Musik dan Budaya

Musik dan Budaya





A. Fokus kajian budaya dalam melihat  musik
Budaya dalam melihat musik dimana budaya selalu menjadi kunci antara musik populer dan terus menerus untuk menjelaskan bagaimana musik dan budaya secara abstrak. Budaya merupakan pertimbangan sebagai suatu paksaan atau sesuatau yang dipaksakan yang memanifestasikan dirinya ke dalam isu-isu seperrti kebosanan remaja, ketegangan ras dan exploitasi sexual. Bertolak dari adanya determinsime budaya, menurut Hebdige (Bennett, 2008) secara musk populer sering kali dibaca secara harfiah dengan teori musik populer adalah sebagai cerminan pada kenyataan, contohnya punk selalu di asumsikan atau digambarkan kemarahan dan kekecewaan.
Banyak akademisi musik populer yang dapat menjadi sumber acuan dalam menkonstruksikan analisa mengenai musik dan budaya. Willis dengan karyanya yang berjudul Profane Culture pada tahun 1978. Dimana dalam karyanya Willis yang berjudul Profan Culture itu mengkombinasikan sebuah pendekatan etnografi sosiologi tradisional dengan teroi dalam melihat hubungan antara budaya dan musik. Etnografi Willis mengkontraskan selera musik pada dua kelas dalam kelompok budaya, yaitu “bikers” dan “hippies”. Willis utamanya melihat dan memaknai musik dalam mengungkapkan proses sosial dimana dia mendasari formasi dari selera musik. Konsep willis tentang musik populer telah di adopsi dan diadaptasi dengan teori musik populer sebagai cara untuk menjelaskan genre musik sebagai ekspresi dari hubungan kelas.
Marcus Breen dalam kajiannya mengenai heavy metal dimana dia menggambarkan genre heavy metal menggambarkan ekspresi patrarki dan sifat misogynistic atau kebencian terhadap wanita melalui cara komersialisme band heavy metal yang muncul. Budaya sebagai penjaga yang mana didalamnya terdapat aktor, membentuk persepsi. Sama halnya dengan Cavicchi, dalam karyanya yang berjudul Tramps Like Us tahun 1998. Menggunakan pendekatan etnografi dalam menempatkan dan memahai bagaimana penggemar dari penyanyi rick US. Dalam pandangnnya, terutama usaha untuk menanamkan arti pentingnya diihat dari otrang-orang dari pengalamaan mereka dalam refleksi yang lambat dikeadaan sehari-hari.
B. Sosiologi dalam musik populer dan perubahan budaya
Meskipun budaya mjendominasi pendektaannya terhadap musik populer, sosiologi juga memiliki peranan penting dan berkontribusi dalam menganalisis musik populer. Kajian penting dalam melihat musik yaitu dari Simon frith dalam kajiannya the sociology of rock dengan ambsisi berusaha menempatkan atau mengaplikasikan prespektif sosiologi pada masyarakat kapitalisme, kelas, ras dan gender untuk memahami musik populer dalam ketiga gambarann luas, yaitu industri, penampilan dan penonton.
Frith dengan perhatian yang jelas mengenai pendekatan teori  untuk melihat esensi dari pemahaman musik dalam model top-down secara abstrak dan jengka panjang dan diperkuat dengan esai, dia secara langsung menantang lisensi akademis sosiologi untuk menginterpretasikan signifikansi musik populer. Bagi Frith, analisis top-down musik dalam ekonomi politik di industri musik atau keaslian artis musik populer menjelaskan kepada kita bagaimana bekerja pada tingkat level. Namun, sama pentingnya dalam hal ini menyatukan antara estetika dan nilai penonton itu sendiri.
Sosiolog Perancis memberikan argumentasi mengenai musik sebagai sebuah cerminan dari sosial dan budaya, dia melihat lebih kepada aksi dari musik  yang menginterpretasikan dan memiliki pemahaman konsekuensi dimana musik tidak pernah lepas dari konsumsi khalayak. Peter Martin memiliki pandangan dimana ada pengaruh antara suara dan masyarakat. Marti mengaplikasiskan konstruksi sosial melihat bagaimana pemahaman musik, gagasan yang dipegang secara uas mengenai musik merupakan cerminan secara langsung kondisi sosial dimana dia di produksi.
Pertengahan tahun 1990, kenaikan atau kemajuan dalam kehidupan sosial sering disebut dengan perubahan budaya atau perubahan sosial yang mengarah kesegala aspek kehidupan tak terkecuali budaya. Perubahan budaya mengarah pada pertanyaan untuk mengerti struktur sosial dan dampaknya terhadap kehidupan msyarakat. Lewis menginterpretasikan hubungan antara selera musik, identitas dan gaya hidup. Menurut lewis hubungan antara musik tidak begitu jelas, dalam msyaraat dibawah kondisi relatif memiliki mobilitas sosial yang tinggi, pendapatan tinggi, mudah, distribusi yang efisien. Lewis mengaplikasikan konsep selera budaya dasarnya berkembang,
Lewis mengidentifikasikan tuga dimensi yang menadasari formasi seleara budaya yaitu demografi, aestetik dan politik. Demografi dalam catetan Lewis memiliki faktor seperti usia, gender, ras dan lokasi. Aestetik menurut Lewis adalah bagaiaman personal terlihat. Dan politik konotasinya merasakan hubungan bagian dari individu antara genre musik dan dominasi strukture kekuasaan.
C. Dinamika hubungan musik dengan globalisasi dan identitas suatu masyarakat
Identitas menurut Marx dibedakan menurut status sosial, Identitas adalah simbolisasi ciri khas yang mengandung diferensiasi dan mewakili citra individu. contoh: musik jazz mengidentitaskan status sosial high class sedangkan musik dangdut mengidentitaskan musik down class / class bawah. Pandangan Globalisasi Sosial Budaya. Menurut Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, menurut Simon Kimoni, dalam proses ini, negara-negara harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan    memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing.
Dan seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi Wa Thiong’o menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya. Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai bangsa, yang dahulu dipaksakan melalui imperialisme, kini dilakukan dalam bentuk yang lebih luas dengan nama globalisasi.
Pengaruh Globalisasi Sosial Dan Budaya dimana Globalisasi dapat memperluas kawasan budaya. Globalisasi dapat timbulkan dampak negatif. Akibat dari pengaruh globalisasi seperti Disorientasi, dislokasi atau krisis sosial-budaya dalam masyarakat, berbagai ekspresi social budaya asing yang sebenarnya tidak memiliki basis dan preseden kulturalnya dan semakin merebaknya gaya hidup konsumerisme dan hedonisme. Sisi negatif globalisasi budaya diantaranya seperti akibatkan erosi budaya, lenyapnya identitas kultural nasional dan lokal, kehilangan arah sebagai bangsa yang memiliki jati diri, hilangnya semangat nasionalisme dan patriotisme dan cenderung pragmatisme dan maunya serba instant.
 kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Artefak tentang "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture) oleh Edgar Degas. Prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman
D. Tindakan yang mendorong timbulnya Globalisasi kebudayaan dan cara mengantisipasi adanya globalisasi kebudayaan .
Peran kebijaksanaan pemerintah yang lebih mengarah kepada pertimbangan-pertimbangan ekonomi daripada cultural atau budaya dapat dikatakan merugikan suatu perkembangan kebudayaan. Jennifer Lindsay (1995) dalam bukunya yang berjudul ‘Cultural Policy And The Performing Arts In South-East Asia’, mengungkapkan kebijakan kultural di Asia Tenggara saat ini secara efektif mengubah dan merusak seni-seni pertunjukan tradisional, baik melalui campur tangan, penanganan yang berlebihan, kebijakan-kebijakan tanpa arah, dan tidak ada perhatian yang diberikan pemerintah kepada kebijakan kultural atau konteks kultural.
Dalam pengamatan yang lebih sempit dapat kita melihat tingkah laku aparat pemerintah dalam menangani perkembangan kesenian rakyat, di mana banyaknya campur tangan dalam menentukan objek dan berusaha merubah agar sesuai dengan tuntutan pembangunan. Dalam kondisi seperti ini arti dari kesenian rakyat itu sendiri menjadi hambar dan tidak ada rasa seninya lagi. Melihat kecenderungan tersebut, aparat pemerintah telah menjadikan para seniman dipandang sebagai objek pembangunan dan diminta untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan simbol-simbol pembangunan. Hal ini tentu saja mengabaikan masalah pemeliharaan dan pengembangan kesenian secara murni, dalam arti benar-benar didukung oleh nilai seni yang mendalam dan bukan sekedar hanya dijadikan model saja dalam pembangunan.
Dengan demikian, kesenian rakyat semakin lama tidak dapat mempunyai ruang yang cukup memadai untuk perkembangan secara alami atau natural. Karena itu, secara tidak langsung kesenian rakyat akhirnya menjadi sangat tergantung oleh model-model pembangunan yang cenderung lebih modern dan rasional. Sebagai contoh dari permasalahan ini dapat kita lihat, misalnya kesenian asli daerah Betawi yaitu, tari cokek, tari lenong, dan sebagainya sudah diatur dan disesuaikan oleh aparat pemerintah untuk memenuhi tuntutan dan tujuan kebijakan-kebijakan politik pemerintah. Aparat pemerintah di sini turut mengatur secara normatif, sehingga kesenian Betawi tersebut tidak lagi terlihat keasliannya dan cenderung dapat membosankan.



Daftar Pustaka
Bennett. 2008. Toward a cultural Sociology of Popular Musik
Damono, Sapardi Djoko. 1997. Kebudayaan Massa dalam Kebudayaan Indonesia: Sebuah Catatan Kecil dalam Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Mizan
Kuntowijoyo. 1997. Budaya Elite dan Budaya Massa dalam Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Mizan


No comments:

Post a Comment

Kepercayan, sistem pemerintahan Bangsa inca, Bangsa Maya, bangsa Aztec dan peradaban india kuno

1   Kepercayaan dan sistem pemerintahan Bangsa Inca, bangsa maya dan bangsa Aztec Kepercayaan Bangsa Inca: Masyarakat Inca perca...