Musik dan Budaya

Musik dan Budaya





A. Fokus kajian budaya dalam melihat  musik
Budaya dalam melihat musik dimana budaya selalu menjadi kunci antara musik populer dan terus menerus untuk menjelaskan bagaimana musik dan budaya secara abstrak. Budaya merupakan pertimbangan sebagai suatu paksaan atau sesuatau yang dipaksakan yang memanifestasikan dirinya ke dalam isu-isu seperrti kebosanan remaja, ketegangan ras dan exploitasi sexual. Bertolak dari adanya determinsime budaya, menurut Hebdige (Bennett, 2008) secara musk populer sering kali dibaca secara harfiah dengan teori musik populer adalah sebagai cerminan pada kenyataan, contohnya punk selalu di asumsikan atau digambarkan kemarahan dan kekecewaan.
Banyak akademisi musik populer yang dapat menjadi sumber acuan dalam menkonstruksikan analisa mengenai musik dan budaya. Willis dengan karyanya yang berjudul Profane Culture pada tahun 1978. Dimana dalam karyanya Willis yang berjudul Profan Culture itu mengkombinasikan sebuah pendekatan etnografi sosiologi tradisional dengan teroi dalam melihat hubungan antara budaya dan musik. Etnografi Willis mengkontraskan selera musik pada dua kelas dalam kelompok budaya, yaitu “bikers” dan “hippies”. Willis utamanya melihat dan memaknai musik dalam mengungkapkan proses sosial dimana dia mendasari formasi dari selera musik. Konsep willis tentang musik populer telah di adopsi dan diadaptasi dengan teori musik populer sebagai cara untuk menjelaskan genre musik sebagai ekspresi dari hubungan kelas.
Marcus Breen dalam kajiannya mengenai heavy metal dimana dia menggambarkan genre heavy metal menggambarkan ekspresi patrarki dan sifat misogynistic atau kebencian terhadap wanita melalui cara komersialisme band heavy metal yang muncul. Budaya sebagai penjaga yang mana didalamnya terdapat aktor, membentuk persepsi. Sama halnya dengan Cavicchi, dalam karyanya yang berjudul Tramps Like Us tahun 1998. Menggunakan pendekatan etnografi dalam menempatkan dan memahai bagaimana penggemar dari penyanyi rick US. Dalam pandangnnya, terutama usaha untuk menanamkan arti pentingnya diihat dari otrang-orang dari pengalamaan mereka dalam refleksi yang lambat dikeadaan sehari-hari.
B. Sosiologi dalam musik populer dan perubahan budaya
Meskipun budaya mjendominasi pendektaannya terhadap musik populer, sosiologi juga memiliki peranan penting dan berkontribusi dalam menganalisis musik populer. Kajian penting dalam melihat musik yaitu dari Simon frith dalam kajiannya the sociology of rock dengan ambsisi berusaha menempatkan atau mengaplikasikan prespektif sosiologi pada masyarakat kapitalisme, kelas, ras dan gender untuk memahami musik populer dalam ketiga gambarann luas, yaitu industri, penampilan dan penonton.
Frith dengan perhatian yang jelas mengenai pendekatan teori  untuk melihat esensi dari pemahaman musik dalam model top-down secara abstrak dan jengka panjang dan diperkuat dengan esai, dia secara langsung menantang lisensi akademis sosiologi untuk menginterpretasikan signifikansi musik populer. Bagi Frith, analisis top-down musik dalam ekonomi politik di industri musik atau keaslian artis musik populer menjelaskan kepada kita bagaimana bekerja pada tingkat level. Namun, sama pentingnya dalam hal ini menyatukan antara estetika dan nilai penonton itu sendiri.
Sosiolog Perancis memberikan argumentasi mengenai musik sebagai sebuah cerminan dari sosial dan budaya, dia melihat lebih kepada aksi dari musik  yang menginterpretasikan dan memiliki pemahaman konsekuensi dimana musik tidak pernah lepas dari konsumsi khalayak. Peter Martin memiliki pandangan dimana ada pengaruh antara suara dan masyarakat. Marti mengaplikasiskan konstruksi sosial melihat bagaimana pemahaman musik, gagasan yang dipegang secara uas mengenai musik merupakan cerminan secara langsung kondisi sosial dimana dia di produksi.
Pertengahan tahun 1990, kenaikan atau kemajuan dalam kehidupan sosial sering disebut dengan perubahan budaya atau perubahan sosial yang mengarah kesegala aspek kehidupan tak terkecuali budaya. Perubahan budaya mengarah pada pertanyaan untuk mengerti struktur sosial dan dampaknya terhadap kehidupan msyarakat. Lewis menginterpretasikan hubungan antara selera musik, identitas dan gaya hidup. Menurut lewis hubungan antara musik tidak begitu jelas, dalam msyaraat dibawah kondisi relatif memiliki mobilitas sosial yang tinggi, pendapatan tinggi, mudah, distribusi yang efisien. Lewis mengaplikasikan konsep selera budaya dasarnya berkembang,
Lewis mengidentifikasikan tuga dimensi yang menadasari formasi seleara budaya yaitu demografi, aestetik dan politik. Demografi dalam catetan Lewis memiliki faktor seperti usia, gender, ras dan lokasi. Aestetik menurut Lewis adalah bagaiaman personal terlihat. Dan politik konotasinya merasakan hubungan bagian dari individu antara genre musik dan dominasi strukture kekuasaan.
C. Dinamika hubungan musik dengan globalisasi dan identitas suatu masyarakat
Identitas menurut Marx dibedakan menurut status sosial, Identitas adalah simbolisasi ciri khas yang mengandung diferensiasi dan mewakili citra individu. contoh: musik jazz mengidentitaskan status sosial high class sedangkan musik dangdut mengidentitaskan musik down class / class bawah. Pandangan Globalisasi Sosial Budaya. Menurut Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, menurut Simon Kimoni, dalam proses ini, negara-negara harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan    memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing.
Dan seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi Wa Thiong’o menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya. Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai bangsa, yang dahulu dipaksakan melalui imperialisme, kini dilakukan dalam bentuk yang lebih luas dengan nama globalisasi.
Pengaruh Globalisasi Sosial Dan Budaya dimana Globalisasi dapat memperluas kawasan budaya. Globalisasi dapat timbulkan dampak negatif. Akibat dari pengaruh globalisasi seperti Disorientasi, dislokasi atau krisis sosial-budaya dalam masyarakat, berbagai ekspresi social budaya asing yang sebenarnya tidak memiliki basis dan preseden kulturalnya dan semakin merebaknya gaya hidup konsumerisme dan hedonisme. Sisi negatif globalisasi budaya diantaranya seperti akibatkan erosi budaya, lenyapnya identitas kultural nasional dan lokal, kehilangan arah sebagai bangsa yang memiliki jati diri, hilangnya semangat nasionalisme dan patriotisme dan cenderung pragmatisme dan maunya serba instant.
 kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Artefak tentang "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture) oleh Edgar Degas. Prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman
D. Tindakan yang mendorong timbulnya Globalisasi kebudayaan dan cara mengantisipasi adanya globalisasi kebudayaan .
Peran kebijaksanaan pemerintah yang lebih mengarah kepada pertimbangan-pertimbangan ekonomi daripada cultural atau budaya dapat dikatakan merugikan suatu perkembangan kebudayaan. Jennifer Lindsay (1995) dalam bukunya yang berjudul ‘Cultural Policy And The Performing Arts In South-East Asia’, mengungkapkan kebijakan kultural di Asia Tenggara saat ini secara efektif mengubah dan merusak seni-seni pertunjukan tradisional, baik melalui campur tangan, penanganan yang berlebihan, kebijakan-kebijakan tanpa arah, dan tidak ada perhatian yang diberikan pemerintah kepada kebijakan kultural atau konteks kultural.
Dalam pengamatan yang lebih sempit dapat kita melihat tingkah laku aparat pemerintah dalam menangani perkembangan kesenian rakyat, di mana banyaknya campur tangan dalam menentukan objek dan berusaha merubah agar sesuai dengan tuntutan pembangunan. Dalam kondisi seperti ini arti dari kesenian rakyat itu sendiri menjadi hambar dan tidak ada rasa seninya lagi. Melihat kecenderungan tersebut, aparat pemerintah telah menjadikan para seniman dipandang sebagai objek pembangunan dan diminta untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan simbol-simbol pembangunan. Hal ini tentu saja mengabaikan masalah pemeliharaan dan pengembangan kesenian secara murni, dalam arti benar-benar didukung oleh nilai seni yang mendalam dan bukan sekedar hanya dijadikan model saja dalam pembangunan.
Dengan demikian, kesenian rakyat semakin lama tidak dapat mempunyai ruang yang cukup memadai untuk perkembangan secara alami atau natural. Karena itu, secara tidak langsung kesenian rakyat akhirnya menjadi sangat tergantung oleh model-model pembangunan yang cenderung lebih modern dan rasional. Sebagai contoh dari permasalahan ini dapat kita lihat, misalnya kesenian asli daerah Betawi yaitu, tari cokek, tari lenong, dan sebagainya sudah diatur dan disesuaikan oleh aparat pemerintah untuk memenuhi tuntutan dan tujuan kebijakan-kebijakan politik pemerintah. Aparat pemerintah di sini turut mengatur secara normatif, sehingga kesenian Betawi tersebut tidak lagi terlihat keasliannya dan cenderung dapat membosankan.



Daftar Pustaka
Bennett. 2008. Toward a cultural Sociology of Popular Musik
Damono, Sapardi Djoko. 1997. Kebudayaan Massa dalam Kebudayaan Indonesia: Sebuah Catatan Kecil dalam Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Mizan
Kuntowijoyo. 1997. Budaya Elite dan Budaya Massa dalam Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Mizan


Kekerasan perempuan di dunia kerja

Perempuan dalam lingkungan kehidupan sosial, memiliki peran yang sangat kompleks. Perempuan dapat menjadi ibu rumah tangga juga sebagai pencari nafkah kedua, jika suami tidak dapat memenuhi atau menutupi kekurangan kebutuhan ekonomi keluarga. Namun, anggapan kebanyakan di masyarakat masih menganut anggapan patriarki, dimana menganggap bahwa perempuan sebagai seorang istri tidak bisa bekerja di luar rumah dan hanya bekerja di lingkungan domestik rumah tangga.  Berbeda dengan kaum laki-laki sebagai seorang suami yang dapat bekerja di luar rumah. Dan anggapan yang berkembang telah memberian stereotype yang negatif terhadap kaum perempuan yang bekerja di luar rumah. Buktinya pada era modern ini banyak sekali perempuan berumah tangga yang sudah mulai menjadi pembantu pencari nafkah dala rumah tangga, walaupun perempuan tersebut akan menyebabkan ketidak adilan karna pekerjaan rumah sepenuhnya tanggung jawab pada peremuan atau ibu rumah tangga.
Ada beberapa faktor yang mendasari perempuan untuk bekerja, mulai dari kebutuhan keluarga dan kebutuhan pribadi seperti gaya hidup yang kurang terpenuhi, maka dari itu untuk mendapatkan tambahan penghasilan, perempuan bekerja sebagai pencari nafkah kedua setelah suami. Sering kali selain anggapan bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah tidak baik. Perempuan yang bekerja juga sering mendapatkan perilaku yang buruk dari kaum laki-laki sebagai lawan jenis. Pelecehan seksual sangat sering terjadi pada kaum perempuan di tempat kerja karna laki-laki menganggap bahwa perempuan lah yang menyebabkan terjadinya pelecehan seksual karna perilaku dan cara berpakaiannya. Perempuan sering kali disalahkan ketika ia mendapat tindak pelecehan seksual, padahal tidak semua perempuan berpakaian yang minim dan perilakunya tidak mengundang hawa nafsu. Dengan begitu, pelecehan seksual di tempat kerja timbul itu karna ada hubungan kerja harian yang melibatkan sikap individu di dalam organisasi dan melibatkan golongan pria dan wanita (Abd. Rahim, 2003).
Pelecehan seksual yang terjadi di dalam suatu organisasi atau tempat kerja karena adanya stereotype dimana anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah yang dapat untuk di rayu dan bekerja menggunakan hati, tidak seperti laki-laki yang bekerja menggunakan kekuatan dan rasionalitasnya. Perempuan dalam perkembangannya telah modern dan dapat mengikuti arus pekerjaan, sudah tidak lagi hanya bekerja di lingkungan domestik melainkan mengambil peran dalam lingkungan kerja di masyarakat. Namun, hal yang dapat mengahalangi suatu pekerjaan yang layak adalah jenjang pendidikan yang tinggi. Perempuan yang tidak memiliki jenjang pendidikan yang tinggi hanya mendapatkan suatu pekerjaan yang kurang prestise dalam masyarakat. Perempuan selalu berada dipaling bawah jika dalam bidang pekerjaan karna perempuan dianggap tidak bisa memimpin suatu pekerjaan disuatu tempat kerja, karna posisinya yang rendah maka perempuan sering sekali menjadi objek untuk pelecehan seksual pada laki-laki yang kebanyakan adalah atasan dari si perempuan tersebut.
Sebagai contohnya  adalah sales promotion girl (SPG) pekerjaan ini yang dapat digeluti kaum perempuan, dimana pekerjaan tersebut tidak memerlukan syarat yang berlebih seperti jenjang pendidikan yang tinggi  dan hanya membutuhkan paras yang menarik. Namun, pekerjaan sebagai seoarang SPG atau sales promotion girl memiliki banyak resiko yang dihadapi dalam masyarakat. Mulai dari penerimaan label buruk dalam masyarakat sebagai pekerjaan yang rendah dan bermodalkan penampilan seksi untuk menarik pelanggan produk yang ditawarkan. Perempuan yang bekerja sebagai SPG pun kerap mendapatkan perlakuan buruk atau tindakan pelecehan seksual di tempat kerja baik verbal maupun fisik. Kekerasan seksual dengan verbal dimana pelaku melontarkan kata-kata yang negatif, rayuan dan kalimat merendahkan. Sedangkan bentuk fisik seperti menyentuh dan memegang sisi tubuh wanita tanpa izin. Perilaku seksual di tempat kerja merupakan suatu kekerasan terhadap gender yang dilakukan oleh pria terhadap kaum wanita di tempat kerja (Brewer dan  Berk, 1982).

Melia Lips cream

Melia Lip Cream adalah pewarna bibir yang berbentuk cair dan creamy pertama di Indonesia yang mengandung ekstrak propolis. Lip cream adalah pewarna bibir yang sedang trendy di dunia kosmetik dan banyak digunakan oleh para artis dan selebriti kelas atas.
Lip cream dan lip stick sangat berbeda. Lip stick adalah pewarna bibir yang berbentuk padat dan stick, sedangkan lip cream berbentuk cair dan creamy. Penggunaan lip cream lebih efektif daripada lip stick karena lebih mudah menyerap dan merata membentuk bibir dan lebih tahan lama.
Melia Lips cream adalah lip cream herbal yang mengandung bahan-bahan alami yang sangat aman untuk kesehatan bibir jangka panjang. Bahan-bahan yang terkandung dalam melia lip cream adalah:
  • melia propolis (Ektsrak Propolis)
  • Rice Bran Oil (Minyak Dedak Padi)
  • Licorice Extract (Ekstrak Akar Manis)
  • Squalane (Ekstrak Hati Ikan Hiu)
Manfaat Menggunakan Melia Lip Cream
Inilah 10 keistimewaan yang akan anda dapatkan ketika menggunakan Melia Lip Cream adalah:
  1. Produk herbal alami dan tidak ada efek samping.
  2. Produk sudah memiliki izin BPOM dan standar produksi GMP.
  3. Warna tahan lama dan tidak mudah luntur.
  4. Warna tidak menempel ke makanan dan minuman.
  5. Tidak membuat bibir kering dan pecah-pecah.
  6. Melembabkan bibir sepanjang hari.
  7. Menghilangkan garis halus pada bibir.
  8. Mencerahkan warna bibir lebih sexy.
  9. Melindungi bibir dari paparan sinar matahari.
  10. Menyehatkan dan menutrisi bibir.
Ada 4 pilihan warna cerah Melia Lip Creamyang bisa anda gunakan untuk memberikan aktivitas sehari-hari anda lebih bergairah. 4 pilihan Melia Lip Cream yang cantik dan sexy itu adalah:
  1. Melia Lip Cream Red
  2. Melia Lip Cream Rosewood
  3. Melia Lip Cream Nude
  4. Melia Lip Cream Blush

Barang asli hanya bisa diperoleh DI MEMBER AKTIF
wa: +6289676665125

Melia propolis

Manfaat Melia Propolis sudah sangat dirasakan oleh jutaan masyarakat di Indonesia. Sudah banyak penyakit berat yang telah terbukti sembuh dengan konsumsi Melia Propolis tanpa efek samping. Dan bukan hanya itu, propolis pun dapat diminum untuk menjaga kesehatan dan mencegah serangan berbagai macam penyakit.
Mungkin anda tidak akan percaya bahwa ada satu obat herbal yang mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Oleh karena itu, anda harus membaca artikel ini sampai selesai. Semoga anda yang punya keluhan tentang kesehatan dan penyakit dapat segera diberikan solusi terbaik dengan Manfaat produk yang satu ini.
Ada 10 Manfaat Utama Melia Propolis yang terbukti ampuh mengobati berbagai macam penyakit tanpa efek samping. Inilah manfaat tersebut:
1.Manfaat Melia Propolis Sebagai Antibiotik
melia propolis mengandung antibiotik alami. Jika diminum bagi orang sakit akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh, sehingga akan cepat menyembuhkan penyakitnya. Jika diminum bagi orang sehat akan menjaga sistem kekebalan tubuh dari serangan berbagai virus, bakteri dan jamur penyebab penyakit.
2. Manfaat Melia Propolis Sebagai Anti Oksidan (Anti Kanker)
Melia Propolis mengandung anti oksidan yang tinggi untuk mencegah penyakit kanker. Menurut hasil penelitian uji kanker dari Institute of Cancer Research Columbia pada tahun 1991.
Pertumbuhan sel kanker pada sel DNA manusia dapat dicegah 50 % dengan mengkonsumsi 5 mg propolis, jika ditingkatkan dosisnya menjadi 10 mg, maka sel kanker dapat dicegah”.
Sudah banyak penelitian tentang propolis untuk mengobati kanker dari jaman dahulu sampai sekarang. Banyak penyakit kanker yang telah sembuh dengan menggunakan Melia Propolis dari mulai kanker otak, kanker darah, kanker kulit, kanker, payudara,tumor dll.
3. Manfaat Melia Propolis Sebagai Anti Radang
Melia Propolis mengandung Anti Radang,  dimana dapat menyembuhkan berbagai penyakit radang. Contoh: penyakit magh, radang lambung, radang tenggorokan, radang gusi, dll.
4. Manfaat Melia Propolis Sebagai Anti Virus, Bakteri dan Jamur
Penyakit manusia baik dalam maupun luar tubuh, 85% diakibatkan oleh serangan virus, bakteri dan jamur. Melia Propolis mengandung zat anti virus, bakteri dan jamur dimana telah terbukti mampu mengobati berbagai penyakit.
Contoh penyakit akibat virus: batuk, ashma, brochitis, TBC, paru-paru, sinusitis, flue, demam, herpes. Gonorrhea, sifilis, hepatitis, hiv/aids, dll.
Contoh penyakit akibat bakteri: penyakit maag, diare, jerawat, bisul, usus buntu, sakit gigi, infeksi kewanitaan, dll.
Contoh penyakit akibat jamur: penyakit panu, kadas, kudis, katarak, ketombe, keputihan, dll.
5. Manfaat Melia Propolis Untuk Membersihkan Pembuluh Darah
Melia Propolis mengandung zat Bioflavonoids, yaitu zat yang mampu membersihkan seluruh pembuluh darah manusia, memperbaiki kerusakan dan menambal semua kebocoran sistem pembuluh darah termasuk pembuluh darah terkecil kapiler.
Kandungan 1 tetes propolis setara dengan 500 buah jeruk. Maka dengan minum Melia Propolis rutin selama 1 bulan bagi orang sehat sama dengan cuci darah. Bagi orang sakit, dianjurkan minum propolis selama 6 bulan untuk membersihkan seluruh pembuluh darahnya dari berbagai penyakit.
6. Manfaat Melia Propolis Untuk Membuang Racun (Detoksifikasi)
Salah satu fungsi dari manfaat melia propolis adalah detoksifikasi, yaitu proses pembuangan racun dalam tubuh manusia. Jadi ketika anda minum propolis diawal, akan terjadi detoksifikasi sebagai indikasi positif bahwa propolis sedang bekerja mengeluarkan racun dalam proses pengobatan penyakit anda.
Melia Propolis tidak ada efek samping dan bersifat herbal alami. Semua orang dari bayi 0 tahun s.d lansia, ibu hamil dan ibu sedang menyusui aman minum propolis. Bahkan bagi balita, anak, ibu hamil dan ibu menyusui sangat dianjurkan minum propolis untuk kesehatan ibu dan anak.
7. Manfaat Melia Propolis Untuk Kesuburan
Melia Propolis sangat bagus untuk meningkatkan kesuburan sel telur dan sel sperma laki-laki dan perrempuan. Bahkan ditemukan bahwa propolis melia dapatkan meningkatkan kesuburan hewan dan tumbuhan.
Bagi pasangan suami-istri yang mau program kehamilan, sangat direkomendasikan menggunakan Melia Propolis dan melia biyang untuk kesuburan keduanya.
8. Manfaat Melia Propolis Sebagai Multi Vitamin
Melia Propolis mengandung nutrisi yang sangat tinggi. Semua vitamin ada di dalam propolis termasuk vitamin A, B, C, D, E dan vitamin K. Jadi manfaat propolis untuk anak sangat bagus untuk meningkatkan kecerdasan otak.
9. Manfaat Melia propolis Sebagai Multi Mineral
Melia Propolis mengandung mineral tinggi untuk menjaga keseimbangan tubuh dan meningkatkan kekutan tulang. Sehingga cairan dalam tubuh akan tetap terjaga dan sehat.
10. Manfaat Melia Propolis Sebagai Protein (16 Jenis Asam Amino)
Melia propolis mengandung 16 jenis asam amino yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Jadi dengan konsumsi propolis rutin dapat menjaga keseimbangan gizi dalam tubuh termasuk protein dan asam amino yang dibutuhkan.

Harga Perbotol:
6 mili: 150.000
30 mili: 400.000
55 mili: 600.000

Harga per paket:
1 Paket Gold: 1.180.000
Barang Asli hanya didapatkan di member aktif
No wa: 089676665125 ( Bayu)

Negara dan Masyarakat

Negara dan Masyarakat Sipil: Perspektif Marxist 
Tantangan Marxis: Negara sebagai Aspek Peraturan Kelas
Marxisme merupakan teori yang berpusat dari masyarakat, karena itu, konsentrasi ini untuk melihat bagaimana ketidaksetaraan dalam masyarakat sipil membentuk imperatif dalam sebuah negara. Perkembangan yang semakin maju dalam bidang industri sebagai kekuatan pendorong utama dibalik perilaku negara dan perubahan sosial. Tindakan politik masyarakat dipahami sebagai hubungan mereka dengan produksi kapitalis yang diarahkan sebagai anggota kelas sosial dan bukan lagi sebagai warga negara. Kapitalisme adalah sistem ekploitatif yang mengasilkan ketidaksetaraan kekuasaan yang sangat besar, dimana beberapa orang mampu berdiri dengan kekayaannya dan kejayaannya sedangkan ada kaum yang lemah dan kekurangan. Bagi Marx, negara pada dasarnya adalah pelayan dari berbagai kepentingan-kepentingan dominan dalam masyarakat sipil. Walaupun tampaknya itu memiliki kepentingan sendiri ataupun kepentingan-kepentingan lain dari beberapa golongan yang ada di dalam sebuah negara. Marx berpendapat bahwa perkembangan kapitalisme dapat berkembang sepenuhnya oleh masyarakat sipil. Pada tahap ini ketidaksetaraan terjadi antara kelas sosial yang menjadi jelas. Meningkatnya transparasi kontradiksi negara memastikan bahwa perjungan kelas antara proletariat dan borjuis tidak dapat dihindarkan. Marxisme menyoroti ketegangan penting dalam hubungan negara dengan masyarakat sipil yang sangat kontras dengan pandangan optimis kaum liberal. Semua Marxis menunjuk pada bagaimana struktur kekuasaan dalam masyarakat sipil berdasarkan pembagian kelas yang berakar pada kepemilikan properti dan mencegah perkembangan potensi kreatif dari semua manusia. Ketidaksetaraan ini membuat setiap persamaan formal yang dimiliki individu sebagai warga negara tidak berdaya, karena kesetaraan politik seperti itu terpisah dari kebutuhan setiap orang. Kaum Marxis menolak individualisme liberal yang abstrak dan bukan memahami perilaku manusia dalam konteks masyarakatnya tetapi melihat tindakan-tindakan manusia dari sistem ekonominya.
Terdapat dua teori yang terpisah dari negara biasanya diidentifikasi dalam tulisan Marx (Held, 1996:129) yang pertama dapat ditemukan dalam bentuk yang lebih jelas manifesto komunisnya, mendefinisikan negara sebagai instrumen yang dikendalikan secara langsung oleh kelas penguasa untuk memaksa kelas tanpa properti: Eksekutif negara modern hanyalah komite untuk mengelola urusan borjuis (Marx dan Engels, 1962: 43-4). Teori ini memiliki pengaruh besar terhadap kaum revolusioner yang berusaha menggulingkan kapitalisme. Seperti kasus revolusi Rusia 1917, Perjuangan untuk mengendalikan negara menjadi tujuan yang harus diupayakan oleh komunis. Teori kedua tentang negara yang diidentifikasi karya marx dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan sejarahnya tentang Prancis. Dalam The Eighteenth Brumaire, dimana Marx memeriksa pemerintahan Louis Napoleon dipertengahan abad ke-19, negara dipandang memiliki hubungan yang sangat rumit dengan masyarakat sipil.
Menurut Carnoy (1984: 3-9) setelah periode pasca perang muncul minat di negara oleh Marxis, Pertama, pertumbuhan besar dalam fungsi dan kapasitas negara dalam masyarakat kapitalis. Kedua, memperbaiki distorsi tulisan Marx oleh partai-partai komunis yang berkuasa di Eropa Timur dan Cina, yang pemerintahannya bergantung pada mesin negara yang sangat koersif dan terpusat. Diskusi oleh kaum Marxis tentang negara diilhami oleh kaum komunis Italia, Gramsci (1971). Ia menekankan negara sebagai tempat perjuangan politik otonomi tingkat tinggi dari struktur ekonomi, yang menurut Marx sebagai penentu bentuk masyarakat sipil. Kaum Marxis menghindari tudingan ekonomi, mengurangi tindakan manusia untuk memenuhi persyaratan basis ekonomi. Gramsci memperkenalkan beberapa variasi konseptual pada karya Marx. Teorinya tentang hegemoni, menyoroti manipulasi ideologis oleh kelas penguasa atas kelas pekerja. Hegemoni adalah kekuatan komunikatif yang mengacu pada pembenaran ideologis untuk ketidakadilan kapitalisme, yang beroperasi melalui gereja dan partai politik. Hegemoni tidak pernah lengkap, meskipun meliputi negara dan masyarakat sipil, sehingga memungkinkan untuk membangun hegemoni alternatif.
Gramsci melihat penggunaan kekuatan komunikatif, serta perjuangan kelas material sebagai pusat penggulingan kapitalisme. Intelektual berperan dalam membangun sebuah proyek hegemonik egaliter alternatif kepada ideologi dominan dari kapitalis. Ini menimbulkan transisi politik ke komunisme, dimana demokrasi liberal dimanfaatkan oleh kelas pekerja untuk mengubahnya dan akhirnya melampaui negara. Negara bukanlah objek yang harus ditangkap, tetapi merupakan arena perjuangan (Thomas, 1994: 143). Ada beberapa masalah dengan posisi Gramsci, namun banyak dilema yang mendasar di jantung Marxisme.
Pertama, Gramsci tidak konsisten dalam definisi tentang negara dan masyarakat sipil. Ada kalanya mereka identik dan pada kesempatan lain ditentang. Negara dianggap mencakup masyarakat sipil yang hanya melalui kekuatan fisiknya (Gramsci, 1971). Kedua, mempertimbangkan tentang hubungan antara politik dan ekonomi, Gramsci menerima bahwa faktor ekonomi adalah penentu dalam hasil politik. Timbul pertanyaan apakah ekonomi, sangat penting bagi semua catatan Marxis tentang hubungan negara dan masyarakat sipil. Marxis mencoba menjawabnya. Contoh terbaik adalah Karya Poulantzas.
Poulantzas (1978) mengambil gagasan Gramsci tentang negara sebagai tempat perjuangan kelas yang strategis dan meluas, menjadi teori umum otonomi relatif negara dari masyarakat sipil. Terdapat peran yang sangat meningkat bagi negara dalam mengelola ketegangan kapitalisme, terdapat pemisahan kontrol yang jelas yang berfungsi untuk kebutuhan kapitalisme. Menurut Poulantzas, kapitalisme memiliki hak untuk memerintah dalam menjalankan kontrol tidak langsung atas negara. Posisi kelas personil negara relatif tidak penting. Fakta menunjukkan negara bergantung pada pertumbuhan ekonomi untuk kelangsungan hidupnya. Peran sentral dari negara dalam ketidaksetaraan kapitalisme tidak bisa dihindari. Kebutuhan masyarakat identik dengan kebutuhan kapitalisme. Negara kapitalis mengambil banyak bentuk, seperti fasis atau sosial demokratis, ini tergantung pada banyak faktor politik dan sosial. Negara berfungsi mempertahankan kondisi untuk akumulasi kapitalis, menjaga stabilitas sosial, menyediakan dukungan infrastruktur, dan mempertahankan pasar tenaga kerja yang tepat.
Teori Poulantzas bersifat deterministik dan fungsionalis. yakni negara hanyalah sebuah institusi yang fungsional bagi kapitalisme dalam perannya sebagai rekonsiliator konflik kelas. Seorang Marxis, Miliband, menuduh Poulantzas sebagai semacam "super-determinisme struktural" di mana lembaga individu menjadi tidak relevan (Miliband, 1970: 57). Sulit untuk mengklaim ada perbedaan nyata antara negara demokrasi fasis dan sosial. Hal ini mengilustrasikan, bagi Miliband, kepalsuan posisi Poulantzas.
Marx, membenarkan bahwa kelas kapitalis kadang-kadang melepaskan kekuasaan politiknya sehingga mampu mengumpulkan kekayaan. Kontradiksi di seluruh tulisan Marx tentang negara, hanya berfungsi untuk menyoroti, menunjukkan bahwa akumulasi kapitalis akan terjadi pada siapa pun yang mengatur negara, kemudian selanjutnya menunjukkan bahwa pengendali negara memiliki potensi untuk menggunakan kekuatan koersif negara terhadap kepentingan borjuis. Ini diungkapkan juga dalam argumen kontradiktif Poulantzas bahwa di satu sisi negara tersusun oleh kebutuhan kapitalisme, tetapi di sisi lain negara itu sendiri adalah tempat perjuangan kelas. Masalahnya adalah dalam menjelaskan bagaimana dua titik yang saling eksklusif ini dapat direkonsiliasikan dalam teori yang meyakinkan mengenai transisi menuju komunisme (Carnoy, 1984: 107).
Marx mengatakan bahwa 'kelas pekerja tidak dapat hanya memegang mesin negara yang sudah jadi dan menggunakannya untuk tujuan itu sendiri' (Marx dan Engels, 1962: 516), namun Lenin tidak sepakat dengan teori-teori Marx tersebut. Ini disebabkan oleh ambiguitas Marx mengenai peran negara, dan kegagalannya untuk menghasilkan teori transisi terhadap komunisme. Meskipun dua versi peran negara diidentifikasi dalam tulisan-tulisan Marx, ini bukan posisi yang berbeda dan sering tumpang tindih. Hal ini merupakan interpretasi yang masuk akal bahwa bukan hanya negara yang dapat mempertahankan kapitalisme, namun juga dapat digunakan dalam keadaan tertentu, sebagai sarana untuk melampaui kapitalisme.
Masalah-masalah teoritis ini tidak kecil, karena kegagalan di antara Kaum Marxis gagal mengidentifikasi negara sebagai aktor dalam dirinya sendiri, dengan sumber daya dan imperatifnya sendiri, yang tidak dapat direduksi menjadi faktor ekonomi. Ini bukan untuk menolak hubungan interdependen yang dimiliki negara dengan masyarakat sipil, tetapi untuk memberi perhatian lebih pada pertanyaan-pertanyaan seperti potensi negara untuk menjadi represif seperti ketimpangan ekonomi. Potensi negara yang represif tidak dapat dipahami sepenuhnya dari satu kelas saja. Ini ditegaskan oleh para kritikus feminis dan ahli teori etnis yang berpendapat bahwa negara memainkan peran penting dalam merefleksikan, mempromosikan ketidaksetaraan dalam masyarakat sipil antara laki-laki dan perempuan dan antara kelompok etnis yang berbeda.
Teori negara Marxis ini telah diilustrasikan dengan kejam oleh penggunaan represif negara di Tiongkok dan Uni Soviet. Jika seseorang menerima kesatuan esensial teori dan praktik, yang diekspresikan dalam pengertian Marxis tentang 'praksis', maka teori Marxis harus dievaluasi kembali secara kritis dalam pengalaman historis rezim komunis yang sebenarnya. Bukan untuk membantah kekuatan kritik Marxis terhadap model liberal ideal, tetapi mempertanyakan kegunaan teori, apa yang mengurangi praktik politik menjadi faktor ekonomi. Marx meletakkan benih untuk negara-negara yang sangat represif di mana tujuan utama adalah mengakhiri politik, yang secara implisit dipahami oleh Marx hanya relevan untuk masyarakat berbasis kelas. Masalah-masalah pemerintahan tidak akan layu, bahkan dalam masyarakat tanpa negara yang diinginkan oleh Marx. Juga negara-negara otoriter yang mengklaim legitimasi dari tulisan-tulisan Marx.

Teori Elit
Menurut para ahli, teori elit adalah logika egaliter yang mengancam realitas historis.Mosca dan paretto menolak gagasan kedaulatan rakyat. Mosca berpendapat bawha praktek pemilu yang demokratis dimanipulasi oleh elit. Mosca juga menyangkal bahwa para elit secara moral atau intelektual dan melihat keterampilan organisasi sebagai kunci untuk pemerintahan elit.
Mosca tidak percaya bahwa kekuasaan politik didasarkan pada dominasi ekonomi. Mosca juga sangat anti sosialis dan bahkan berpendapat dalam karyanya yang paling terkenal bahwa “keseluruhan karya ini merupakan sanggahan dari sosialisme (Mosca, 1939: 447). Selain itu Mosca  mengakui bahwa demokrasi perwakilan dapat memainkan peran dalam hubungan antara elite dan massa. Mosca juga lebih tertarik pada representasi sebagai mekanisme untuk stabilitas sosial. Melalui representasi, “ sentiment dan gairah tertentu dar kawanan umum” dating untuk memiliki pengaruh untuk mereka, sehingga menghindari penggulingan satu elit oleh yang lainnya (Mosca, 1939: 155).
Teori Paretto tentang perubahan elit, yang dia sebut pergantian elit bertumpu pada degenerasi yang tidak terelakkan dalam kualitas kualitas para elit. Menurut Paretto (1996: 29) para elit selalu diperbaharui oleh individu individu superior yang muncul dari barisan massa melalui kekuatan kehendak. Paretto juga mengidentifikasi dua jenis elit: mereka yang unggul dalam kecerdasan politik dan kelicikan (ini disebut “rubah”) dan mereka yang memiliki tingkat keberanian dan kepemimpinan militer yang tinggi (‘singa’). Kombinasi dari keduanya mengatur tergantung pada kebutuhan waktunya.
Menurut Paretto (1968: 27), manusia dan massa sangat tidak rasional: ‘bagian terbesar dari tindakan manusia berasal tidak dalam alasan logis tetapi dalam sentimen’. Selain itu pareto membahas elit ekonomi yang ia definisikan terdiri dari rerperer. Reperer adalah pemilik properti dan penabung untuk menstabilitaskan ekonomi. Namun, hubungan antara anggota elit ekonomi dalam masyarakat ekonomi dan negara tidak jelas. Paretto menyebutkan jaringan jaringan “minoritas terbuka”, tetapi hubungan antara elit politik dan ekonomi tampaknya terletak dalam pandangna  Paretto pada kompatibilitas tremperamental yang tidak jelas (misalnya, singa dekat dengan rimpunan dalan keinginan mereka untuk stabilitas) daripada perasaan apapun dari kelas bersama.
Mosca dan Paretto menunjukkan pentingnya masing masing, tetapi gagal untuk membangun teori meyakinkan hubungan diantara mereka. Paretto dan Mosca memberi sedikit bukti tentang bagaimana atau mengapa “formula politik” atau keyakinan “keyakinan hidup” yang berbeda diadopsi atau menjadi berlebihan. Teori ini juga tidak  kuat dalam penjelasannya tentang perubahan elit. Konsep elit demokrasi pada pandangan pertama untuk menjadi sebuah oxymoron. Weber dan Schrumpeter  menerima pendekatan “realis” dari mosca dan melihat kepemimpinan elit sebagai sesuatu  yang tak terelakkan. Aturan elit juga diinginkan sebagai penghalang akses massa yang banyak. Stabilitas sosial, kepemimpinan elit harus dikaitkan dengan rakyat melalui mekanisme demokrasi. Sebagai seorang ahli ekonomi schrumpeter merasa bahwa institusi yang paling demokratis di masyarakat adalah pasar dan oleh karena itu institusi politik harus didasarkan pada model ini: sama seperti kapitalis bersaing untuk pelanggan, politisi juga harus bersaing untuk mendapatkan massaa dan keanggotaan elit didasarkan pada prestasi, Schrumpeter berpendapat system ini dapat membuat stabil dan sukses.
Menurut Schrumpeter (1942) demokrasi bisa dibuat kompetibel dengan realitas kekuasaan elit. Pertama ia mengatakan bahwa kekuasaan politik selalu dilakukan oleh minioritas dan bahwa dalam masyarakat yang kompleks demokrasi partisipatif, dimana massa memainkan peran langsung dalam pengambilan keputusan adalah hal mustahil.  Kedua demoktrasi dilihat  bukan sebagai tujuan itu sendiri melainkan sebagai metode dimana elit dapat dipilih oleh massa, sehingga memastikan sirkulasi yang teratur dari elit.
Bottomore (1993a: 90-2) dan Bachrach (1967) elit dianggap perlu karena irasionalitas, apati dan ketidaktahuan massa, dan demokrasi dianggap hanya sebagai latihan sinis dalam legitimasi ketidaksetaraan. Schrumpeter melihat partisipasi demokratis sebagai urusan terbatas tidak berlaku untuk urusan ekonomi atau sosial. Bahkan demokrasi bisa terancam oleh partisipasi berlebih yang dilakukan massa seperti melobi perwakilan. Pandangan seperti ini  memahami demokrasi secara implisit untuk mempertahankan keberlangsungan system elitis demoratik yang dijalankan. Teori sinis seperti itu megandung resiko dengan mengasingkan mayoritas dari pemerintah dalam kehidupan berpolitik dan dapat mengancam stabilitas sistem. Demokrasi dapat lebih positif sebagai proses yang berkelanjutan dan dinamis. Setiap masyarakat yang mengklaim sebagai demokrasi harus sadar atas batasannya sendiri dan harus memperluas partisipasi.

Sekularisasi

A. Definisi
Sekularisasi : menurut KBBI , adalah suatu proses yang membawa ke arah kehidupan yang tidak berdasar pada agama. Kata-kata “Sekuler” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda, dan lain-lain). “Sekular” artinya bersifat duniawi kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohanian).[berbeda lagi dengan sekularisme, yaitu paham atau pandangan yang memiliki pendirian bahwasanya kehidupan didasari tidak pada ajaran agama. Sekulerisasi, menurut Harun Nasution adalah proses penduniawian, yaitu proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama, dengan demikian sekulerisasi adalah proses melepaskan diri dari agama dan bisa berakibat/mengarah kepada ateisme.
Sekularisasi merupakan suatu proses yang disebabkan salah satu dampak modernisasi dan globalisasi. Modernisasi merupakan suatu proses perubahan yang menuju pada tipe sistem-sistem sosial, ekonomi, dan politik
Menurut Wilbert E Moore modernisasi mencakup suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial ke arah pola-pola ekonomi dan politis yang menjadi ciri negara-negara barat yang stabil. Karakteristik umum modernisasi yang menyangkut aspek-aspek sosio-demografis masyarakat dan aspek-aspek sosio-demografis digambarkan dengan istilah gerak sosial (social mobility). Artinya suatu proses unsur-unsur sosial ekonomis dan psikologis mulai menunjukkan peluang-peluang ke arah pola-pola baru melalui sosialisasi dan pola-pola perilaku.
Kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang berarti universal (mendunia). Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya popular, dan bentuk interaksi yang lain.

B. Sejarah
Bila kita melacak sejarah bangsa Eropa, sekularisme muncul disebabkan pengongkongan gereja dan tindakannya menyekat pintu pemikiran dan penemuan sains. Pihak gereja Eropah telah menghukum ahli sains seperti Copernicus, Gradano, Galileo dll yang mengutarakan penemuan saintifik yang berlawanan dengan ajaran gereja. Kemunculan paham ini juga disebabkan tindakan pihak gereja yang mengadakan upacara agama yang dianggap berlawanan dengan nilai pemikiran dan moral seperti penjualan surat pengampunan dosa, yaitu seseorang boleh membeli surat pengampunan dengan nilai wang yang tinggi dan mendapat jaminan syurga walaupun berbuat kejahatan di dunia.
Disamping itu, Kemudian muncul revolusi rakyat Eropa yang menentang pihak agama dan gereja yang bermula dengan pimpinan Martin Luther, Roussieu dan Spinoza. Akhirnya tahun 1789M, Perancis menjadi negara pertama yang bangun dengan sistem politik tanpa intervensi agama. Revolusi ini terus berkembang sehingga di negara-negara Eropa, muncul ribuan pemikir dan saintis yang berani mengutarakan teori yang menentang agama dan berunsurkan rasional. Seperti muncul paham Darwinisme, Freudisme, Eksistensialisme, Ateismenya dengan idea Nietche yang menganggap Tuhan telah mati dan manusia bebas dalam mengeksploitasi. Akibatnya, agama dipinggirkan dan menjadi bidang yang sangat kecil, terpisah daripada urusan politik, sosial dan sains. Bagi mereka yang melakukan penolakan terhadap sistem agama telah menyebabkan kemajuan sains dan teknologi yang pesat dengan munculnya zaman Renaissance yaitu pertumbuhan perindustrian dan teknologi pesat di benua Eropa.
Dalam perjalanannya, Paham ini terus menular dan mulai memasuki dunia Islam pada awal kurun ke 20. Turki merupakan negara pertama yang mengamalkan paham ini di bawah pimpinan Kamal Artartuk. Seterusnya paham ini menelusuri negara Islam yang lain seperti di Mesir melalui polisi Napoleon, Algeria, Tunisia dan lain-lain yang terikat dengan pemerintahan Perancis. Dan, Indonesia, Malaysia masing-masing dibawa oleh Belanda dan Inggeris. Ini dapat kita lihat dengan munculnya dualisme yaitu agama satu sisi dan yang bersifat keduniaan satu sisi. Seperti pengajian yang berasaskan agama tidak boleh bercampur dengan pengajian yang berasaskan sains dan keduniaan.

Disamping itu, sejarah yang paling kental tentang munculnya sekularisme adalah disebabkan dari bentuk kekecewaan (mosi tidak percaya) masyarakat Eropa kepada agama kristen saat itu (abad 15). Di mana kristen beberapa abad lamanya menenggelamkan dunia barat ke dalam periode yang kita kenal sebagai the dark age. Padahal pada saat yang sama peradaban Islam saat itu sedang berada di puncak kejayaannya. Sehingga ketika perang salib berakhir dengan kekalahan di pihak Eropa, walau mereka mengalami kerugian di satu sisi, tetapi, sebenarnya mereka mendapatkan sesuatu yang berharga, yaitu inspirasi pengetahuan. Karena justru setelah mereka “bergesekan” dengan umat Islam di perang salib. Hal tersebut ternyata menjadi kawah lahirnya renaissance beberapa abad setelahnya di Eropa. Setelah mereka menerjemahkan buku-buku filsafat yunani berbahasa arab dan karya-karya filosof Islam lainnya ke dalam bahasa latin. Pada saat Eropa mengalami the dark age, kristen yang sudah melembaga saat itu menguasai semua ranah kehidupan masyarakat Eropa. Politik, ekonomi, pendidikan dan semuanya tanpa terkecuali yang dikenal denga istilah ecclesiastical jurisdiction (hukum Gereja). Semua hal yang berasal dari luar kitab suci Injil dianggap salah. Filsafat yang notabene sebagai al-umm dari ilmu pengetahuan dengan ruang lingkupnya yang sangat luas, mereka sempitkan dan dikungkung hanya untuk menguatkan keyakinan mereka tentang ketuhanan yang trinitas itu. Mereka menggunakan filsafat hanya sekedar untuk menjadikan trinitas yang irasional menjadi kelihatan rasional. Dengan demikian secara otomatis filsafat yang seharusnya menjadi induk dari seluruh ilmu pengetahuan yang ada menjadi mandul dan tidak berfungsi .
Ilmu pengetahuan yang menopang majunya sebuah peradaban malah dimusuhi. Ketika ada penemuan baru yang dianggap bertentangan dengan isi injil dianggap sebagai sebuah pelanggaran yang harus ditebus dengan nyawa. Sebagaimana yaang dialami Copernicus yang menyatakan teori heliosentrisnya yang notabene bertentangan dengan injil yang mengemukan teori geosentris.
Sesuai dengan teori arus air, jika ia ditahan maka lama kelamaan akan menjadi tenaga yang begitu dahsyat untuk mengahancurkan penahannya. Begitu juga yang terjadi di Eropa pada abad 15 dengan apa yang disebut renaissance sebagai lambang dari pembebasan masyarakat Eropa dari kungkungan kristen. Gerakan renaissance ini mulai digerakkan di berbagai lini, seni, gerakan pembaruan keagamaan yang melahirkan kristen protestan, humanisme dan penemuan sains. Yang selanjutnya diteruskan dengan masa enlightenment pada abad ke-18 satu abad setelah lahirnya aliran Filsafat Moderen pada abad ke-17.
Tirani Gereja Kristen—sebagaimana yang kita ketahui—merupakan agama yang cinta damai dan agama cinta kasih. Ini bisa dilihat dari perkataan Yesus yang memerintahkan murid-muridnya untuk memberikan pipi kanan jika dipukul pipi yang kiri. Namun, pada kenyataannya Gereja sebagai kristen yang melembaga justru menjadi tirani bagi bangsa Eropa pada abad pertengahan, yang membuat Eropa terpuruk selama berabad-abad dalam masa yang disebut the dark age. Monopoli pemahaman dan penafsiran injil itu oleh para pemuka kristen (rijâlu ad-dîn) terus berlaku sampai akhirnya kristen mejadi agama resmi Romawi. Justru semenjak itu pula kristen melembaga menjadi institusi Gereja. Monopoli kitab suci semakin menjadi. Yang mana monopoli kitab suci tersebut berbuah kepada monopoli keberagamaan kristen. Monopoli itu pula menjadikan umat kristen sangat bergantung kepada institusi Gereja.

C. Paradigma
Talcott parson : sekularisasi merupakan konsekuensi dari proses diferensiasi struktural dalam karakter orientasi religius, akan tapi tidak mendasari hilangnya kekuatan nilai-nilai religius itu sendiri. Parson ingin menempatkan agama di ruang publik yang bebas dari intervensi agama, yaitu di wilayah masyarakat warga atau cibil society. sekularisasi sebagai sebuah proses sosiologis yang menunjukkan kecenderungan masyarakat untuk membebaskan diri dari takhayul dalam kehidupan.
Bryan Wilson : sekularisasi adalah proses kesadaran, aktifitas, dan institusi agama yang hilang dari signifikansi sosial. sekularisasi itu bergantung secara esensi pada proses gradual aktifitas agama, seperti jalan berfikir dan kepercayaan, juga ketidaksadaran dari proses lain dari sebuah perubahan sosial.

D. Dampak Sekulerisasi
Dari pemaparan history diatas, setidaknya ada beberapa poen yang menurut penulis bisa dijadikan sebagai landasan ideology sekularisme, yaitu:
1. Menolak sistem agama dalam semua urusan dunia seperti politik, sosial, pendidikan dan sebagainya. Bagi mereka agama hanyalah penghalang kepada kemajuan tamadun dan pembangunan sains dan teknologi. Idea-idea agama bersifat kolot dan bertentangan dengan pemikiran akal sehat mereka.
2. Kehidupan berasaskan kepada rasional, ilmu dan sains. Manusia tidak boleh meletakkan doktrin atau kitab-kitab agama sebagai pegangan kerana ia akan membutakan kehidupan manusia. Manusia mestilah berpegang kepada kajian sains, eksperimen sehingga menemukan hal-hal yang baru.
3. Menganggap kewujudan sebenarnya adalah melalui pancaindera bukan unsur-unsur rohaniah dan metafisik yang sukar dikesan melalui kajian moden. Paham ini lebih mengutamakan material dan membelakangi  spiritual. Kehidupan selepas mati merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kajian sains modern dan eksperimen.
4. Nilai baik dan buruk ditentukan oleh akal manusia bukannya teks agama. Bagi mereka nilai baik dan buruk adalah relatif  dan agama menyempitkan konsep nilai baik dan buruk. sehingga, muncullah paham hedonisme yang mengajak manusia bebas melakukan apa saja demi terciptanya kesenangan. Contohnya amalan seks bebas menurut Freud, mempunyai unsur kebaikan pada suatu masa dan keadaan tertentu.
5. Menganggap alam ini terjadi melalui fenomena sains dan kimia tertentu bukannya kuasa tuhan. Dari anggapan ini muncullah berbagai teori tentang kejadian alam termasuk kekuatan unsur kimia dan atom yang menyebabkan Big Bang sebagai asas kewujudan alam, seolah-olah tuhan tidak terlibat dalam penciptaan alam ini. Sebahagian penganut paham ini menolak tuhan manakala sebahagian yang lain mempercayai tuhan tetapi tuhan tidak mencampuri urusan manusia di dunia. Manusia bebas menentukan kehendak dan mengikut tindakan mereka.

EMPOWERMENT AND POVERTY REDUCTION

Empowerment and Development Effectiveness

The need to deploy scarce development resources—whether in the
form of finance or policy advice and technical assistance—as effec-
tively as possible is a central development concern. This chapter very
briefly explores three of the key channels through which empowerment
enhances development effectiveness: through its impacts on good gov-
ernance and growth, on helping growth to be pro-poor, and on the
outcomes of development projects. It is important to note that there is
a synergistic relationship among these variables, and between key inter-
ventions to promote empowerment and effectiveness objectives. For
example, support for broadening people’s access to basic education and
health care is central to the empowerment agenda; it is also critical for
optimizing the long-run effectiveness of development strategies, includ-
ing the creation of a dynamic investment climate. Finally, it should also
be emphasized that empowerment, in the sense of enlarging people’s
choices and hence their freedom to take action to shape their lives, is
much more than a means to other objectives; it is a good in itself, and a
desirable goal of development.
Empowerment and Development Effectiveness:
Good Governance and Growth

Good governance has increasingly been recognized as a crucial prereq-
uisite for development effectiveness and the growth that it fosters. It is
critical for ensuring a positive investment climate, and it has a two-way
relationship with empowerment—that is, good governance promotes
empowerment, and empowerment further enhances good governance.
The components of good governance range very widely; some of its
aspects and their relationship with empowerment and development ef-
fectiveness are briefly discussed below. The rule of law is one of the foundations of good governance. Ac-cording to Dollar and Kraay (2000), the availability (or absence) of
impartial, dependable, and reasonably speedy judicial systems and as-
sociated enforcement mechanisms is important for the investment cli-
mate, and hence for countries’ growth prospects. Kaufmann, Kraay,
and Zoido-Lobatón (1999) found a large, significant, and causal rela-
tionship between the rule of law and the income of nations (and also
between rule of law, higher literacy, and reduced infant mortality). In its
equity (or inequity) aspects, the rule of law also affects empowerment:
if poor people can obtain impartial justice, their freedom is enhanced.
By the same token, empowerment can improve the quality of the judi-
cial and enforcement system, especially by increasing the availability
and dissemination of information about how the system works.
Corruption is both a symptom and a cause of poor governance. It
undermines the investment climate and development effectiveness. It
imposes heavy costs on poor people, who have fewer resources than the
better-off to pay bribes. A study in Ecuador demonstrates that poor
people and small firms pay more in bribes as a proportion of their in-
come than the rich or large firms.Empowering people through greater
openness and participation can lead both to the availability of more
information about the pervasiveness of corruption and to popular pres-
sure to eliminate it—once again illustrating the two-way relationship
between empowerment and good governance. One proxy for empower-
ment is the strength of civil liberties in society; Kaufmann (2000), using
data from 150 countries, found that those with high levels of civil liber-
ties had very low corruption, but that the level of corruption was four
times higher in countries that were only partly free and 24 times higher
in countries with no civil liberties.
One specific aspect of empowerment—enhanced women’s rights and
participation—deserves special mention in this context. Empowerment
of women is associated with cleaner business and government, and bet-
ter governance. Specifically, the greater their involvement in public life,
the lower the level of corruption, even in countries with the same in-
come, civil liberties, education, and legal institutions. At the micro level,
studies have shown that women in business are less likely than men to
pay bribes to government officials, either because they have higher ethi-
cal standards or because they are more risk-averse. A study of 350 firms
in Georgia found that firms managed by men are twice as likely to pay
bribes as those managed by women. The difference drops but is still significant after controlling for firm size, sector, and education of owner
or manager.
Empowerment—through inclusion, voice, and accountability—can
also promote social cohesion and trust, qualities that help reduce
corruption, reinforce government and project performance, and pro-
vide a conducive environment for reform, with consequential benefits
for development effectiveness and economic growth. Ritzen, Easterly,
and Woolcock (2000) have demonstrated the importance of social co-
hesion and inclusiveness for generating the trust needed to implement
reforms. Knack and Keefer (1997) have established the relationship
between growth and measures of trust and civic cooperation. La Porta
and others (1997) have demonstrated the positive relationships between
trust and judicial efficiency, anti-corruption, bureaucratic quality, tax
compliance, and civic participation. Rodrik (1999) has shown that coun-
tries with the steepest falls in growth after exogenous shocks after 1975
were those that were socially divided in terms of income inequality,
ethnic and linguistic fragmentation or conflict, and social trust, and
had weak institutions for managing conflict.
Extreme examples of the breakdown of social cohesion and trust
are war and civil conflict. Their intuitively evident consequences have
been confirmed by research. For example, Collier (2000) has shown
that on average civil war reduces a country’s per capita output by more
than 2 percent a year compared to what it would otherwise have been.6
A study of Indian states shows that civil strife leads to the worst invest-
ment climate and growth performance.
An important aspect of poor governance, with adverse consequences
for growth prospects, is the extent of “state capture” by large firms. Busi-
ness Environment and Enterprise Performance Surveys carried out re-
cently in 20 countries in Eastern Europe and Central Asia demonstrate
the extent of this phenomenon and its effects in terms of firms’ capacity
to buy influence in parliamentary legislation, criminal and commercial
courts, and decision making by central banks. The study shows that,
between 1997 and 1999, “high capture” countries achieved only half the
sales and investment of “low capture” countries. Again, however, the
two-way relationship between empowerment and good governance comes
into play. Good governance can promote empowerment by encouraging
the growth of civil liberties—and countries with a high degree of empow-
erment in terms of civil liberties have low state capture.
Finally, because development effectiveness and growth depend criti-
cally on public action, including well-designed and effectively deployed public spending on development priorities, sound public expenditure
management is an essential aspect of good governance. Here again, as-
pects of empowerment, including provision of information to citizens
and government commitment to transparency and accountability with
respect to public spending, can play a critical role. When stakeholders,
including civil society, the private sector, and intended beneficiaries (in-
cluding poor people), can monitor public expenditure outcomes, per-
formance can be enhanced. Public spending on education in Uganda
provides a case in point. When Uganda instituted public monitoring of
funds going to primary schools and school districts, the share of nonwage
allocations actually reaching schools rose from 22 percent in 1995 to
about 80 to 90 percent by 2000.9 Here is an example of how key as-
pects of empowerment and government performance (and development
effectiveness) go hand in hand: spending on improvements in education
service delivery is critical for empowerment, while empowerment, in
the form of citizen monitoring, is helping to ensure that public spending
on education is actually reaching its intended beneficiaries—and thereby
enhancing the effectiveness of public action and growth prospects.

Empowerment and Development Effectiveness:
Making Growth Pro-Poor

There is a large cross-disciplinary literature and substantial develop-
ment experience on the links between empowerment, growth, and pov-
erty reduction (see especially Stern 2002; World Bank 2000c). Income
poverty has fallen most rapidly in economies that have grown dynami-
cally, and poverty has remained high or has increased in countries with
poor growth records.
Experience also shows that growth alone is not enough to ensure
substantial and sustainable poverty reduction. Country data indicate
that similar growth rates can lead to very different poverty reduction
outcomes. For a given rate of growth, poverty will fall faster in coun-
tries where the distribution of income becomes more equal, as in
Uganda, than in countries where it becomes less equal, as in
BangladeshA critical aspect of an empowering approach is to reduce inequality
by broadening human capabilities (through, for example, universal basic
education and health care, together with adequate arrangements for so-
cial protection) and improving the distribution of tangible assets (such
as land or access to capital). Such an approach can enhance the poverty-
reducing impact of growth-inducing policies and investments by enabling
poor people to more effectively participate in markets. The converse also
applies. When inequality is high, poor people lack capabilities and assets
(ranging from literacy to collateral for credit) and thus have difficulty
taking advantage of economic opportunity. This limits a society’s poten-
tial for growth in general and pro-poor growth in particular, and conse-
quently the effectiveness of development efforts.
Gender discrimination, whether legal or customary, is a particularly
important aspect of inequality. By curtailing the economic contribution
of half the population, overall prospects for growth and higher living
standards are limited—a situation perpetuated into future generations by
inadequate investment in female education.
Empowerment also implies more participatory, bottom-up ap-
proaches to development objectives. There is now substantial agree-
ment that approaches giving poor people more freedom to make eco-
nomic decisions enhance development effectiveness at the local level in
terms of design, implementation, and outcomes. A particularly striking
example of the positive consequences of empowering people in these
ways comes from China. Two major Chinese reforms, the Household
Responsibility System and the Township and Village Enterprise move-
ment, promoted poor people’s participation and freedom to make eco-
nomic choices in rural areas, releasing the entrepreneurial energies of
the Chinese people and thereby helping China to achieve rapid pro-
poor growth. The number of poor people in rural China fell from 250
million in 1979, the first year of reform, to 34 million in 1990, with
about half of the decline occurring between 1978 and 1985.15
Finally, empowerment can have sociopolitical benefits for a
country’s poverty reduction efforts. As noted in the previous section,
societies that take steps toward wider social inclusion, broader voice,
and enhanced accountability of governments can better achieve the
social consensus and capacity for collective action needed to carry
through sometimes difficult reforms effectively. They are also more
likely to have a greater degree of policy and political stability, both of
which help to promote sustainable and equitable pro-poor develop-
ment, broadly defined.And even where income distribution does not become
more unequal with growth, country differences in initial inequality
produce different poverty reduction outcomes for a given rate of
growth. Hence, if poverty reduction is taken as a measure of develop-
ment effectiveness, then the development effectiveness of growth ef-
forts varies with levels of inequality. A critical aspect of an empowering approach is to reduce inequality
by broadening human capabilities (through, for example, universal basic
education and health care, together with adequate arrangements for so-
cial protection) and improving the distribution of tangible assets (such
as land or access to capital). Such an approach can enhance the poverty-
reducing impact of growth-inducing policies and investments by enabling
poor people to more effectively participate in markets. The converse also
applies. When inequality is high, poor people lack capabilities and assets
(ranging from literacy to collateral for credit) and thus have difficulty
taking advantage of economic opportunity. This limits a society’s poten-
tial for growth in general and pro-poor growth in particular, and conse-
quently the effectiveness of development efforts.
Gender discrimination, whether legal or customary, is a particularly
important aspect of inequality. By curtailing the economic contribution
of half the population, overall prospects for growth and higher living
standards are limited—a situation perpetuated into future generations by
inadequate investment in female education.
Empowerment also implies more participatory, bottom-up ap-
proaches to development objectives. There is now substantial agree-
ment that approaches giving poor people more freedom to make eco-
nomic decisions enhance development effectiveness at the local level in
terms of design, implementation, and outcomes. A particularly striking
example of the positive consequences of empowering people in these
ways comes from China. Two major Chinese reforms, the Household
Responsibility System and the Township and Village Enterprise move-
ment, promoted poor people’s participation and freedom to make eco-
nomic choices in rural areas, releasing the entrepreneurial energies of
the Chinese people and thereby helping China to achieve rapid pro-
poor growth. The number of poor people in rural China fell from 250
million in 1979, the first year of reform, to 34 million in 1990, with
about half of the decline occurring between 1978 and 1985.
Finally, empowerment can have sociopolitical benefits for a
country’s poverty reduction efforts. As noted in the previous section,
societies that take steps toward wider social inclusion, broader voice,
and enhanced accountability of governments can better achieve the
social consensus and capacity for collective action needed to carry
through sometimes difficult reforms effectively. They are also more
likely to have a greater degree of policy and political stability, both of
which help to promote sustainable and equitable pro-poor develop-
ment, broadly defined.

Teori Elite

Teori Elite: Negara sebagai Aspek Aturan Elite
Justru ancaman sosialisme otoriter yang membuat para teoretisi elit menolak mentah-mentah baik resep Marxis maupun liberal untuk hubungan negara-masyarakat sipil. Intrinsik terhadap kedua teorinya, menurut para ahli teori elit, adalah logika egaliter yang mengancam yang terbang di hadapan realitas historis. Mosca (dikutip dalam Albertoni, 1987: 12), salah satu teoritikus elit kunci, menggambarkan 'realitas' ini dengan cara berikut:
Mereka yang memegang dan menjalankan kekuasaan Negara selalu minoritas, dan bahwa di bawah mereka terdapat banyak kelas orang yang tidak pernah berpartisipasi dalam hal nyata di pemerintahan dan tunduk pada kehendak yang duluan; kita dapat menyebut mereka yang diperintah.
Ini menangkap esensi dari posisi elitis. Michels bahkan melangkah lebih jauh dari Mosca dalam menggambarkan keniscayaan pemerintahan elit sebagai 'hukum besi oligarki'. Demokrasi adalah paradoksal, dan karenanya mustahil, karena demokrasi tidak dapat ada tanpa organisasi, dan, bagi Michels, 'yang mengatakan organisasi mengatakan oligarki' (Michels, 1962: 364).
Pertanyaan tentang siapa yang memerintah adalah yang sederhana untuk dijawab: negara dikendalikan oleh orang-orang yang memiliki jumlah sumber daya yang tidak proporsional yang diperlukan untuk proses pemerintahan. Dua teoretisi elit klasik, Mosca dan Pareto, berbeda dalam pandangan mereka tentang sumber daya mana yang memanfaatkan elit, tetapi keduanya sepakat bahwa negara dan masyarakat sipil dicirikan oleh pembagian kekuasaan antara elit dan massa yang tak terelakkan.
Karena tidak dapat dielakkannya pemerintahan elit, Mosca dan Pareto menolak gagasan kedaulatan rakyat. Mosca berpendapat bahwa bahkan praktek pemilu yang demokratis dimanipulasi oleh para elit: 'mereka yang memiliki kehendak dan, terutama, moral, intelektual dan material berarti untuk memaksakan kehendak mereka pada orang lain mengambil pimpinan atas yang lain dan memerintahkan mereka' (Mosca , 1939: 154).
Meskipun Mosca dan Pareto memiliki pendapat yang rendah tentang massa, mereka berbeda pandangan mereka tentang basis untuk pemerintahan elit. Mosca (1939: 450) menyangkal bahwa para elit secara moral atau intelektual, dan melihat keterampilan organisasi sebagai kunci untuk pemerintahan elit. Pareto lebih militan mengenai superioritas elit dalam hal atribut psikologis dan pribadi yang cocok untuk pemerintah. Dia berbicara tentang elit politik dalam hal kekuatan fisik dan mental mereka. Tellingly, untuk Pareto, elit menjadi rentan untuk digulingkan ketika menjadi 'lebih lembut, lebih ringan, lebih manusiawi dan kurang mampu membela kepentingannya sendiri' (Pareto, 1968: 59). Dia mengutip kurangnya perlawanan fisik untuk memberontak di Roma Kuno, dan oleh arlstokrasi di Perancis sebelum revolusi 1789, sebagai bukti kelemahan mereka (Pareto, 1968: 60). Teori Pareto tentang perubahan elit, yang dia sebut pergantian elit, bertumpu pada degenerasi yang tak terelakkan dalam kualitas-kualitas para elit. Untuk Pareto (1966: 249), 'sejarah adalah kuburan aristokrasi'. Namun, para elit selalu diperbarui oleh individu-individu superior, yang muncul dari barisan massa melalui kekuatan kehendak.
Pareto mengidentifikasi dua jenis elit: mereka yang unggul dalam kecerdasan politik dan kelicikan (ini dia sebut 'rubah') dan mereka yang memiliki tingkat keberanian dan kepemimpinan militer yang tinggi ('singa'). Sepanjang sejarah negara, salah satu dari elit ini, atau berbagai kombinasi dari keduanya, mengatur, tergantung pada kebutuhan waktu. Dengan demikian, Pareto mengambil pandangan fungsional tentang peran elit dalam sementara elit dapat berubah, struktur dasar masyarakat, dengan perbedaan antara elit dan massa, tidak, sehingga mempertahankan keseimbangan sokal (Bottomore, 1993a: 44).
Manipulasi massa melalui penggunaan kekuatan komunikatif adalah tema yang kuat dalam tulisan-tulisan Pareto dan Mosca. Menurut Pareto (1968: 27), manusia, dan khususnya massa, sangat tidak rasional: 'bagian terbesar dari tindakan manusia berasal tidak dalam alasan logis tetapi dalam sentimen'. Therafore elemen kunci dalam pemerintahan elit adalah persuasi. Melalui penciptaan apa yang disebut Pareto, aturan elit 'iman yang hidup' dinaturalisasi. Demikian juga, untuk Mosca, kelas penguasa negara mana pun mencoba untuk melegitimasi kontrolnya melalui penciptaan 'formula politik' yang tampaknya sesuai dengan keadaan historis yang berlaku. Misalnya, dalam perlod feodal gagasan tentang hak ilahi raja-raja memberikan dukungan Ilahi kepada pemerintahan monarkis. Konsep formula politik memiliki beberapa kesamaan dengan gagasan Marxis tentang hegemoni, tetapi berbeda dari konsep ini karena ia tidak berhubungan dengan struktur ekonomi masyarakat. Mosca tidak percaya bahwa kekuasaan politik didasarkan pada dominasi ekonomi, meskipun membingungkan dia menggunakan istilah kelas penguasa ketika merujuk pada elit politik. Seperti Pareto, Mosca sangat anti-sosialis dan bahkan berpendapat dalam karyanya yang paling terkenal bahwa "keseluruhan karya ini merupakan sanggahan dari sosialisme (Mosca, 1939: 447). Namun, ia mengakui pentingnya gagasan Marxis tentang perjuangan kelas dan menunjuk pada bahaya mengisolasi massa dari pelaksanaan kekuasaan di mana kelas penguasa baru yang 'antagonis terhadap kelas yang memegang kepemilikan pemerintah hukum' dapat muncul dan menggulingkan. elit saat ini (Mosca, 1939: 116).
Meskipun permusuhannya dengan perluasan waralaba, Mosca karena itu mengakui bahwa demokrasi perwakilan dapat memainkan peran dalam medlating hubungan antara elit dan massa. Karena penerimaan nyata lembaga llberal, Birch (1993: 185) menunjukkan bahwa Mosca dapat diklasifikasikan sebagai liberal. Namun, tidak seperti John Stuart Mill yang khawatir bahwa massa yang tidak berpendidikan akan datang untuk memerintah jika demokrasi diperpanjang tetapi yang secara teoritis berkomitmen pada prinsip demokrasi, Mosca lebih tertarik pada representasi sebagai mekanisme untuk stabilitas sosial. Dengan kata lain, representasi adalah versi khusus dari gagasannya tentang formula politik. Melalui representasi, "sentimen dan gairah tertentu dari" kawanan umum "datang untuk memiliki pengaruh mereka 'sehingga menghindari penggulingan kekerasan dari satu elit oleh yang lain (Mosca, 1939: 155).
Dalam hal pertanyaan analitis yang ditetapkan pada awal bab ini, teori elit jelas di bawah berteori dan memberitahu kita sedikit tentang hubungan negara-masyarakat sipil. Mengenai masalah konflik dan konsensus, baik Mosca dan Pareto menunjukkan pentingnya masing-masing, tetapi gagal untuk membangun teori meyakinkan tentang hubungan di antara mereka. Pareto dan Mosca memberikan sedikit bukti tentang bagaimana atau mengapa 'formula politik' atau 'keyakinan hidup' yang berbeda diadopsi atau menjadi berlebihan. Pada titik apa elit penguasa bergeser dari ketergantungan pada kekuatan komunikatif terhadap penggunaan kekuatan militer?
Teori ini juga tidak kuat dalam penjelasannya tentang perubahan elit. Untuk Pareto, para elit gagal karena kesenangan diri sendiri, tetapi teori ini mengabaikan pentingnya perjuangan kelas dan revolusi dalam menjelaskan perubahan. Ide Mosca tentang munculnya elit baru dari dalam masyarakat sipil tidak sesuai dengan pendapatnya yang rendah tentang massa. Pareto dan Mosca juga gagal menjelaskan bagaimana dan mengapa ellte baru dapat memperoleh sumber daya kekuasaan yang diperlukan untuk memerintah (Bottomore, 1993a: 26).
Kaum elit gagal menjelaskan hubungan antara berbagai jenis kekuasaan, dan khususnya hubungan antara politik dan ekonomi yang sebagian besar belum tereksplorasi. Pareto memang mencurahkan sebagian ruang untuk membahas elit ekonomi, yang ia definisikan sebagai terdiri dari rerperer, yang adalah pemilik properti dan penabung, dan yang karenanya menginginkan stabilitas ekonomi, dan spekulan, yang sebagai wirausahawan terus mencari untuk mempromosikan dan merespons ekonomi perubahan. Namun, hubungan antara anggota elit ekonomi dalam masyarakat sipil dan negara tidak jelas. Pareto secara singkat menyebutkan jaringan-jaringan 'minoritas terkemuka', tetapi hubungan antara elit politik dan ekonomi tampaknya terletak dalam pandangan Pareto pada kompatibilitas temperamental yang tidak jelas (misalnya, singa dekat dengan rimpunan dalam keinginan mereka untuk stabilitas), daripada perasaan apa pun dari posisi kelas bersama.
Terlepas dari banyak kekurangannya, teori elit klasik menegaskan kembali penekanan Marxis pada kepentingan sectional dalam menentukan distribusi kekuasaan di negara dan masyarakat sipil. Teori ini tampaknya menawarkan suatu kisah yang realistis tentang hubungan kekuasaan aktual yang ada dalam elit yang tidak diragukan lagi menjadi pemain penting dalam cara lembaga negara dan masyarakat sipil dibangun. Elit telah melembagakan pengaruh mereka melalui negara dan menolak demokratisasi radikal untuk alasan yang tidak dapat direduksi menjadi kepentingan ekonomi saja. Teori elit juga memunculkan tantangan, yang harus dipenuhi oleh para demokrat radikal, apakah elit bisa benar-benar dilepaskan, dan sejauh mana penentuan nasib sendiri demokratis oleh semua individu adalah mungkin dan diinginkan.
Asumsi teori elit klasik juga membentuk dasar untuk elit demokratis yang lebih canggih dari Weber dan Schumpeter. Konsep elit demokratis akan muncul pada pandangan pertama untuk menjadi sebuah oxymoron. Namun, pertanyaan ini berubah menjadi definisi demokrasi yang diterapkan. Weber dan Schumpeter menerima pendekatan 'realis' dari Mosca dan melihat kepemimpinan elit sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Dalam kata-kata Weber, 'semua ide yang bertujuan untuk menghapus dominasi laki-laki atas laki-laki adalah ilusi' (dikutip dalam Evans, 1995: 232). Aturan Ellte juga diinginkan, sebagai penghalang bagi ekses massa yang bebal. Namun, untuk memastikan stabilitas sosial, kepemimpinan elit harus dikaitkan dengan rakyat melalui mekanisme demokratis. Schumpeter (1942) menawarkan laporan yang menarik tentang bagaimana demokrasi bisa dibuat kompatibel dengan realitas kekuasaan ellte. Pertama, ia berpendapat bahwa kekuasaan politik selalu dilakukan oleh minoritas, dan bahwa dalam masyarakat yang kompleks demokrasi partisipatif, di mana massa memainkan peran langsung dan konstan dalam pengambilan keputusan, adalah mustahil. Tidak ada satu ellte yang dominan dalam masyarakat liberal, tetapi justru ada 'dinamika antara minoritas yang terorganisir', yang masing-masing berjuang, melalui cara-cara tanpa kekerasan, untuk mencapai supremasi. Kedua, demokrasi dilihat, bukan sebagai tujuan itu sendiri, tetapi sebagai metode di mana elit dapat dipilih oleh massa, sehingga memastikan sirkulasi yang teratur dari elit. Sebagai seorang ekonom, Schumpeter merasa bahwa institusi yang paling demokratis di masyarakat adalah pasar dan oleh karena itu institusi politik harus didasarkan pada model ini: sama seperti kapitalis bersaing untuk pelanggan, politisi harus bersaing untuk mendapatkan suara. Menyediakan demokrasi terbuka untuk beberapa masukan oleh massa, dan keanggotaan elit didasarkan pada prestasi, Schumpeter berpendapat bahwa sistem seperti itu dapat menjadi stabil dan sukses.
Bottomore (1993a: 90-2) dan Bachrach (1967) telah menundukkan teori elit demokratik untuk kritik yang berkelanjutan. Masalah utamanya adalah pandangan demokrasi yang dipegang oleh para penulis seperti Weber dan Schumpeter. Elit dianggap perlu karena irasionalitas, apati dan ketidaktahuan massa, dan demokrasi dianggap hanya sebagai latihan sinis dalam legitimasi ketidaksetaraan. Masalah dengan model demokrasi ellte ini adalah bahwa ini adalah ramalan yang terwujud dengan sendirinya. Ini mengabaikan bagaimana ketergantungan pada elit itu sendiri menghalangi partisipasi dan mendorong sikap apatis di antara mereka yang merasakan perjuangan antara elit sebagai jauh dan tidak relevan dengan kehidupan mereka. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa Schumpeter melihat partisipasi demokratis sebagai urusan terbatas, tidak berlaku untuk kehidupan ekonomi atau sosial. Bahkan demokrasi politik pun dianggap oleh Schumpeter sebagai terancam oleh 'partisipasi berlebihan' oleh massa, seperti melobi perwakilan antara pemilihan. Seperti yang ditulis Bachrach (1967: 100), pandangan semacam itu memahami demokrasi sebagai "secara implisit berdedikasi terhadap kelangsungan hidup sistem elitis demokratik" daripada "pengembangan diri individu."
Teori sinis seperti itu menjalankan risiko mengasingkan mayoritas dari pemerintah dalam kehidupan mereka sendiri, dan ini dapat mengancam stabilitas sistem. Demokrasi malah dapat dilihat lebih positif, sebagai proses yang berkelanjutan dan dinamis (lihat Bab 8). Setiap socety yang mengklaim sebagai demokrasi harus sadar akan batasannya sendiri dan harus berusaha untuk memperluas partisipasi. Contohnya adalah kurangnya partisipasi di antara elit politik oleh etnis minoritas dan perempuan di sebagian besar negara di seluruh dunia. Pada tahun 1992, misalnya, perempuan hanya membuat 8 persen dari legislatif di Italia, 6 persen di Perancis dan Yunani dan 9 persen di Inggris (Evans, 1997: 111). Pengecualian semacam itu mengilustrasikan bahaya berpuas diri terhadap jangkauan demokratis sistem apa pun. Jawaban Schumpeter terhadap hal ini adalah untuk menyatakan bahwa suatu negara dapat secara sah melihat suatu bagian dari masyarakat sipil sebagai 'tidak layak' untuk memilih; misalnya, 'bangsa yang sadar akan ras dapat mengasosiasikan kebugaran [untuk berpartisipasi] dengan pertimbangan rasial' (Schumpeter, 1942: 20). Asumsi seperti itu membawa kita kembali ke kelemahan utama dari teori elit: Kecenderungannya untuk mengasumsikan bahwa ketidaksetaraan kekuasaan adalah bukti kekuatan, bukan kelemahan, dari sistem politik. Kesenjangan-kesenjangan ini bukanlah refleksi dari distribusi yang tidak merata dari atribut-atribut yang cocok untuk pemerintah (sebagaimana dipertahankan oleh kaum elitis). Mereka disebabkan ketidaksetaraan struktural seperti kelas, 'ras' dan gender.

Fungsi dan Tujuan Sosiologi Hukum

Fungsi dan Tujuan Sosiologi Hukum
Menurut Esmi Warassih, antara ilmu sosial dan ilmu hukum memang memiliki hubungan yang saling melengkapi dan berpengaruh satu sama lain, sehingga perbedaan fungsi keduanya tidak terlalu menonjol. Oleh sebab itu, ada beberapa fungsi dan tujuan sosiologi hukum bagi masyarakat sosial secara umum, beberapa diantaranya seperti yang akan dijelaskan berikut ini.
Fungsi Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum yang memiliki kedudukan penting dalam mengkaji keberlangsungan hukum dalam kehidupan masyarakat sosial memiliki fungsi sebagai berikut:
  1. Memahami Pengertian Hukum Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dengan ilmu sosial dalam ilmu hukum maka dapat membantu memperjelas pengertian dari hukum itu sendiri. Oleh sebab itu sosiologi hukum berfungsi untuk membantu memahami pengertian hukum yang kurang jelas dalam kehidupan masyarakat sosial. Sosiologi hukum dapat menggunakan konkret terhadap kaidah-kaidah hukum dalam masyarakat, terutama hukum yang tertulis sebagai suatu pedoman kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat paham akan adanya hukum dalam kehidupannya
  2. Memahami Perkembangan Hukum Positif Selain berfungsi untuk memahami pengertian hukum, sosiologi hukum juga berfungsi untuk memahami dan mengetahui adanya perkembangan hukum positif dalam kehidupan masyarakat sosial. Artinya bahwa, sosiologi hukum dapat membantu memahami mengapa manusia bersikap patuh terhadap hukum yang berlaku, maupun mengapa manusia gagal dalam mematuhi hukum yang ada. Termasuk pula didalamnya mengenai beberapa faktor-faktor sosial hingga faktor yang memperngaruhi kesadaran hukum yang berpengaruh didalamnya.
  3. Mengetahui Efektifitas Hukum dalam Masyarakat Fungsi sosiologi hukum yang selanjutnya adalah mampu memberikan pengetahuan mengenai efektifitas hukum dalam masyarakat, artinya bahwa sosiologi hukum mampu memberikan kemampuan-kemampuan dalam mengadakan suatu analisis terhadap efektifitas hukum yang diberlakukan didalam masyarakat. Hal tersebut dapat terlaksana sebagai suatu pengendalian sosial, sebagai suatu sarana untuk mengubah kehidupan masyarakat, maupun sebagai suatu sarana untuk mengatur adanya interaksi dan hubungan sosial dalam masyarakat dengan tujuan untuk mencapai suatu keadaan atau kehidupan sosial tertentu yang diharapkan dan disepakati bersama.
    1. Membantu Mengevaluasi Efektifitas Hukum dalam Masyarakat
    Setelah dapat berfungsi untuk mengetahui efektifitas hukum dalam masyarakat, kemudian sosiologi hukum mampu memberikan kemungkinan serta kemampuan-kemampuan untuk dapat melakukan suatu evaluasi terhadap efektifitas hukum yang berlaku tersebut di dalam masyarakat. Kemungkinan  tersebut yang kemudian berpengaruh terhadap adanya perubahan hukum dalam keberlangsungan hidup masyarakat.
    1. Memberikan Dasar terhadap Pemahaman Undang-Undang
    Sosiologi hukum juga berfungsi untuk memberikan penjelasan lebih dalam mengenai suatu dasar terbaik untuk dapat lebih memahami atau mengerti Undang-Undang yang berlaku dibandingkan dengan memahami hukum alam dalam kehidupan masyarakat. Hal ini juga bertujuan untuk memberikan kesadaran terhadap segala hukum atau aturan yang benar-benar perlu dipatuhi dan berlaku dalam masyarakat.
    1. Memberikan Pemahaman Hukum dalam Konteks Sosial
    Dalam memahami hukum dalam konteks sosial dapat diperoleh melalui adanya ilmu kajian sosiologi hukum. Dimana sosiologi hukum memberikan pemahaman mengenai kedudukan serta peran dan hubungannya dalam konteks sosial. Banyak sekali contoh yang dapat diambil dalam fungsi ini, salah satunya adalah adanya beberapa hukum yang terbentuk dalam kehidupan masyarakat sosial, seperti adanya Hukum Waris.
    1. Membantu Merumuskan Kaidah Hukum ‘
    Dengan adanya sosiologi hukum maka dapat membantu dalam perumusan kaidah-kaidah hukum yang disesuaikan dengan kondisi sosial atau kondisi masyarakat yang sebenarnya. Sebagai contoh seperti dapat merumuskan berbagai macam aturan atau hukum tertulis dengan bahasa-bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat mudah memahami aturan atau hukum yang diberlakukan tersebut. Selain itu, dengan sosiologi hukum maka aturan atau hukum yang dirumuskan juga dapat memiliki dasar sosial yang kuat.
    1. Mengkontruksikan Fenomena Hukum dalam Masyarakat
    Melalui sosiologi hukum, maka berbagai macam fenomena-fenomena hukum yang terjadi didalam kehidupan masyarakat sosial dapat diketahui, sehingga dapat dilakukan evaluasi terhadapnya. Dengan mengetahui fenomena-fenomena hukum yang ada, maka para pembuat aturan atau hukum bagi masyarakat dapat merumuskan atau mengetahui apa yang harus dilakukan selanjutnya bagi kebaikan kehidupan masyarakat sosial.
    1. Membantu Memetakan Masalah Sosial dalam Masyarakat
    Sosiologi hukum juga dapat berfungsi untuk membantu memetakan masalah-masalah sosial yang terjadi yang disesuaikan atau berhubungan dengan adanya penerapan hukum dalam masyarakat. Dimana semakin banyak perubahan sosial terjadi maka semakin besar pula berbagai macam contoh masalah sosial hadir dalam kehidupan masyarakat.
    Itulah beberapa fungsi sosiologi hukum bagi kehidupan masyarakat sosial. Selain fungsi-fungsi tersebut, sosiologi hukum juga memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai, apa saja tujuan tersebut? simak penjelasan berikut ini.
    Tujuan Sosiologi Hukum
    Adanya fungsi-fungsi sosiologi hukum pasti berlangsung untuk mencapai tujuan didalamnya, tujuan dari sosiologi hukum sendiri adalah untuk mengetahui perkembangan gejala-gejala atau fenomena-fenomena yang terjadi didalam kehidupan masyarakat, terutama yang berhubungan dengan berlakunya hukum atau aturan yang mengikat para anggota masyarakat itu sendiri. Hal ini juga dimaksudkan agar gejala-gejala yang terjadi tersebut, terutama yang mengarah pada hal negatif dapat diminimalisir menggunakan kajian ilmu sosiologi hukum tersebut. Sejak lahir, setiap manusia memang sudah menjadi bagian dari makhluk sosial yang tidak akan dapat hidup sendiri, sehingga untuk menciptakan suatu kehidupan bersama yang damai dan memang diharapkan maka kesadaran antara satu manusia dengan manusia yang lainnya menjadi hal yang sangat penting. Oleh sebab itulah, sosiologi hukum hadir untuk membantu membangun kesadaran antar manusia sebagai seorang makhluk sosial yang hidup bersama dan selalu terikat dengan hukum atau aturan yang berlaku didalamnya.
    Sosiologi hukum juga bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena-fenomena hukum yang terjadi didalam kehidupan masyarakat, artinya bahwa sosiologi hukum akan menitikberatkan pada bagaimana suatu hukum yang berlaku melakukan interaksi didalam masyarakat. Dimana kondisi tersebut sangat berpengaruh pula terhadap adanya perubahan hukum yang terjadi didalam kehidupan masyarakat, yang mana juga dipengaruhi adanya hubungan antara perubahan sosial pada masyarakat. Artinya bahwa, tujuan sosiologi hukum juga untuk menekankan terhadap adanya kondisi-kondisi sosial yang memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan hukum, seperti perubahan sosial berpengaruh terhadap perubahan hukum, dan perubahan hukum yang juga berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat sosial.
    Itulah beberapa tujuan sosiologi hukum dalam masyarakat sosial, dimana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka sosiologi hukum harus menjalankan fungsinya yang telah dijelaskan sebelumnya. Demikian penjelasan mengenai fungsi dan tujuan sosiologi hukum bagi masyarakat sosial, dimana sosiologi hukum memiliki kedudukan yang penting dalam memahami keberlangsungan hubungan antara hukum atau aturan yang berlaku dengan kehidupan masyarakat sosial.

Kepercayan, sistem pemerintahan Bangsa inca, Bangsa Maya, bangsa Aztec dan peradaban india kuno

1   Kepercayaan dan sistem pemerintahan Bangsa Inca, bangsa maya dan bangsa Aztec Kepercayaan Bangsa Inca: Masyarakat Inca perca...