkat pengetahuan kurang hanya sebanyak 30,6% yang memiliki aktivitas positif. Setelah dilakukan tabulasi silang antara sikap responden dan aktivitas responden dalam kesehatan reproduksi terlihat bahwa 
responden dengan sikap baik diikuti dengan aktivitas responden yang positif, yaitu 63,6% 
(192 responden dari 302 responden dengan sikap baik). Persentase tersebut semakin menurun dengan menurunnya sikap responden. Responden dengan sikap kategori cukup, hanya 48,8% yang memiliki aktivitas positif, dan responden dengan sikap kategori kurang hanya sebanyak 33,3% yang memiliki aktivitas positif. Berdasarkan analsis hubungan antar variabel menggunakan analisis korelasi bivariate pearson didapatkan data. Berdasarkan hasil analisa korelasi variable pengetahuan, sikap dan aktivitas diatas didapatkan bahwa terdapat korelasi antara pengetahuan dengan sikap, pengetahuan dengan aktivitas dan sikap dengan aktivitas secara signifikan. Adapun korelasi antara pengetahuan dengan sikap adalah sebesar 0,382. Korelasi antara pengetahuan dengan aktivitas sebesar 0,284. Korelasi antara sikap dengan aktivitas sebesar 0,269. Adanya korelasi yang signifikan antara pengetahuan, sikap dan aktivitas menunjukkan adanya hubungan antara ketiga variable tersebut meskipun korelasi yang dimiliki dapat dikategorikan lemah (<0,5). Dari pemaparan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan remaja siswa sekolah menengah atas se-kecamatan buleleng cenderung cukup dan kurang yaitu sebesar 201 (57,6%) responden, hanya sebagian kecil yang memiliki tingkat pengetahuan yang 
baik tentang kesehatan reproduksi yaitu 148 (42,4%) responden. Hal ini dapat disebabkan 
karena kurangnya pendidikan ataupun cermah-ceramah tentang kesehatan reproduksi 
yang diperoleh siswa tersebut. Atau dapat pula disebabkan oleh karena metode ceramah yang dilakukan kurang efektif karena siswa yang masih remaja ini kadang-kadang merasa malu untuk mengetahui hal-hal yang sebagian orang mungkin menganggap sebagai hal yang tabu sehingga biasanya mereka senang bertanya pada teman sebayanya yang belum tentu memiliki pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi ini.


    Dilihat dari jenis kelamin diketahui bahwa remaja siswa sekolah menengah atas yang berjenis kelamin perempuan memiliki tingkat pengetahuan baik yang lebih banyak yaitu sebanyak 92 (51,4%) reponden daripada remaja siswa sekolah menengah atas yang berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 56 (32,9%) responden. Hal ini dapat disebabkan oleh karena siswa yang berjenis kelamin perempuan memiliki rasa ingin tahu yang lebih besar karena 
mereka lebih merasakan perubahan-perubahan fisiologis pada diri mereka seperti misalnya 
menstruasi untuk pertama kalinya sehingga mereka akan berusaha untuk mencari informasi baik dari buku-buku ataupun melalui seminar atau ceramah tentang kesehatan reproduksi 
dan juga dengan teman sebayanya.Berdasarkan teori mengenai sikap diketahui bahwa sikap seseorang dipengaruhi oleh tiga aspek yaitu aspek kognitif, afektif, dan ko-
natif. Dalam peneliian ini teori tersebut tidak berlaku. Sikap responden yang tidak sesuai 
dengan pengetahuan yang dimilikinya ini dapat disebabkan oleh faktor lain. Sikap yang 
ditimbulkan tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tapi juga oleh 
kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, situasi di saat sekarang dan harapan harapan untuk masa yang akan datang (Azinar, 2013; Cahyo K, 2008).Bila dilihat berdasarkan jenis kelamin, maka terdapat perbedaan tingkat sikap antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Persentase responden dengan sikap baik lebih besar pada jenis kelamin perempuan dibandingkan jenis kelamin laki-laki. Hal ini dapat disebab-
kan karena perbedaan pandangan terhadap kesehatan reproduksi. Distribusi sikap responden terhadap kesehatan reproduksi menurut umur, ditemukan bahwa persentase sikap dengan kategori baik terbesar dimiliki oleh kelompok umur 14 hingga 16 tahun, sedangkan umur 17 hingga 19 lebih kecil. Hal ini dapat disebabkan karena pada umur yang lebih muda, mereka memiliki pandangan yang lebih baik terhadap kesehatan reproduksi. Bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki, ditemukan bahwa responden 
dengan pengetahuan baik diikuti dengan sikap responden yang baik yaitu 94,6 % (140 
responden dari 148 responden dengan pengetahuan baik). Persentase tersebut makin 
menurun dengan semakin menurunnya pengetahuan yang dimiliki. Hal ini erat kaitannya 
dengan bahwa pengetahaun yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi sikap yang muncul. 


        Perilaku seksual merupakan perilaku yang bertujuan untuk menarik perhatian lawan 
jenisnya. Perilaku ini sangat luas sifatnya dimana perilaku ini timbul didasari oleh dorongan 
seksual. Dimana permasalahan yang sering dihadapai remaja adalah dorongan seksual yang sudah meningkat sementara secara normative mereka belum menikah, belum diijinkan untuk melakukan hubungan seksual. Selain itu kematangan seksual remaja belum diimbangi oleh kematangan psikososial, akibatnya kadang kadang timbul rasa ingin tahu yang sangat kuat, keinginan bereksplorasi dan memenuhi dorongan seksual mengalahkan pemahaman tentang norma, kontrol diri, pemikiran rasional, sehingga tampil dalam bentuk perilaku coba-coba berhubungan seks. Berbagai faktor dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja antara lain faktor biologis, pengaruh orang tua dan teman sebaya, faktor akademik, pemahaman dan penghayatan nilai-nilai keagamaan, kepribadian, pengalaman seksual serta banyak lagi yang lainnya. Beberapa hal yang mungkin dilakukan remaja untuk mengatasi dorongan seksualnya yaitu bergaul dengan lawan jenis, berdandan untuk menarik perhatian, meyalurkan melalui mimpi basah, menahan diri dengan berbagai cara, menyibukan diri dengan berbagai aktivitas, menghabiskan tenaga dengan berolahraga, memperbanyak sembahyang, berfantasi tentang seksual, mengobrol tentang seks, menonton film pornografi, masturbasi/onani, melakukan hubungan seksual non penetrasi, melakukan aktivitas penetrasi. Bila dilihat berdasarkan jenis kelamin, maka terdapat perbedaan tingkat perilaku antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Persentase perilaku yang negatif pada laki-laki hampir berimbang dibandingkan dengan perilaku posotifnya, yaitu sebanyak 45,5% laki laki memiliki prilaku yang negatif, dan sebanyak 54,5% memiliki perilaku yang positif. Hal tersebut sedikit berbeda pada responden dengan jenis kelamin perempuan, persentase responden dengan perilaku positif lebih besar, yaitu sebanyak 68,7% memiliki perilaku yang mengarah positif dan sisanya yaitu 31,3% memiliki perilaku yang mengarah ke negatife. Perbedaan persentase antara jenis kelamin laki-
laki dan perempuan ini dapat disebabkan karena perempuan pada umumnya lebih menjaga 
perilakunya sehari-hari daripada laki-laki.Responden dengan pengetahuan baik 
diikuti dengan perilaku responden yang positif, yaitu 70% (103 responden dari 147 responden dengan pengetahuan baik). Persentase tersebut semakin menurun dengan menurunnya pengetahuan responden. Hal ini dapat disebabkan karena pengetahuan dapat memberikan pengaruh yang sejalan dengan perilaku yang ditimbulkan. Semakin baik pengetahuan, maka perilaku yang ditimbulkan juga semakin baik, begitu pula sebaliknya semakin kurang pengetahuan yang dimiliki maka perilaku yang ditimbulkan juga semakin mengarah ke negative. Distribusi responden dengan sikap baik diikuti dengan perilaku responden yang positif dan persentase tersebut semakin menurun dengan menurunnya sikap responden. Sebanyak 63,6% responden dengan sikap baik memiliki perilaku yang baik pula, sedangkan responden dengan sikap kategori cukup, hanya 48,8% yang memiliki perilaku positif, dan responden dengan sikap kategori kurang hanya sebanyak 33,3% yang memiliki perilaku positif. Semakin menurunnya persentase perilaku responden yang mengarah positif ini dapat disebabkan karena sikap yang dimiliki memiliki pengaruh terhadap perilaku yang ditimbulkan oleh seseorang.







Daftar Pustaka


Agustini,M., Arsani,A. 2013. Remaja Sehat Melalui Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja Di 
Tingkat Puskesmas. Jurnal KEMAS 9 (1) (2013): 66-73

Azinar,M. 2013. Perilaku Seksual Pranikah Beresiko Terhadap Kehamilan Tidak Diinginkan. 
Jurnal KEMAS 8 (2) : 153-160 Cahyo,K., Kurniawan,T.P., Margawati,A. Faktor faktor Yang Mempengaruhi Praktik Kesehatan Reproduksi Remaja di SMA Negeri 1 Purbalingga Kabupaten Purbalinggga. 


Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia 3(2): 86-101 Dinas Kesehatan Kabupaten Buleleng. 2009. 

Laporan Tahunan Program Kesehatan Lanjut Usia dan Program Kesehatan Remaja Tahun 
2009. Buleleng


Endarto, Y., Parmadi, S.P. 2006. Hubungan Tingkat Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dengan Aktivitas Seksual Berisiko pada Remaja di SMK Negeri 4 Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta.


Lakmiwati, I.A.A. 2003. Transformasi Sosial dan Aktivitas Reproduksi Remaja. Ejournal.unud.ac.idNotoatmodjo,S, et al. 2005. Konsep Aktivitas Kesehatan. Buku Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta 


Rizki N.A. 2012. Metode Focus Group Discussion Dan Simulation Game Terhadap Peningkatan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi. Jurnal Kemas 8(1): 13-29


Suryoputro A, dkk. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Seksual Remaja di Jawa Tengah: Implikasinya terhadap Kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi. Jurnal Makara Kesehatan 10(1): 29-40

Suamiku Milik Ibunya



*"SUAMIKU MILIK IBUNYA"*



Berpuluh kali membaca postingan ini, tidak akan bosan. Subhanallah...
Pagi-pagi sekali, Sarah mengetuk pintu rumah ibunya. Ia menggendong anaknya dan membawa satu tas besar di tangan kanannya.

Dari matanya yang sembab dan merah, ibunya sudah tahu kalau Sarah
pasti habis bertengkar lagi dengan suaminya.

Meski heran, karena biasanya Sarah hanya sebatas menelpon sambil menangis jika bertengkar dengan suaminya. Ayah Sarah yang juga keheranan, segera menghampiri Sarah dan menanyakan masalahnya.

Sarah mulai menceritakan awal pertengkarannya dengan suaminya tadi malam.
Sarah kecewa karena suaminya telah membohongi Sarah selama ini.
Sarah menemukan buku rekening suaminya terjatuh didalam mobil.
Sarah baru tahu, kalau suaminya selalu menarik sejumlah uang setiap bulan, di tanggal yang sama.

Sementara Sarah tahu, uang yang Sarah terima pun sejumlah uang yang sama.

Berarti sudah 1 tahun lebih, suaminya membagi uangnya, setengah untuk Sarah, setengah untuk yang lain. Jangan-jangan ada wanita lain??
Ayah Sarah hanya menghela nafas, wajah bijaksananya tidak menampakkan rasa kaget atau pun marah.

*"Sarah...,*
*» Yang pertama, langkahmu datang ke rumah ayah sudah dilaknat Allah dan para MalaikatNya',*

*karena meninggalkan rumah tanpa seizin suamimu"*
Kalimat ayah sontak membuat Sarah
kebingungan.

Sarah mengira ia akan mendapat dukungan dari ayahnya.
*» "Yang kedua,* *mengenai uang suamimu, kamu tidak berhak mengetahuinya.*

*Hakmu hanyalah uang yang diberikan suamimu ke tanganmu.*
*Itu pun untuk kebutuhan rumah tangga.*

Jika kamu membelanjakan uang itu tanpa izin suamimu, meskipun itu untuk sedekah, itu tak boleh".

Lanjut ayahnya.
"Sarah.., suamimu menelpon ayah dan mengatakan bahwa sebenarnya uang itu memang diberikan setiap bulan untuk seorang wanita.
Suamimu tidak menceritakannya padamu, karena kamu tidak suka wanita itu sejak lama.

Kamu sudah mengenalnya, dan kamu merasa setelah menikah dengan suamimu, maka hanya kamulah wanita yang
memilikinya".

"Suamimu meminta maaf kepada ayah karena ia hanya berusaha menghindari pertengkaran denganmu.

Ayah mengerti karena ayah pun sudah mengenal watakmu" mata ayah mulai berkaca-kaca.

*"Sarah...,*
*kamu harus tahu, setelah kamu menikah maka yang wajib kamu taati adalah suamimu.*

*Jika suamimu ridho pdmu,*
*maka Allah pun Ridho.*
*Sedangkan suamimu, ia wajib taat kepada ibunya.*
Begitulah Allah mengatur laki-laki untuk taat kepada ibunya.
Jangan sampai kamu menjadi
penghalang bakti suamimu kepada ibundanya".
*"Suamimu, dan harta suamimu adalah milik ibu nya".*
Ayah mengatakan itu dengan tangis. Air matanya semakin banyak membasahi pipinya.

Seorang ibu melahirkan anaknya dengan susah payah dan kesakitan.
• Kemudian ia membesarkannya hingga dewasa hingga anak laki-lakinya menikah, ia melepasnya begitu saja.
• Kemudian anak laki-laki itu akan sibuk dengan kehidupan barunya.
• Bekerja untuk keluarga barunya.
• Mengerahkan seluruh hidupnya untuk istri dan anak-anaknya.
• Anak laki-laki itu hanya menyisakan sedikit waktu untuk sesekali berjumpa dengan ibunya. sebulan sekali, atau bahkan hanya1 tahun sekali.
"Kamu yang sejak awal menikah tidak suka dengan ibu mertuamu.
Kenapa?

Karena rumahnya kecil dan sempit? Sehingga kamu merajuk kepada
suamimu bahwa kamu tidak bisa tidur disana.
Anak-anakmu pun tidak akan betah disana.
Sarah.., mendengar ini ayah sakit sekali".
"Lalu, jika kamu saja merasa tidak nyaman tidur di sana.
Bagaimana dengan ibu mertuamu yang dibiarkan saja untuk tinggal disana?"
*"Uang itu diberikan untuk ibunya.* Suamimu ingin ayahnya berhenti berkeliling menjual gorengan.

Dari uang itu ibu suamimu hanya memakainya secukupnya saja, selebihnya secara rutin dibagikan ke anak-anak yatim dan orang-orang tidak mampu di kampungnya. Bahkan masih cukup untuk menggaji seorang guru ngaji di kampung itu" lanjut ayah.

Sarah membatin dalam hatinya, uang yang diberikan suaminya sering dikeluhkannya kurang. Karena Sarah butuh banyak pakaian untuk mengantar jemput anak sekolah.

Sarah juga sangat menjaga
penampilannya untuk merawat wajah dan tubuhnya di spa.
Berjalan-jalan setiap minggu di mall. Juga berkumpul sesekali dengan teman-temannya di restoran.

Sarah menyesali sikapnya yang tak ingin dekat-dekat dengan mertuanya yang hanya seorang tukang gorengan.

Tukang gorengan yang berhasil :
• Menjadikan suaminya seorang sarjana,
• mendapatkan pekerjaan yang di idam-idamkan banyak orang.
• Berhasil mandiri, hingga Sarah bisa menempati rumah yang nyaman dan mobil yang bisa ia gunakan setiap hari.
"Ayaaah, maafkan Sarah", tangis sarah meledak.
Ibunda Sarah yang sejak tadi duduk di samping Sarah segera memeluk Sarah.
*"Sarah...*
*• kembalilah ke rumah suamimu.*
*Ia orang baik nak...*
*• Bantulah suamimu berbakti kepada orang tuanya.*
*• Bantu suamimu menggapai surganya,* *dan dengan sendirinya, ketaatanmu kepada suamimu bisa menghantarkanmu ke surga".*

Ibunda sarah membisikkan kalimat itu ke telinga Sarah.
Sarah hanya menjawabnya dengan anggukan, ia menahan tangisnya.
Bathinnya sakit, menyesali sikapnya.

Sarahpun pulang menghadap suaminya dan sambil menangis memohon maaf kpd suaminya atas prasangka yg salah selama ini.

Di lain hari, sarahpun mengikiti suaminya bersilaturahmi kpd ibu kandung suaminya alias mertua dirinya.

Suaminya meneteskan air mata menatap istrinya yg di tangan istrinya tertenteng 4 liter minyak goreng untuk mertuanya.
Tetesan air mata suami bukan masalah jumlah liternya
tapi karena perubahan istrinya yg senang dan nampak ihlas hendak datang kpd orang tuanya alias mertua istrinya.
Seterusnya Sarah berjanji dalam hatinya, untuk menjadi istri yang taat pada suaminya.

Sesekali waktu, Sarah bukan mengajak suaminya ke Mall tapi minta anjangsana ke rumah mertuanya dan juga orang tuanya.
Subhanallah....

Organisasi Agama

Menurut weber dan Troeltch

Weber melihat bahwa “rutinitas karisma”. Muculnya sekte-sekte dalam pemurniaan agama. Weber dan Troeltch menandai sekte sebagai komunitas sukarela yang lingkupnya kecil, hidupnya terpisah dari masyarakat, dan berfokus pada pencapaian kesempurnaan batin. 


Tipologi gereja-sekte


secara umum tipologi organisasi keagaman sifatnya melekat  dan terlepas dari struktur agama yang bersangkutan. Dalam agama kristen, terdapat struktur hierarkial di gereja katolik yang bersifat internasional sampai ke tingkat lokal.


karakteristek sekte-sekte menurut Troeltsch mencakup hal-hal sebagai berikut

1. Anggota-anggotanya berasal dari kelas rendah dan memiliki kecendrungan egalitarium atau anti kependetaan.

2. Suatu doktrin atau pengajaran yang berbeda yang secara khas diwahyukan atau dipahami oleh pendiri sekte itu.

3. Protes atau penolakan terhadap pimpinan ,dogma, dan praktik sosial dari agama yang telah mapan.

4. Keanggotan didasarkan pada pilihan bukan pewarisan.

5. Ikatan yang kuat dan keniscayaan komitmen.

6. Nilai-nilai moral dan gata hidup alternatif.

Organisasi Keagamaan sebagai Birokrasi


Menurut penelitian organisasi Harison 1959, Winter 1967, Primer 1979 dan Takayama 1979 menunjukkan bahwa adanya denominasi protestan yang telah lahir dalam ukuran, fungsi dan kompleksitas administrasi selama beberapa tahun. Denominasi protestan sendiri merupakan suatu kelompok keagamaan yang dapat di identifikasikan di bawah suatu nama, struktur dan doktrin.

 Refleksi pada topik ini, bahwa adanya asumsi tentang gereja dan sekte. Bahwa gereja merupakan hal duniawi yang pasti korup, sedangkan sekte selalu diasumsikan sebagai hal yang murni dan idealis. di Amerika Serikat, dimana gereja gereja cenderung mengejar idealisme religius dengan keduniawian, bahwa hal-hal yg pragmatis merupakan hak mereka yang diberikan oleh Tuhan. Kelompok agama yang paling sukses adalah mereka yang paling pragmatis dan fleksibel, mengatasi kendala tradisional dan mengadaptasi strategi untuk mencapai tujuan mereka.Rasionalisasi efisiensi dalam agama di Amerika, jauh dari tanda tanda sekulerisasi yang sebenernya merupakan ciri keberhasilannya.

Neoinstitusionalis


    Neoinstitusionalis menekankan peran proses budaya dalam membentuk perilaku organisasi. struktur formal organisasi tidak muncul dari tuntutan fungsional kegiatan kerja, ketika praktik organisasi menjadi sangat dilegitimasi, mereka menyebar dengan cepat di seluruh sektor kelembagaan. Neoinstitutionalis menekankan organisasi dibentuk oleh perilaku ritualistik. Neoinstitutionalis fokus pada proses budaya eksternal yg mempengaruhi perilaku organisasi. 

   Organisasi sebenarnya sangat mirip dalam hal sejarah, latar belakang, dan otoritas teologis. Teori neoinstitusionalisasi adalah sektor di mana tidak ada organisasi tunggal yang mendominasi. Perspektif neoinstitutional menawarkan nilai dalam memberikan cara mengartikulasikan melihat lingkungan yang dilembagakan.


Arah Baru untuk Mempelajari Sektor Agama


Proposisi 1 : Para ahli agama perlu membedakan antara studi organisasi yang berfokus pada satu organisasi dan mereka yang menganggap organisasi sebagai produk dari proses lingkungan yang lebih luas. 

Proposisi 2: Definisi empiris kita tentang sektor agama harus bergantung pada fokus teoritis. 

Proposisi 3: Para sarjana agama harus berpikir tentang sektor agama bukan sebagai bagian terpisah dari masyarakat Amerika tetapi sebagai seperangkat aktor institusional yang dipengaruhi oleh, dan berinteraksi dengan, lembaga sosial besar lainnya dalam masyarakat Amerika. 

Proposisi 4: Mengikuti kritik teori neoinstitutional, perlu memahami bagaimana proses pelembagaan memandu perilaku organisasi di sektor agama, bagaimana proses ini berbeda dari sektor kelembagaan lainnya, dan apa artinya ini

Proposisi 5 : Para sarjana agama perlu menata kembali lanskap keagamaan Amerika untuk memasukkan tidak hanya denominasi arus utama yang menjadi fokus mayoritas penelitian keagamaan, tetapi gerakan keagamaan baru, kelompok spiritual, dan gerakan ideologi akar rumput juga.




Ilmu Sosial Indonesia telaah dari Historis


Ilmu Sosial Indonesia Telaah Historis

Pembahasan mengenai perkembangan sosiologi Indonesia akan disorot dari dinamika ilmu sosialnya terlebih dahulu karena latar belakang peristiwa-peristiwa sejarah bangsa Indonesia manggambarkan hubungan kekuasaan yang unik atas bangunan ideologi orientalisme sejak era kolonialisme dengan jangka waktu yang lama sampai pada lahirnya rezim otoritarianosme orde baru. Selain itu, juga akan mendiskusikan perihal diskursus ilmu sosial Indonesia delam makna kekuasaan dan reproduksi pengetahuan terkait dengan konteks kolonialisme dimana ilmu social yang khas Belanda berpengaruh kuat terutama karena dibawa oleh ilmuan-ilmuan sosialnya melalui penelitian-penelitian ilmiah mereka terhadap masyarakat Indonesia.

Fase sebelum Perang Dunia II menjadi focus awal karena pada masa ini pengaruh ilmu social Belanda begitu kuat terutama pada diskursus indologi, kebijakan pemerintah Hindia-Belanda mengenai politik Etis serta periode-periode awal revolusi kemerdekaanyang menentukan bagi arah ilmu social Indonesia.

Berbicara tentang perkembangan ilmu social di Indonesia tentu memori kita akan tertuju pada daratan Eropa, tempat dimana pada dua abad yang lalu ilmu tersebut lahir disana. Ilmu social lahir dari perkembanganilmu filsafat Eropa. Menjadi induk dari segala ilmu yang ada, ilmu ini terus berkembang dan mencari hakikat manusia dan perkembangannya. Sementara ilmu sosial itu mengalami perkembagan pesat dalam arti perkembangannya yang meluas tidak hanya didaratan Eropa namun sampai ke wilayah Amerika dan Asia, meskipun dalam sejarahnya beberapa peristiwa yang turut andil mempengaruhi kelahiran teori-teori ilmu social awal berlangsung di beberapa Negara di Eropa.

Dalam konteks di Indonesia, ilmu-ilmu social pada perkabangan awalnya juga dibawa oleh orang-orang Eropa dimasa kolonialisme Hindia-Belanda. Dinamuka ilmu social dan sosiologi khususnya dipengaruhi oleh factor dan praktik-praktik kolonialisme itu sendiri. Sebagai Negara jajahan, ilmu social memainkan fungsi sebagai medium guna menjaga kepentingan penjajah riset-riset ilmiah terhadap kehidupan social, budaya dan system politik yang ada dimasyarakat Hindia-Belanda kala itu. Dengan logika yang cukup sederhana, tentu kita bisa membaca ketika pemerintah jajahan yang niscaya berhubungan dan berinteraksi dengan penduduk pribumi, memerlukan pemahaman akan pola kebudayaan, adat-istiadat, struktur masyarakat hingga pola pikir agar pemerintahan tersebut dapat berjalan secara efektif dan efisien. Karena itu, penelitian-penelitian seperti yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje dan Van Vollenhovenmisalbya, menunjukan arti penting mengenai gambaran realitas masyaraka terutama dari aspek social-budaya yang kemudian menjadi bahan evaluasi oleh pemerintahan jajahan. Pada jaman colonial inilah studi-studi dalam rangka mengenal adat sertaa tradisi dan kebiasaan dari oenduduk pribumi didaerah jajahan menjadi marak dan popular untuk dipelajari seperti etnologi, antropologi, dan sosiologi hingga pengetahuan seputar suku-suku bangsa di Indonesia banyak terkumpul. Begitu pula dengan Raffles pada masa berkuasa di Hindia-Belanda memberi contoh dalam studinya yang menyelami adat serta kebiasaan masyarakat di Pulau Jawa. Buku yang terbit dua jilid ini selain menyajikan data-daa statistic penduduk Jawa juga membuat banyak deskripsi etnologis suku bangsa Jawa Barat.

Pada masa kolonialisme ini pula, di Belanda tepatnya di Leiden, lahirlah pendidikan Indologie yang berguna untuk menghasilkan tenaga kerja pegawai pemerintahan Belanja yang mempunyai cukup referensi mengenai masyarakatsetempat agar bisa bertugas di daerah jajahannya. Pendidikan ini bertujuan untuk memberikan kepada calon pegawai administrasi Belanda sebuah paket pengetahuan dasar akademis yang merupakan sebuah kurikulum campuran, yang terdiri dari geografi, etnologi, dan linguistic. Program ini pertama kali dimulai pada tahun 1842, yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah akademi pada tahun 1864, hingga pada akhirnya ditetapkan sebagai sebuah departemen di Universitas Leiden tahun 1891. Oleh karena sifat dan tujuannya, maka indologie merupakan sebuah paket pendidikan pegawai administrasi dan para praktisi, dan karena itu pula merupakan program studi yang cendderug mengikuti orientasi kebijaksaan daripada orientasi-disiplin, dan lebih bersifat program terapan daripada program dasar.

Bicara mengenai politik Etis dan Indologie, tentunya akan memperbincangkan sejarah Indonesia secara keseluruhan tanpa menyajikan peristiwa penting diseputar praktek kolonialisme Hindia-Belanda yang dikenal dengan politik etis akan terasa kurang lengkap, begitu enurut sebgaian esarilmuan social terutama sejarawan. Sedangkan dalam konteks perkembangan ilmu social Indonesia, masa-masa ketika politik etis beroperasi di Hindia-Belanda menjadi arena pertaruhan dan sekaligus menjadi tantangan bagi konstruksi ilmu itu sendiri. Sebagaimana disinggung pada penjelasan sebelumnya, bahwa pada paruh kedua abad ke-19 yang ditandai dengan kedatangan pegawai-pegawai administrasi colonial yang terdidik dalam beberapa bidang ilmu social, status akademis dari tiap cabang ilmu yang diperkenalkan sejak masa itu dikatakan tidak jelas dan tidak didefinnisikan. Program pendidikan yang disebut indologie tersebut barulah  sebatas kurkulum campuran yang terdiri dari geografi, etnologi dan linguistic. Menurut Ignan Khalden, meskipun terdapat pembagian studi-studi pragmatis dengan penekanan utama masing-masing pada sejarah dan bahasa, yang kemudian menjadi pembelajaran antropologi yang ada pada saat ini, pada studi social politik yang kemudian menjadi jurusan sosiologi, dan pada studi social-ekonomi sebagai asal-muasal ilmu ekonomi yang ada sekarang, akan tetapi perbedaan akademis yang sesungguhnya masih terasakabur dan belum dianggap penting.

Jadi, melihat kebijakan politik etis dalam desin penyadaran d wilaya pendidikan, pada ulasan selanjutnya akan tampak bahwa ide-ide kemajuan yang menjadi bagian dari kebijakan politik ini akan berdampak, baik secara langsung maupun tidak langsung, pada lahirnya gagasan-gagasan Indonesia Merdeka. Namun sebelumnya, dalam konteks perkembangan di wilayah internal birokrasi pemerintahan Hindia-Belanda, kegiatan-kegatan para birokrat ini terbukti mengembangkan indologie dan bahkan melalui mereka ini kegiatan indologie semakin intensif, karena mereka diminta untuk melakukan observasi, baik untuk kebutuhan pribadi maupun untuk kebutuhan administrative. Selain itu, pola-pola birokrasi yang berjalan menunjukan ciri-ciri.

Kerja para birokrat ini dimasa politik etis pada dasarnya untuk meningkatkan taraf hidup penduduk pribumi Hindia-Belanda. Namun, tidak hanya sebatas itu melainkan tetap dalam bingkai menjaga kepentingan dan  kebijakankolonial. Akhirnya dalam beberapa catatan sejarah, meskipun kebijakan politik etis atas dasar rasa “hutang budi” ini tidak semuanya mencapai target yang direncanakan atau dengan bahasa lain tidak berhasil dalam mewujudkan kesejahteraan, dan kemakmuran penduduk pribumi Hindia-belanda, akan tetapi watak colonial yang begitu kuat dari pemerintahan Belanda sehingga campur tangan Negara terhadap kehidupan orang-orang Hindia-Belanda tidak didasarkan pada kebutuhan mereka melainkan pada apa yang pihak colonial anggap baik bagi mereka. Maka dalam hal ini kebijakan politik etis bisa dilihat dalam konteks memajukan kesejahteraan penduduk yang tidak didorong oleh aspirasi yang membangun.


Revolusi Kemerdekaan dan Arah Bagi Ilmu Sosial Indonesia

Pasca perang dunia 1 dan depriasi ekonomi dunia pada tahun 1930an yang pada akhirnya membawa pengaruh pada praktik-praktik radikalisme dan perlawanan politik di Indonesia. Seiring itu politik etis menjadi proyek politik yang ketinggalan zaman. Adapun pernyataan Snouck Hurgronje, “kita tak bisa menggantungkan rasa ketentraman kita pada ukuran ukurn yang berfungsi untuk memperkukuh kekuasaan kita dengan mencegah ketidakpuasan dan perlawanan”bagian perkembangan ini juga menempatkan Tan Malaka dan Hatta di Belanda serta Soekarno dihindia yang membuka diskursus dapat dikatakan tergolong baru dalam artian mendikonstruksi wacana Etis menjadi wacana merdeka. Bermula dari kebijakan politik etis terutama pada wilayah pendidikan . politik etis juga melanggengkan seperioritas Belanda dan menurunkan kaum boemiputra ke posisis yang lebih rendah dari sebelumnya, sudah terbukti juga pemicunya dapat meningkatkan paradoks dalam bentuk rasa rendah diri yang sudah tidak tertahankan untuk mencut wacana Nederlander-Inlander atau superioritas dan inferioritas. Yang menimbulkan kesadaran untuk bisa mengambil tugas mengangkat dan mendidik orang lain. Dapat dilacak juga upaya-upaya para pendiri pelopor gerakan Boedi Oetomo(1908) yang tidak lain berada dalam jalur mengangkat dan mendapat eksitensi dalam diskursus etis dengan waktu usaha yang terbatas.

Politik etis mulai terbukti gagal dalam menikatkan kesejahteraan masyarakat hindia, adapun peninggalan dari kebijakan pendidikan yang akhirnya menghasikan kaum terpelajar dari golongan pribumi Hindia-Belanda yang dapat duduk di dalam struktur administrasi-birokrasi pemerintahan colonial. Akan tetapi mereka merasa adanya ketidakailan dalam upah dan kenaikan pangkat yang tetap memprioritaskan Belanda. Konstruksi pemahaman yang dibangun pada pengalaman penindasan yang cukup lama dan menyiksa sejak zaman VOC masuk. Masa pemerintahan colonial bersama dengan kelompok-kelompok lain mulai mecari jalan keluar dari system kolonialisme, disinilah kesadaran yang bersifat nasional muncul yang dimotori oleh kaum terpelajar pribumi, baik dinegeri jajahan maupun di negeri Belanda yang menandai sebuah era transformasi dalam kepemimpinan politik masyarakat hindia. Melalui semangat dari himpunan “pemoeda-peladjar” dan singgungan yang intensif dengan wacana intelektual barat (Eropa) yang kemudian membawa pengaruh kepada wacana kemerdekaan.

Gerakan Budi Utomo, sarekat islam juga merupakan organisasi yang sangat berperan dalam menumbuhakan gagasan nasionalisme, dapat dilihat pada tahun 1916 serekat islam dalam kongrest pertamanya untuk menetapkan tujuan baru yaitu berkontribusi untuk meningkatkan kesadaraan gerakan kebangsaan antar warga hindia . serekat islam juga mendorong sentiment anti-Barat dan anti-kolonialpada arah perjuangan pertama untuk melawan ketidakadilan masyarakat muslim. 

Partai komunis Indonesia (PKI) adalah organisasi yang sejalan dengan serekat islam (SI). PKI didirikan pada 1919, PKI lahir dalam kelompok radikal dari golongan yang ada di serekat islam lalu dipecah menjadi dua golongan yaitu SI putih dipimpin oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto, H. Agus Salim dan Abdoul Moeis. Sedangkan SI merah dipimpin oleh Semaoen, Darsono dan teman-temannya yang berhaluan sosialis-radikal yang dapat dilihat dari keterbatasan tubuh SI sehingga menganggap sudah tidak sejalan untuk melawan ketidakadilan. Di akhir tahun 1920an dalam sejarah tercatat terjadi pemberontakan PKI di Jawa Barat pada November 1926 dan di pesisir Barat Sumatera pada januari 1927. Pki juga dianggap sebagai pengganggu keamanan hingga akhirnya terjadi pemberangusan PKI. Sejarahnya PKI sempat berhasil meraup dukungan luas dimasyarakat Indonesia. PKI juga bisa dikatakan organisasi politik pertama kali yang berani melakukan perlawanan terhadap pemerintah colonial Belanda. Pada tahun 1926 muncul generasi baru dalam perjuangan politik melawan kolonialisme belanda, golongan ini juga sebagai perjuangan nasionalisme kemerdekaan Indonesia yang melanjutkan generasi Budi Utomo dan serekat Islam.

Tiga organisasi yang dibentuk oleh kaum intelektual Indonesia pada akhir 1920-an. Ketiga kelompok itu adalah Indonesische studieclub berdiri tahun 1924 disurabaya, Algemeene Studieclub berdiri tahun 1925 di Bandung serta Perhimpoenan Indonesia di Belanda. Ketiga orgnisasi ini, perhimpunan Indonesia memiliki pengaruh panjang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pelajar Indonesia di Belanda mendirikan Indische Vereeniging ialah organisasi cikal bakal dari perhimpunan Indonesia. Sebelum perhimpunan Indonesia(PI), pengaruh dari gerakan Indische Partij bisa dialamatkan disini, mereka mengkritik pemerintah colonial sehingga organisasi itu dilarang pemerintah Hindia Belanda dan pemimpinnya di buang ke Belanda pada tahun 1913. Datangnya tiga tokoh indische partij yairu dr. Tjipto Mangunkusumo, dr. E.F.E Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat, pengaruh pemikiran mereka sampai kepada pelajar Indonesia di negeri Belanda. Pelajar Indonesia terdorong rasa nasionalisme yang awalnya mereka berpikir politis. Tujuan organisasinya berubah mengarah pada bentuk nasionalisme Indonesia. Para pelajar dan orang-orang Indonesia di Belanda seperti satu keluarga, satu bangsa. Untuk menambah semangat nasionalisme maka perkumpulan ini ganti menjadi perhimpunan Indonesia(PI) tahun 1925. 

Pada tahun 1925 PI mengeluarkan Menifesti politik pada majalah PI yaitu Indonesia merdeka.PI sangat aktif dalam semangat kemerdekaan dari bentuk tulisan baik majalah maupun pamphlet seperti pernytaan PI dalam majalah Indonesia yang terbit bulan Mei 1945. Manifesto politik merumuskan secara jelas dan tajam ideology nasionalisme Indonesia yang sebelumnya masih ada hambatan seperti segmentasi etnik. Berbeda dengan organisasi lain, PI memilik dampak besar bagi perkembangan organisasi di Hindia. PI tercatat ikut andil dalam kelahiran PNI(partai nasional Indonesia) dan organisasi berhaluan nasionalis setelah pelarangan PKI tahun 1927. George Kahin meneliti soal nasionalisme dan revolusi Indonesia beranggapan PI salah satu penentu arah dari gerakan nasional Indonesia. 

Adapun yang dikonsepkan oleh Antonio Gramsci bahwa wacana tentng setiap organisasi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang disebut sebagai kelompok intelektual yang berpartisipasi di aras politik, sosial maupun budaya untuk kemaslahatan bangsa. Untuk pemaknaan kaum intelektual. PI mengalami pergantian nama dari Indische Vereeniging (IV) tidak dengan dasar argumentasi kuat.ide menetpkan jati diri dan identitas kebangsaan seara historis dari kesadaran kolektif untuk membangun solidaritas nasionaldan bisa ematahkan konstruksi dari pihak colonial. Kostrusi nasional dicirikan simbolik dari penamaan Indische menjadi Indonesia. Nasionalisme muncul di Indonesia dalam istilah Ben Anderson sebagai komonita imajiner untuk melampaui batasan agama, suku, budaya dan etnik yang merupakan sejarah bangsa eropa dalam mewujudkan kebangsaan. Di eropa lahirnya kesadaran nasional, maka di Indonesia nasionalisme merupakan tujuan perjuangan bersama untuk membentuk Negara Indonesia merdeka. Nasionalisme juga sebagai tujuan bersama mewujud sebagai wacana pergelutan kekuasaan. Kekuasaan diasosiasikam kepada pemerintah colonial belanda., foulcault pernah mengutarakan wacana mampu mentransmisikan dan memproduksi kekuasaan. Bisa melemahkan kekuasaan atau merapuhkan. Kaum intelektual hindia memiliki modal budaya seperti konsepsi Gouldner modal simbolik dalam gagasan Bourdieu yang mengikuti Antonio Gramsci yang dikenal sebagai intelektual organis, yaitu ,manifestasi perlawanan pruduk aktivitas kelas tertindas dengan kesadaran sosial kritis. Penindasan oleh kolonialisme dalam waktu panjang jika tanpa kekuasaan kokoh,  kekuasaan oleh Foulcault berpeluang melahirkan anti kekuasaan. Organisasi pergerak nasional merupakan bentuk kebudayaan kontra yang berfungsi untuk membangun kebudayaan politik.

Konstelasi politik dunia bergejolak seiring dengan krisis ekonomi global. Pada tanggal 1 september 1939 Hitler menyerbu polandia sebagai penanda kobarnya perang duinia II di Eropa. Tahun ini juga Indonesia telah membentuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang diprakasai organisasi nasionalis. Disinilah peperangan dimulai, penjajahan jepang di Indonesia berlangsung selama 3,5 tahun dalam waktu itu juga kehidupan Indonesia berubah ketika halnya  dijajah belanda. Dalam catatan sejarah lebih banyak menderita karna pabrik ditutup dan epang ingin tenaga kerja dialihkan kesektor pangan agar industry tetap berjalan. Banyak peninggalan jepang terhadap perkembangan lmu sosial Indonesia. 
Ilmuwan sosial belanda lebih aktif dan produktif dalam menghasilkan karya karya ilmiah berbentuk penelitian untuk memenuhi kepentiang pemerintah colonial Belanda. Sedangkan kaun intelektual Indonesia lebih menonjol pada aksi politis karena solidaritas kebangsaan, cita-cita nasionalisme. Dapat dikatakan bahwa ilmu sosial Indonesia hingga Negeri ini memproklamasikan kemerdekaannya sangat kental dominasi ilmu sosial yang dibawa para ilmuwan belanda beserta ideologi yang dianutnya.

Ilmu Sosial Indonesia Masa Orde Baru

Pada tahap ini, perkembangan ilmu sosial Indonesia sangat kompleks. Kekuasaan Orde Baru terbukti menjadi daya tarik bagi banyak teknokrat dan ilmuwan sosial. Di pembahasan awal diulas mengenai praktik diskursif ilmu sosial Indonesia dengan menggunaan telaah orientalisme. Kemudian, penekanan diberikan pada bagaimana ideologi pembangunan menggerakkan segala daya ilmu sosial ke dalam lingkaran kekuasaan negara. Terakhir, pada periode-periode menjelang dan berakhirnya rezim Orde Baru yang ditandai dengan semangat berkembangnya paradigma kritis dalam geliat ilmu sosial umumnya melalui tangan-tangan ilmuwan sosial baik di dalam kampus maupun yang terjun ke dalam lembaga-lembaga independen seperti lembaga swadaya masyarakat.
Kemerdekaan Indonesia dan berakhirnya Perang Dunia II sekaligus menunjukkan bagaimana diskursus pembangunan dan modernisasi mulai dikenalkan secara meluas terutama kepada pengendali kekuasaan. Dengan demikian, sejak tahun 1945, walau terjadi pergantian kekuasaan dari pemerintahan kolonial Hindia-Belanda ke pemerintahan Republik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno, tidak serta-serta membawa perubahan yang berarti terkait karakter atau orientasi dari kepentingan Pemerintah (kekuasaan), termasuk dalam hal kebijakan untuk mempromosikan perkembangan ilmu-ilmu sosial. Kepentingan ini menurut Heryanto (2006), setidaknya bisa dilihat dari beberapa proyek yang ditujukan untuk menciptakan administrasi pemerintahan yang stabil, pengumpulan data di masyarakat tradisional, proses modernisasi dari masyarakat tradisional, industrialisasi, dan pembangunan bangsa. Perkembangan ilmu sosial Indonesia mengalami perubahan di era kepemimpinan Sukarno (1945-1966). Perubahan ini tampak ketika daya dan perekonomian masyarakat di Indonesia mulai banyak diminati. Tercatat seperti pusat studi Indonesia di Cornell University yang didirikan oleh George Mc.T Kahin, dikemudian hari akan menjadi sentral bagi ilmuwan-ilmuwan sosial Indonesia untuk menimba ilmu di universitas tersebut.
Indonesia sebagai negara baru merdeka tidak terlepas dari politik internasional yang dikomandoi Amerika Serikat (AS) tersebut. Sementara realitas politik di dalam negeri menunjukkan pula bagaimana diskursus antimprealisme yang dilontarkan Sukarno dalam rangka membangun karakter kebangsaan (nation and character building) sebagai diskursus lainnya, di samping berkat pembacaan sejarah yang kelam di masa penjajahan kolonial serta -meminjam istilah Ben Anderson menyatukan identitas kedaerahan pada satu komunitas yang diimajinasikan berwujud nasionalisme. Praktik diskursif era Sukarno ini sangat kontradiktif ketika Indonesia mulai di bawah kekuasaarn Suharto sehingga posisi Sukarno pada masa itu tidak dalam posisi aman dalam kacamata perpolitikan global.
Sebagaimana disebutkan di atas, kepentingan AS di Indonesia sulit dibendung. Penentu kebijakan AS telah melakukan kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi (universitas) dan lembaga-lembaga penelitian guna menyusun skema yang bersifat dominatif, dengan mempromosikan ide pembangunan khususnya bagi negara-negara baru merdeka. Wacana (discourse) pembangunan ini kemudian menjadi tawaran yang disebarluaskan kepada negara-negara Dunia Ketiga seperti Indonesia Konsep pembangunan sendiri berakar pada teori modernisasi yang pada hakikatnya dibangun atas asumsi bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem di mana terdapat tata kelembagaan yang kompleks, antara dimensi politik, ekonomi dan kebudayaan merupakan satu jalinan. Semakin modern suatu masyarakat maka tingkat diferensiasi sosialnya semakin tinggi. Asumsi semacam inilah yang diprakarsai Talcott Parsons, seorang ilmuwan sosiologi yang berpengaruh besar pada perkembangan ilmu-ilmu sosial terutama di Indonesia. Salah satu tesisnya bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terbuka, sehingga masyarakat selalu dipandang dalam hubungannya dengan masyarakat lain. Dalam perspektif teori modernisasi ini tradisi dan budaya yang ada di negara-negara bekas jajahan dianggap sebagai penghambat utama dari kemajuan ekonomi dan politik. Diskursus inilah yang akan bertahan lama di Indonesia hingga era Orde Baru menggantikan kepemimpinan Soekarno.

Paradigma Kritis Pasca-Orde Baru


Kekuasaan dalam bentuk apapun niscaya memuat unsur-unsur progresif di mana terbuka peluang bagi upaya-upaya resistensi, penolakan dan bentuk ketidakpercayaan. Ketika kekuasaan berwujud amanah dalam keberpihakan kepada masyarakat secara keseluruhan tanpa harus menyempitkannya pada aspirasi kelompok kecil maka keadilan dan penegakan hukum menjadi tiang utama. Akan tetapi sejarah yang tercatat di Indonesia menunjukkan fakta sebaliknya, kekuasaan di bawah kendali si penguasa mampu bertahan dalam durasi waktu yang cukup panjang dengan berbagai perangkat digunakan, mulai dari penggunaan alat-alat kekerasan sampai pada praktik kekuasaan yang halus dengan memainkan apa yang oleh Louis Althusser dikenal dengan Aparat Negara Ideologis/ Ideological State Apparatus, yang diinjeksikan dengan Aparat Negara Represif/ Repressive State Apparatus sehingga ia berkarakter hegemonik. Perlu juga diketahui bahwa pembangunanisme sebagai sebuah ideologi dominan di era Orde Baru, oleh kalangan yang sepakat dengan paham marxisme dikritik terus-menerus. Sebagaimana dalam ajaran marxisme, ideologi merupakan kesadaran palsu dan pemenuhan basis-basis material serta perjuangan kelas merupakan jalan untuk perubahan sosial. Selama Orde baru berkuasa, kritik dari kalangan marxisme ini sebagai bagian dari bentuk resistensi terhadap ideologi pembangunanisme dan modernisasi. Karena itu, kritik yang dimaksud adalah kritik ideologi. Kritik ideologi ini kemudian dikembangkan oleh sekolah Frankfrut (frankfurt School) dengan mengambil ide-ide Marxisme, neo- xisme, ditambahkan psikoanalisa Sigmund Freud, sehingga kemudian lahirlah Teori Kritis yang mengarah kepada emansipasi dalam kerangka pembebasan terhadap kultur dan ideologi dominan. Dalam konteks perkembangan ilmu sosial Indonesia, kultur ini menunjukkan paradigma ilmu sosial tradisional atau positivis, meminjam istilah Sindhunata (1983), yang berkembang pesat selama Orde Baru. Sedangkan, ideologi dominan merujuk kepada modernisasi pembangunanisme sebagaimana yang disebutkan di atas, yang digunakan selama era tersebut.


Dalam pembahasan mengenai ilmu sosial di Indonesia pada masa Orde Baru hingga saat ini, pada mulanya ilmu sosial di bawa oleh ilmuwan-ilmuwan sosial Belanda yang kemudian sangat berpengaruh terhadap kultur akademis maupun non-akademis. Oleh karena kedatangan ilmuwan- ilmuwan sosial tersebut merupakan bagian dari praktik kolonialisme pemerintahan Hindia-Belanda, maka kerja akademis yang dihasilkan pun tidak luput dari kepentingan penjajahan itu sendiri terutama dalam urusan memberi legitimasi ilmiah atas segala kebijakan pemerintah walaupun di sisi lain juga tidak dapat diabaikan sumbangsih pemikiran pada masa itu yang masih dirasakan dan oleh sebagian kalangan masih dijadikan rujukan hingga saat ini. Konteks, sosial yang bernama kolonialisme tersebut secara jelas menjadi latar belakang perkembangan awal ilmu sosial Indonesia. Sampai ketika indonesia menyatakan kemerdekaannya sebagai negara berdaulat, kehidupan sosial-politik baik di dalam negeri seperti cita-cita nasionalisme dan spirit revolusi pada era Sukarno, maupun pada lingkup global yang ditandai dengan peristiwa Perang Dunia II juga membawa dampak bagi kelangsungan dan arah ilmu sosial Indonesia. Sementara situasi yang jauh lebih kompleks ialah saat Orde Baru memegang kendali kekuasaan. Pemerintahan Suharto ini pun ramai dikenal sebagai rezim otoritarianisme yang represif di segala bidang. Gejala teknokrasi ilmu sosial pun tampak nyata pada masa ini, dan mayoritas ilmuwan sosial mendapat tempat di lingkaran kekuasaan. Pembangunanisme yang sangat khas Orde Baru tersebut tidak lain merupakan ideologi sekaligus wacana utama di panggung akademis ilmu sosial lndonesia. Sebagai ideologi maupun diskursus, pembangunanisme lantas menunjukkan bahwa ia bukanlah kerja aparatus negara (pemerintahan) semata akan tetapi melibatkan banyak institusi serta aktor-aktor intelektual (lmuwan sosial dan ekonom) sehingga membentuk hubungan kekuasaan yang mampu melanggengkan status quo dan menjadikan negara Orde Baru tersebut bersifat hegemonik dalam setiap kebijakannya terutama terkait dengan pembangunan ekonomi.


Akan tetapi perkembangan ilmu sosial Indonesia di masa Orde Baru ini pun tidak secara menyeluruh sejalan dengan apa yang digagas pemerintahan Suharto. Terdapat polemik dan dialektika keilmuan yang dinamis di antara kalangan ilmuwan sosial baik yang berada di lingkaran kekuasaan maupun yang bertahan di basis-basis perguruan tinggi. Artinya bahwa kritik dari kalangan ilmuwan sosial Indonesia tetap mengalir sejak era 1990-an hingga tumbangnya Orde Baru. Dengan demikian, paradigma kritis itu pun melalui ide-ide Marxisme, neo-Marxisme maupun teori-teori sosial kritis mulai marak digemari di lingkungan akademis ilmu sosial. Hal ini tidak lain sebagai upaya sebagian kalangan ilmuwan sosial Indonesia yang peka melihat macetnya perkembangan ilmu sosial yang cenderung mengikuti arah kebijakan negara dan bukan sebaliknya melontarkan kritik sekaligus mempertegas keberpihakan pada masyarakat mayoritas yang dirugikan selama rezim Orde Baru berkuasa.

Struktur Majemuk Masyarakat Indonesia


Struktur Majemuk Masyarakat Indonesia
Struktur Masyarakat Indonesia
Indonesia merupakan negara yang merdeka sekitar abad pertengahan ke-20, terdiri dari ribuan pulau yang di pisah oleh beberapa samudera tak heran Indonesia menjadi negara yang memiliki keragaman dalam berbagai hal baik itu dalam hal agama, etnis dan budaya. Dalam pembahasan kali ini, penulis akan membahas tentang bagaimana struktur masyarakat Indonesia yang ada di zaman Kolonial Belanda hingga pasca kemerdekaan seperti saat ini, mengkaji masyarakat majemuk dari berbagai tokoh yang ada serta mengetahui ciri-ciri masyarakat prularisme, 
Dalam melihat struktur masyarakat Indonesia dapat ditandai oleh dua ciri yang memiliki sifat unik. 
Secara horizontal ditandai dengan kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertical, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertical antara lapisan atas dan lapisan bawah yang tajam. Dari kedua ciri tersebut perbedaan-perbedaan suku-bangsa, agama, adat dan kedaerahan merupakan ciri masyarakat majemuk .

Definisi Masyarakat Majemuk Dari Berbagai Tokoh Ahli

 Istilah masyarakat majemuk pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall untuk mengambarkan masyarakat indonesia pada masa Hindia-Belanda. Pengertian masyarakat majemuk menurut Furnivall adalah merupakan suatu masyarakat majemuk (plural societies) yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Masyarakat majemuk di Indonesia disebut sebagai suatu tipe masyarakat daerah tropis di mana yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras. Contohnya orang-orang belanda sebagai golongan minoritas namun memiliki peran dalam penguasaan dalam memerintah Indonesia sementara golongan pribumi memiliki peranan sebagai warga negara kelas tiga di negerinya sendiri.  Sedangkan kelas kedua ditempati oleh orang-orang Tionghoa, sebagai golongan terbesar diantara orang asia timur lainnya. 
Di kehidupan politik, pertanda masyarakat Indonesia yang nampak jelas adalah masyarakat Indonesia bersifat majemuk dimana tidak adanya kehendak bersama (common will). Karena masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan elemen-elemen yang terpisah atau perbedaan ras, yang merupakan kumpulan individu yang bersifat organis sehingga sebagai individu kehidupan mereka tidaklah utuh. Contohnya yakni orang-orang Belanda yang datang ke Indonesia untuk bekerja, mereka menganggap masalah-masalah kemasyarakatan politik ekonomi yang terjadi di Indonesia tidak sebagai warga negara melainkan sebagai kapitalis dan warga pribumi merupakan buruh-buruh mereka. Adapun juga orang Tionghoa yang datang ke Indonesia semata-mata untuk kepentingan ekonomi. Secara keseluruhan masyarakat Indonesia tumbuh diatas dasar sistem kasta tanpa ikatan agama, nah dari cara hidup mereka masing-masing hasilnya masyarakat Indonesia yang sebagai keseluruhan tidak memiliki kehendak bersama (common will). 
Dalam kehidupan ekonomi jika tidak adanya kehendak bersama maka tidak ada permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat (common social demand).  Kebutuhan-kebutuhan keagamaan, politik, dan keindahan semua meerupakan kebutuhan kultural, memiliki aspek ekonomi oleh karena semuanya pada akhirnya menyatakan diri secara terorganisir hanya sebagai kebutuhan-kebutuhan ekonomi, yakni sebagai permintaan dan demand masyarakat sebagai keselurhan. Namun pada jika dilihat  di Indonesia pada masa Hindia-Belanda permintaan masyarakat tidaklah terorganisir,, melainkan bersifat seksional (sectional), dan tidak permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua elemen masyarakat. Golongan Eropa, Tionghoa, dan golongan pribumi, masing-masing memiliki pola permintaannya sendiri-sendiri. 

Tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua elemen masyarakat menjadi sumber yang membedakan karakter daripada ekonomi majemuk (plural economy) dari suatu masyarakat majemuk, dengan ekonomi tunggal (unitary economy) dari suatu masyarakat yang bersifat homogeneous. 
Apabila proses ekonomi di dalam masyarakat yang berisfat homogeneous dikendalikan oleh adanya common will. Maka hubungan-hubungan sosial di antara elemen-elemen masyarakat majemuk sebaliknya semata-mata dibimbing oleh proses ekonomi dengan produksi barang-barang metrial dengan tujuan utama daripada kehidupan masyarakat. Jadi penggolongan masyarakat terdiri atas dasar perbedaan ras, maka pola produksi pun terbagi diatas dasar perbedaan ras pula, dimana dalam masing-masing ras memiliki fungsi produksi sendiri-sendiri. Contohnya orang-orang Belanda dalam bidang perkebunan, penduduk pribumi dalam bidang pertanian dan orang-orang Tionghoa sebagai  kelas pemasaran yang menjadi perantara diantara keduanya. 
Dalam setiap masyarakat selalu ada konflik kepentingan anatara kota dan desa, antara kaum modal dan kaum buruh, akan tetapi di masyakarakat majemuk konflik kepentingan lebih tajam akibat dari perbedaan kepentingan ekonomi jatuh bersamaan dengan perbedaan ras. Menurut Furnivall, keadaan masyarakat Indonesia pada masa kini jauh berbeda dengan masa Hindia-belanda, jadi pengertian masyarakat majemuk yang digambarkan oleh Furnivall tidak dapat begitu saja diberlakukan untuk melihat masyarakat Indonesia pada masa sekarang.
Dengan kata lain, Furnivall mencoba menggambarkan adanya piramida struktur masyarakat Indonesia pada masa kolonial Hindia-Belanda. Struktur masyarakat Indonesia pada masa kolonial terdiri atas orang-orang Eropa yang menduduki strata sosial atas, orang-orang Timur Asing (Arab, India, dan Tionghoa) yang menduduki strata sosial menengah, dan orang-orang pribumi yang menduduki strata sosial bawah. Bagi Furnivall, ia melihat masyarakat majemuk berdasarkan perbedaan dari dua atau lebih kelompok-kelompok yang secara budaya dan ekonomi terpisah serta hidup tanpa ada pembauran satu sama lain dalam satu kesatuan politik.

Kemudian tokoh lainnya, Clifford Geertz mendefiniskan masyarakat majemuk sebagai masyarakat yang terbagi atas subsistem-subsistem yang lebih kurang berdiri sendiri dan dipersatukan oleh ikatan-ikatan primordial. Subsistem-subsistem tersebut yang hidup terpisah tersebut diintegrasikan oleh adanya kesamaan ras, etnis, agama, dan budaya, dapat disimpulkan bahwa Geertz melihat kemajemukan masyarakat indonesia lebih ke arah internal suatu bangsa.
Dengan cara yang lebih singkat, Pierre L. Van den Berghe (1967) menyebutkan beberapa karakteristik berikut sebagai sifat-sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk, yakni : 
(1) terjadinya segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki kebudayaan yang berbeda satu sama lain,  (2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplementer, (3) kurang mengembangkan konsensus diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar, (4) secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain; (5) secara relatif integarasi sosial tumbuh diatas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi; (6) serta adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain. 

Oleh karena itu maka Van Den Berghe menganggap masyarakat majemuk tidak dapat digolongkan begitu saja ke dalam salah satu diantara dua jenis masyarakat menurut Emile Durkheim. Suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, akan tetapi sekaligus juga tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki differensiasi atau spesialisasi yang tinggi.
Setelah mengetahui pemaparan oleh beberapa tokoh di atas, Indonesia merupakan negara yang memilki masyarakat yang bersifat majemuk. Namun definisi mengenai kemajemukan masyarakatnya akan berubah seiring berkembangnya negara ini. Furnivall mengartikan pluralitas masyarakat Indonesia pada masa kolonial Hindi-Belanda berdasarkan golongan yang ada pada masa tersebut seperti golongan Eropa, golongan Tionghoa dan golongan pribumi. Namun ketika Indonesia mengalami kemerdekaan. Konsep kemajemukannya lebih ditekankan dalam masyarakat pribumi itu sendiri karena pada saat pasca kemerdekaan golongan Eropa telah meninggalkan Indonesia dan membuat golongan Eropa tidak termasuk kedalam sistem sosial masyarakat Indonesia.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pluralitas di Indonesia

Ada beberapa faktor mengapa pluralitas masyarakat Indonesia dapat muncul. Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap pluralitas suku bangsa di Indonesia. Isolasi geografis mengakibatkan penduduk yang menempati suatu pulau atau sebagian dari suatu pulau di Nusantara tumbuh menjadi kesatuan suku-bangsa yang sedikit banyak terisolasi dari kesatuan suku-bangsa yang lain. Tiap kesatuan terdiri dari sejumlah orang yang mempunyai ikatan emosional, serta memandang diri mereka sebagai suatu jenis tersendiri. Pada umumnya, mereka memiliki bahasa dan warisan kebudayaan yang sama. Lebih dari itu, mereka mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturuan yang sama, suatu kepercayaan yang kerap didukung oleh berbagai mitos yang hidup bersama dengan masyarakat.
Hildred Geertz menyebutkan ada lebih dari 300 suku-bangsa di Indonesia masing-masing dengan bahasa dan identitas yang berbeda-beda. Skinner menyebutkan adanya lebih dari 35 suku-bangsa di Indonesia, Skinner juga menggambarkan perbandingan besarnya suku-bangsa tersebut. Beberapa suku-bangsa yang tergolong paling besar di antaranya, yakni Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, dan Bugis.
Dalam pengertian suku-bangsa, orang-orang Tionghoa merupakan salah satu suku-bangsa di antara berbaga suku-bangsa di Indonesia. Berdasarkan angka statistik tahun 1956 dalam laporan Biro Pusat Statistik (BPS), berdasarkan perkiraan pertambahan penduduk golongan Tionghoa sebesar 3 persen, serta kurang lebih 100.000 orang Tionghoa yang kembali ke negeri Tiongkok selama tahun 1959 dan 1960, Skinner memperkirakan jumlah orang Tionghoa yang tinggal di Indonesia pada tahun 1961 ada kurang lebih 2,45 juta orang, sementara orang-orang Indonesia yang tergolong pribumi pada waktu itu kira-kira 90.882 juta orang. Meskipun jumlah orang-orang Tionghoa tidak sebesar orang-orang Indonesia pribumi, namun kedudukan mereka sangat kuat termasuk dalam bidang ekonomi, hal ini mempoengaruhi hubungan mereka dengan suku-bangsa yang lain terutama dengan golongan pribumi.

Faktor yang kedua, yakni Indonesia terletak di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Letak Indonesia yang berada di tengah-tengah lalu-lintas perdagangan laut melalui kedua samudera tersebut, maka masyarakat Indonesia sudah sejak lama memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui para pedagang asing. Pengaruh pertama kali yang mempengaruhi masyarakat Indonesia berupa pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha dari India sejak 400 tahun sesudah masehi. Hinduisme dan Budhaisme pada waktu itu tersebar meliputi daerah yang cukup luas di Indonesia, serta melebur bersama-sama dengan kebudayaan asli yang telah hidup lebih dahulu. Namun pengaruh agama Hindu dan Budha sangat kuat tertanam di pulau Jawa dan Bali hingga saat ini.
Pengaruh kebudayaan Islam mulai memasuki masyarakat Indonesia sejak abad ke-13, akan tetapi proses penyebaran baru meluas pada abad ke-15. Agama Islam memperoleh pengaruh yang kuat di daerah-daerah dimana pengaruh agama Hindu dan Budha tidak cukup kuat. Di daerah seperti Jawa Tengah dan Jawa timur mempunyai pengaruh agama Hindu dan Budha yang cukup kuat, suatu kepercayaan keagamaan yang bersifat sinkretik (syncretic), dimana kepercayaan animisme-dinamisme bercampur dengan kepercayaan agama Budha, Hindu, dan Islam.

Hasil semua pengaruh kebudayaan yang kita jumpai dalam bentuk pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Di luar jawa, timbulnya golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah yang strategis berada di dalam jalur perdagangan internasional, golongan Islam konservatif tradisionalis di daerah pedalaman, golongan Kristen (Katolik dan Protestan) di daerah-daerah Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Tapanuli, dan beberapa daerah di Kalimantan Tengah, serta golongan Hindu Bali (Hindu-Dharma) terutama di pulau Bali. Di pulau Jawa, kita menjumpai golongan Islam modernis terutama di daerah pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan kebudayaan pantainya, serta sebagian besar daerah Jawa Barat; golongan Islam konservatif-tradisionalis di daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan golongan Islam nominal yang disebut sebagai golongan abangan, terutama di daerah-daerah jawa Tengah dan Jawa Timur, serta golongan minoritas Kristen yang tersebar hampir di setiap daerah perkotaan di pulau Jawa.
Iklim Indonesia yang memiliki perbedaan merupakan faktor yang menciptakan pluraitas regional Indonesia. Hal ini akan menciptakan dua macam lingkungan ekologi yang berbeda seperti terdapat daerah pertanian sawah yang dapat kita temukan di pulau Jawa dan Bali, kemudian daerah pertanian ladang yang ditemukan daerah yang berada di luar pulau Jawa. Karena perbedaan yang cukup kontras akan berpengaruh ke dalam bidang lainnya bukan hanya dalam hal pangan saja. Pulau Jawa memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi dibandingkan penduduk yang ada di luar pulau Jawa, tercatat pada tahun 1930 dan 1961 sebagai berikut;
Dari data yang diperoleh dari Karl J Pelzer, Physixal and Human Recourse Pattern dalam Nasikun (1993) menjelaskan bahwa pulau Jawa memiliki luas daerah sebesar 132.174 KM2 (6,94%) dan daerah luar Pulau Jawa memiliki luas daerah sebesar 1.722.171 KM2 (93,06%) dengan tingkat penduduk  pada tahun 1930, daerah pulau Jawa memiliki penduduk 41.718 (68,70%) sedangkan luar Jawa memiliki penduduk 19.009 (31, 30%). Kemudian pada tahun 1961 dengan angka masing-masing Pulau Jawa memilki jumlah penduduk sebesar 63.059 (64,95%) dan luar pulau Jawa memiliki penduduk sebesar 34.026 (35,05%). 

Dari data diatas dapat kita lihat bahwa masyarakat yang tinggal di daerah pulau Jawa hanya dapat mengolah tanahnya hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar saja, hal ini disebabkan oleh tingginya kepadatan penduduk yang terjadi di daerah Pulau Jawa namun tidak diiringii dengan luas lahan tanah yang tersedia hingga pada akhirnya rata-rata petani yang tinggal di pulau Jawa hanya memiliki tanah seluas kurang dari setengah hektar. Berbeda dengan masyarakat yang berada di luar Pulau Jawa dapat memproduksi pertaniannya untuk kebutuhan pasar karena luas lahan serta sedikitnya masyarakat yang tinggal di daerah luar pulau Jawa.

Kemudian perbedaan selanjutnya dapat kita lihat dalam bidang sosial-budaya. Desa-desa yang ada di pulau Jawa tidak mungkin sepenuhnya berdiri sendiri sebagai selfsufficient unit. Mengingat sistem pertanian yang membutuhkan kerjasama dalam memelihara irigasi antar desa. Keadaan lebih lanjut membuat masyarakat membutuhkan unit kemasyarakatan untuk mengintegrasikan berbagai hal desa tersebut, hingga pada akhirnya berkembanglah kerajaan di pulau Jawa yang dimana rakyatnya membayar pajak dan kerajaan menyediakan pelayanan birokrasi serta perlindungan. 
Dengan kata lain sistem pertanian sawah di Jawa mendorong tumbuhnya suatu tertib kemasyarakatan yang berdasarkan kekuasaan di daratan. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya kerajaan besar seperti kerajaan Majapahit yang berada di daerah pulau Jawa. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa daerah-daerah luar pulau Jawa tidak dapat mengembangkan daerahnya menjadi lebih baik, hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan kerajaan besar lainnya seperti Sriwijaya yang memanfaatkan kekuasaan yang berada di lautan menjadi sebuah keunggulan mereka melalui jalur perdagangan.

















DAFTAR PUSTAKA

Nasikun. Sistem Sosial Indonesia.  Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1993

Sosiologi Indonesia : Orde Baru, Pasca Orde Baru, dan Globalisasi

Sosiologi Indonesia : Orde Baru, Pasca Orde Baru, dan Globalisasi


Bayang-bayang sosiologi Indonesia
Awal mula sosiologi Indonesia muncul yaitu sejak sosiologi dikenal sebagai pelajaran dalam perkuliahan ilmu hukum di era kolonialisme hingga fase awal pelembagaan sosiologi yang banyak dipengaruhi oleh tradisi keilmuan Amerika Serikat, dengan penekanan utama pada masa orde baru. Hal tersebut dilanjutkan dengan bagaimana paradigma kritis muncul dan berkembang kembali menjelang tumbangnya rezim Suharto hingga pada situasi saat ini dimana semakin banyaknya berbagai variasi teori dan metodologi, dengan beragamnya bentuk mobilitas dalam era globalisasi ditopang dengan kemajuan teknologi sampai melahirkan pola-pola interaksi social yang termediasikan oleh media baru dan melampaui pemaknaan konservatif menuju paradigm konteporer seperti postmodern.
Aguste Comte merupakan pencetus sosiologi dalam makna sebuah ilmu pengetahuan masyarakat (sosial) ditahun 1839 yang diilhami oleh kelahiran masyarakat baru saat industrialisasi mulai tumbuh dan berkembang di Eropa. Kelahiran sosiologi merupakan reaksi atas revolusi industri dan perkembangan kapitalisme yang menimbulkan masalah serta perubahan-perubahan social terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Baik perkembangan sosiologi awal di Eropa maupun yang berkembang pesat di Amerika Serikat (AS), keduanya akan sangat menentukan dan mempengaruhi perkembangan sosiologi Indonesia sejak masa penjajahan Belanda hingga saat ini. Pemikiran-pemikiran sosiologi klasik misalnya, tampak lebih awal mempengaruhi sosiologi Indonesia yag mulanya dibawa oleh ilmuwan-ilmuwan social Belanda. Ditemukannya sejumlah karya yang telah menggunakan pendekatan sosiologis seperti metodologi dan pemikiran Max Weber dalam penelitian J.C. van Leur tentang proses pelembagaan agama Hindu di masyarakat Jawa, kemudian D. M. G. Koch yang menganalisa gerakan nasionalis dengan penekanan pada sosiologi agama yang dielaborasi dari karya Weber, The Protestant Ethbic and The Spirit of Capitalism, serta analisa ahli sosiologi B. Schrieke mengenai sejarah Indonesia khususnya terhadap struktur politik di Kerajaan Mataram. Konsep Durkheimian juga dapat dilihat pada penelitian de Kat Angelino terhadap kebijakan pemerintah colonial Hindia-Belanda.
Adapun salah satu lembaga yang menjadi salah satu bentuk perhatian dunia akademis Amerika Serikat (AS) yang juga berperan penting dalam perkembangan sosiologi Indonesia hingga saat ini yaitu sekumpulan akademisi dari beberapa perguruan tinggi yang mulai menaruh perhatian seperti pendirian Cornell Modern Indonesian Project di Universitas Cornell yang diprakasai George Kahin. Penelitian Kahin mengenai revolusi dan nasionalisme  Indonesia misalnya, di satu sisi membuka jalan bagi ketertarikan awal Amerika Serikat secara umum terhadap Indonesia sebagai Negara baru yang lepas dari pengaruh kolonialisme, dan motif ekonomi yang berada pada prioritas utama, meskipun faktor profesionalisme Kahin sebagai peneliti juga tidak dapat dikesampingkan. Namun, di sisi lain, penelitian Kahin tersebutlah yang akhirnya membuat ia dekat dengan tokoh-tokoh pemimpin nasional pada periode awal kemerdekaan itu serta banyak mendapat bantuan secara personal oleH Selo Soemardjan, kemudian bersama ilmuwan-ilmuwan sosial Indonesia lainnya seperti Harsja W. Bachtiar dan Sulaiman Sumardi, mendapatkkan akses beasiswa studi lanjut di Amerika Serikat, yang kemudian hari pemikiran-pemikiran mereka sangat berpengaruh besar dalam perkembangan sosiologi awal di Indonesia.
Corak Amerika tidak hanya dilihat dari jenjang studi yang memang sebagian besar ditempuh diperguruan tinggi Amerika Serikat, namun juga dilihat dari hasil penelitian sosiolog-sosiolog Indonesia tersebut seperti “Perubahan Sosial di Yogyakarta”/Social Changes in Yogyakarta oleh Selo Soemardjan; “Pembentukan Negara Indonesia”/ The Formation of the Indonesian Nation oleh Harsja Bachtiar; dan Sulaiman Sumardi yang focus pada politik wilayah dan birokrasi di Jawa Barat (“Some Aspect of The Social Origin of Indonesian Political Decision Makers”); serta perubahan struktur masyarakat di Jawa oleh Soedjito Sosrodiharjo langsung dibawah bimbingan tokoh-tokoh sosiologi seperti Robin M. Williams, Jr., Neil J. Smelsert, George C. Homans, dan Talcott Parsons. Pilihan penelitian mereka pada epistemology positivisme dan teori structural-fungsional yang memang sedang pesat berkembang di Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II di kemudian hari cocok dan bersinergi dengan ideology pembangunanisme yang diambil pemerintah Orde Baru. Jika di masa awal kemerdekaan Indonesia, pengadopsian konsep-konsep sosiologi Amerika terutama perspektif Parsonian berjalan seiring dengan proses dialog dan kerjasama membangun jaringan internasional antara peneliti Indonesia dan Indonesianis Amerika, maka sekembalinya sosiolog-sosiolog Indonesia menempuh studi di Amerika Serikat, mereka turut berjasa dalam proses penyebarluasan, pengembangan dan pelembagaan sosiologi secara massif di Indonesia sejak tahun 1960-an.

B. Modernisasi dan Pembangunan Sebagai Karakter Sosiologi Indonesia
Singkatnya, perjalanan Sosiologi Indonesia telah berlangsung sejak masa kolonialisme, orde lama, orde baru, hingga masa reformasi. Namun, yang menjadi fokus utama dalam Sosiologi Indonesia sendiri hanyalah pada masa orde baru. Hal ini terkait erat dengan bagaimana pada masa orde baru, Soeharto, yang pada waktu itu menjabat sebagai presiden kedua NKRI menjadikan ide-ide dari modernisasi dan pembangunan sebagai dalih menjawab persoalan bangsa terkait kemiskinan dan kesejahteraan sosial.
Perlu digaris bawahi bahwa gagasan-gagasan mengenai modernisasi dan pembangunan juga erat kaitannya dengan kekuasaan yang “represif” dan “prohibitif” karena dikendalikan oleh institusi negara. Tujuan dari pemerintah yang memiliki kekuasaan, atau khususnya yang terjadi pada masa orde baru di Indonesia sendiri adalah agar rakyat tunduk dan patuh atas segala kehendak rezim.
Terdapat dua hal yang dijelaskan dalam sub bab mengenai modernisasi dan pembangunan ini, yakni mengenai: (1) Bagaimana pembangunan menjadi diskursus sentral, baik di kalangan akademis maupun pemerintah di masa orde baru; dan (2) Bagaimana Sosiolog-sosiolog Indonesia menjawab tantangan modernisasi, baik dalam tataran praktik maupun diskursus selama masa orde baru.
Sebelum menjawab pertanyaan yang pertama, sang penulis mengemukakan terlebih dahulu jawaban dari nomor dua. Sedikitnya terdapat tiga tantangan bagi masyarakat Indonesia, khususnya para Sosiolog yang pada akhirnya membuat Amerikanisasi ilmu sosial lahir dan berkembang di Indonesia:
1. Banyak kesalahpahaman diantara masyarakat yang mengira bahwa modernisasi merupakan tujuan akhir dalam mencapai kemajuan dan perkembangan ketika sebenarnya di dalam sudut pandang Sosiologi, sejak awal modernisasi hanyalah ditempatkan sebagai objek kajian yang proses transformasinya di kawal hingga kini. Ditambah, pengikut mahzab Frankfurt seperti Habermas juga menolak ide modernitas dan menganggap konsepsi masyarakat modern belumlah final.
2. Di lingkup pemerintah, teori modernisasi memainkan peran kunci dalam konsolidasi pembentukan gagasan pembangunan sistem politik dan ekonomi, yang kemudian membuat praktik-praktik korupsi tingkat nasional merajalela di Indonesia.
3. Semasa orde baru, ilmu sosial seperti Ilmu Ekonomi, Ilmu Politik, dan Sosiologi selalu menjalin hubungan linier terhadap kekuasaan negara (program dan kebijakan pemerintah). Hal ini yang kemudian memunculkan kontroversi, karena sifat awal ilmu sosial yang tadinya bebas nilai kemudian bergeser sifatnya menjadi tidak bebas nilai. Maksudnya adalah dimana tidak ada lagi jarak atau pembatas antara kepentingan dan pengetahuan.
Selanjutnya, mengenai cara Sosiolog di Indonesia menjawab tantangan modernisasi. Diantaranya adalah:
1. Koentjaraningrat, Harsja W. Bachtiar dan Selo Soemardjan menyunting dan membuat tulisan mengenai Metodologi Penelitian Masyarakat (1973) sebagai upaya untuk mengorientasikan ilmu sosial di Indonesia kepada empirisme gaya Amerika Utara.
2. Koentjaraningrat, di dalam bukunya The Social Sciences in Indonesia, memainkan peran intelektual yang cukup penting dalam proses nation-building dan modernisasi yang berlangsung di bawah naungan negara.
3. Dibangunnya Lembaga Kemasyarakatan dan Ekonomi Nasional (LEKNAS) LIPI yang menjadi wadah cukup berpengaruh dalam menghimpun peneliti-peneliti Sosiologi, Ekonomi, Demografi, Antropologi, dan Sejarah yang melakukan kajian dan penelitian ilmu sosial yang bersifat integral, dengan memperhatikan segala aspek sosial dan ekonomi. Juga, selanjutnya meluaskan jaringan pusat-pusat penelitian sampai ke daerah sebagai upaya untuk menunjang pembangunan yang disebar ke daerah.
4. Banyak ilmuwan sosial yang selanjutnya menjadi birokrat-penasehat, seperti Selo Soemardjan, Harsja W. Bachtiar, dan Soelaiman Soemardi yang memegang jabatan di lingkaran kekuasaan negara.
5. Sedangkan diskursus yang selalu menjadi pembahasan para ilmuwan sosial, berlangsung pada pertemuan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS). Isu yang diangkat adalah apakah penelitian sosial (terkait ide-ide modernisasi dan pembangunan) dapat memberikan sumbangan kepada perumusan kebijakan pemerintah..
Beralih kepada pertanyaan pertama dari sub bab ini—Bagaimana pembangunan menjadi diskursus sentral, baik di kalangan akademis maupun pemerintah di masa orde baru. Tentunya, hal ini bermula dari janji Soeharto yang menggunakan demokrasi Pancasila dalam mengupayakan perkembangan dan kemajuan Indonesia di masa kekuasaannya. Namun, di dalam praktiknya demokrasi pancasila hanya sebagai simbolis dari rezim Soeharto, dimana aktualisasi kekuasaan rezim ini adalah otoritarianisme atau mengacu kekuasaan pada satu orang yaitu Soeharto sendiri.
Dalam hal ini, kata “pembangunan” menjadi diskursus sentral masa orde baru guna membedakannya dengan orde lama Soekarno. Pembangunan dipandang sebagai upaya yang paling tepat untuk mengimplementasikan Pancasila, sehingga setiap orang di negeri ini wajib untuk mendukungnya. Ide-ide mengenai pembangunan termasuk modernisasi di dalam pemerintahan Soeharto selanjutnya ia kemas ke dalam Trilogi Pembangunan. Lebih jelasnya, Trilogi Pembangunan adalah wacana pembangunan nasional yang dicanangkan oleh rezim orde baru sebagai landasan penentuan kebijakan politik, ekonomi, dan sosial dalam melaksanakan pembangunan negara. Berikut adalah tiga point utamanya:
Stabilitas nasional yang dinamis.
Pertumbuhan ekonomi tinggi.
Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Tiga point ini yang selanjutnya diketahui berasal dari terinspirasinya Soeharto terhadap gagasan-gagasan yang dikenalkan ilmuwan sosial asal Amerika Serikat di masa lalu, Salah satunya adalah dalam Ilmu Ekonomi, teori W.W. Rostow mengenai tahap-tahap pertumbuhan ekonomi (salah satu jenis dari teori modernisasi). Terdiri dari tahapan: Prakondisi tinggal landas, tinggal landas, dan kemandirian yang terjadi secara terus-menerus.
Lebih dalam lagi, jika ditanya mengenai alasan mengapa pembangunan menjadi diskursus sentral di kalangan akademis maupun pemerintah adalah karena di masa tersebut perkembangan ilmu sosial di Indonesia cocok dengan paradigma modernisasi dan pembangunan yang menganggap ilmu sosial sebagai mesin dalam memahami dan membaca perubahan masyarakat. Juga, karena di masa orde baru para ilmuwan menjadi dekat dengan lingkaran kekuasaan negara. Dimana pada masa rode baru, kaum intelektual terpelajar memiliki peranan yang besar, khususnya dalam hal pembangunan berupa pertumbuhan ekonomi, tidak seperti saat mereka masih berada dalam masa pemerintahan orde lama—Soekarno.
Selain itu, seperti yang telah disebutkan pada beberapa paragraf sebelumnya, bahwa banyak ilmuwan sosial di Indonesia yang pada waktu itu menjadi birokrat-penasehat. Membuat sebagian besar ilmuwan sosial berada dalam lingkaran kekuasaan. Menjelmanya praktik teknokrasi dalam ilmu sosial menjadi paradigma tersendiri di masa tersebut, khususnya pada 1970-an, dimana para ilmuwan sosial dimintai nasehatnya mengenai banyak hal, mulai dari problem kemiskinan, kesejahteraan sosial di Indonesia, masalah teknologi, bahkan sampai mengurus tahanan politik G-30-S. Dengan penilaian yang kuat bahwa para ilmuwan sosial di masa tersebut memiliki jawaban atas segala permasalahan dalam pembangunan dan mampu untuk menyelesaikan hal-hal praktis, sehingga penelitian-penelitian cenderung diorientasikan pada kebijakan.

C. globalisasi, Post-Modernisme dan Tantangan Sosiologi Indonesia
Fenomena masyarakat kapitalis muncul seiring dengan perkembangan industrialisasi yang terjadi di Eropa. Industrialisasi yang mendorong terjadinya proses urbanisasi pada kehidupan masyarakat. Tokoh-tokoh pemikiran sosiologi telah mengamati seperti Emile Durkheim dengan melihat fenomena kapitalisme dan memusatkan perhatiannya pada pembagian kerja masyarakat atau division of labour. Perhatiannya mengenai pembagian kerja karena melihat masyarakat dalam suatu solidaritas sosial. Durkheim membagi klasifikasi solidaritas sosial ke dalam dua tipologi yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Pertama, solidaritas mekanik yang menekankan pola hubungan masyarakat berdasarkan ikatan emosional, kekeluargaan, kedekatan yang erat. Kedua, solidaritas organik yang menekankan pola hubungan masyarakat yang memiliki pembagian kerja masing-masing, sifatnya lebih longgar dibandinkan dengan solidaritas mekanik. Dari tipologi tersebut dilihat bahwa pembagian kerja telah menungjukan perkembangan kapitalisme yang didorong perkembangan industri.
Tokoh seperti Max Weber juga menilai dalam masyarakat kapitalisme adalah perhitungan mengenai pengetahuan dan rasionalitas sehingga menuntut orang untuk barada pada proses survival of the fittest. Kapitalisme berjalan lancara dengan uang sebagai orientasi pertama yang dikaitkan dengan religiusitas agama protestan pada saat itu. Sehingga menurut pandangan weber efektifitas dan efisiensi merupakan suatu prinsip kerja yang rasional dalam kapitalisme. Menurut tokoh Karl Marx, dimana dorongan kapitalisme menyebabkan terjadinya kelas-kelas sosial, sbelumnya aristoteles juga memiliki pemikiran sama seperti Marx dimana pembagian kelas-kelas sosial masyarakat terjadi karena faktor ekonomi. Marx membagi kelas-kelas sosial ke dalam tiga tipologi, yaitu kelas borjuis, kelas menengah dan kelas proletar.
Kelas dalam ilmu sosial di Indonesia meredup seiring dengan paradigm yang dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru lebih memilih menghindari pandangan-pandangan marxisme untuk menghindari terjadinya konflik yang akan menggangu pembangunan yang digadang-gadang oleh pemerintah demi memajukan modernisasi. Paradigm kritis muncul sebagai antitesa dominasi ilmu empiric-analitik, dimana paradigm kritis ingin memberikan perhatiannya pada pembebasan manusia dari dominasi kekuasaan. Utntuk itu, kalangan diluar pemerintahan seperti mahasiswa dan kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat mulai mempertanyakan proyek modernisasi.
Globalisasi muncul seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II, perang dingin dan runtuhnya komunisme. Globalisasi ekonomi misalnya, dimana lembaga-lembaga ekonomi dunia berkembang secara massif seperti Organisasi Perdagangan Dunia, perusahaan transnasional dan multinasional, lembaga keuangan internasional dan Bank Dunia yang mengakumulasikan modal. Lembaga yang memiliki dominasi sehingga mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan bernegara, seakan-akan negara hanya sebagai pelaksana kebijakan. Menurut Arjun Appadurai dimana dia menyorot arus utama dalam proses globalisasi yaitu ethnoscape, technoscape, financescape, mediascape,dan ideospace. Ethnospace merupakan penggambaran mengenai perpindahan orang-orang diseluruh dunia, contohnya seperti wisatawan, imigran dan pengungsi. Technospace merupakan bidang teknologi yang bergerak dan berkembag secara masif mengenai mekanisasi dan informasi. Financespace meruoaan globalisasi dalam bidang ekonomi yang bergerak secara cepat mulai dari mata uang, saham dan komoditas. Mediaspace merujuk pada distribusi media elektronik yang menyebarkan informasi secara cepat. Dan ideospace merupakan gambaran dari suatu ideology cenderung bernuansa politik.
Melihat hal tersebut bahwa globalisasi bukan hanya mempengaruhi politik ekonomi suatu negara melainkan juga mempengaruhi budaya dalam masyarakat. Globalisasi dapat menimbulkan terciptnya budaya dengan identitas yang baru dengan menyeragamkan rasa dan selera. John Urry menguraikan bagaimana sosiologi dalam konteks mendapatkan tantangan seiring dengan perkembangan globalisasi. Keilmuan mengenai masyarakat perlu ditinjau kembali dengan melihat berbagai kompleksitas dan perkembangannya yang masif. Urry membahas mengenai mobilitas dimana dalam kehidupan masyarakat terlibatnya teknologi yang besar sehingga menimbulkan berbagai masalah di kehidupan masyarakat. Alain Touraine juga mempertayakan sosiologi klasik pemikiran Comte dan Durkheim dimana lebih menekankan dunia yang beradab juga telah memperkenalkan oposisi tegas dalam kehidupan masyarakat dari beradab, barbar dan jajahan.
Touraine juga disebut dengan soisologi ultramodernitas dimana memberikan perhatian yang lebih pada sosiologi baru, menggabungkan psikoanalisis dan marxisme. Menurut Touraine sosiologi harusnya menciptakan diri, mengubah diri dan mengembangkan dirinya agar tidak selalu terkukung dengan penciptaan generasi. Globalisasi menyebabkan perubahan sosial di masyarakat, Urry telah menjelaskan bahwa pola-pola dalam masyarakat telah di topang dalam teknologi komputeritasi yang menyangkut akses internet. Manuel Castells juga berpendapat mengenai globalisasi, dimana sosiologi dalam globalisasi bertugas untuk mempelajari proses pembangunan, serta perubahan pada masyarakat yang baru disebut oleh Castells adalah masyarakat jejaring.
Castells menjabarkan tiga dimensi sosial dalam perubahan sosial dimasyarakat yang meyebabkan adanya struktur sosial baru. Tiga dimensi tersebut yaitu pertama, paradigm teknologi baru didasari penyebaran teknologi informasi. Kedua, globalisasi dipahami sebagai peningkatan kapasitas sehingga dapat bekerja secara cepat dan efisien. Ketiga, wujud manifesto dari budaya dominan pada hypertext. Dari ketiga tokoh tersebut Urry, Touraine dan Castells telah mempengaruhi perkembangan sosiologi di Indonesia. Menyadarkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat global yang tidak bias dipisahkan dari pengaruh globalisasi baik dari segi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Fenomena sosial yang telah berlangsung hamper di seluruh negara di dunia ini. Bahwa budaya sebagai salah satu pasar kapitalisme lanjut apalgi sekarang di dominasi oleh perushaan asing.
Fredric Jameson adalah seorang pemikir post-modernisme yang berpikiran neo-marxs, melihat bahwa realitas sekarang menunjukkan kita telah memasuki fase kapitalisme lanjut yang memiliki ciri-ciri: symbol dan tanda yang tiada henti, arus informasi serta konsumsi imaji yang hedonistik. Post-modernisme menjadi salah satu kajian yang diminati dengan melihat perubahan yang ditampilkan dari gejala-gejala sosial dan budaya. Seiring dengan fenomena budaya yang baru di kalangan masyarakat khususnya anak muda. Salah satu teori postmodrnisme yang cukup berpengaruh adalah jean Baudrillard tentang masyarakat consumer, dimana menurutnya uang dapat berbicara lebih dari apapun seperti suatu gambaran dan hiper realistis. Kritik Baudrillard ini dapat dilihat dari adanya pengaruh media. Media memiliki peran dalam dimensi globalisasi budaya mulai dari gaya hidup, perkembangan di dunia fashion dan perkembangan teknologi komputerisasi. Dimana segala sesuatu selalu melihat sebagai rujukan.
Tokoh post-modernisme lainnya adalah Jaques Derrida dari gagasannya mengenai dekonstruksi. Dimana dekonstruksi miliknya berarti menelusuri jejak makna yang lupu dari dikotomi serta cerita tentang oposisi biner. Derrida melihat adanya ruang spasial yang memungkinkan kita bias melihat sesuatu yang lain. Disini Derrida dalam memudahkan memahami dekonstruksinya yaitu bagaimana ‘yang lain’ pada akhirnya menjadi layak diperhitungkan.
Perkembangan konsep dari ‘Yang lain’ dari Derrida di kenal juga pada masa post-kolonialis seperti gayatri Spivak dengan memaknainya dengan konsep subaltern, dimana dalam tradisi gramscian mengkritisin adanya dominasi laki-laki atas perempuan. Postmodernisime pada posisi yang kritis terhadap gejala sosial budaya lahir dari adanya kapitalis lanjut. Postmodernisme juga bukan hanya sebagats teori maupun suatu pendekatan, melainkan postmodern juga menjaga tugas sosiologi seperti yang kemukakkan oleh Manuel Castells dimena berperan agar masyarakat tidak serta merta kehilangan kreativitasnya, keberanian dalam mengambil peranan secara global juga sehingga tidak akan ketinggalan zaman. Utamanya postmodern menjaga proses refleksi diri.
Arjun Appadurai menuturkan fenomena globalisasi yang terjadi di Indonesia, dimana mengembangkan pemikiran postmodernisme, postkolonialis serta teori kritis mahzab Frankfrut. Pergeseran Sosiologi Indonesia dari masa Ode Baru ke Pasca Orde Baru juga ditandai dengan fenomena globalisasi dimana muncul paradigm kritis seperti postmodernisme, postkolonialis serta teori kritis yang tidak juga menjadi bentuk resistensi arus mainsteam dari pandangan parsonian. Artinya bahwa berbagai pergeseran pasca Orde Baru tetap berada di luar mainstream Sosiologi Indonesia yang sifatnye reproduktif terhadap pengetahuan sebelumnya.

Kepercayan, sistem pemerintahan Bangsa inca, Bangsa Maya, bangsa Aztec dan peradaban india kuno

1   Kepercayaan dan sistem pemerintahan Bangsa Inca, bangsa maya dan bangsa Aztec Kepercayaan Bangsa Inca: Masyarakat Inca perca...