Kedudukan Aqidah dalam Islam

Kedudukan Aqidah dalam Islam
Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai, bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban atap saja, bangunan tersebut akan runtuh dan hancur berantakan.
Maka, aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal. Allah swt berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Artinya: “Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi: 110)
Allah swt juga berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ.
Artinya: “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, bahwa jika engkau betul-betul melakukan kesyirikan, maka sungguh amalmu akan hancur, dan kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. az-Zumar: 65)
Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah saw berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.
Menurut Al habib ahmad bin alwi al haddad ketika beliau berceramah di majelisnya setiap malem rabu yang sesuai dengan manaqibnya,  beliau berkata:
Bahwanya aqidah ahlussunnah wal jammaah dibagi menjadi 2 tingkatan:
1. Aqidahnya orang awam
2. Aqidahnya para wali dan orang orang shaleh terdahulu

IMAM EMPAT
Istilah Imam Empat yang digunakan umat Islam pada zaman ini, mereka ialah:
1. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit rahimahullah, dari Kufah, Irak (hidup th 80 H - 150 H).
2. Imam Malik bin Anas rahimahullah, dari Madinah (hidup th 93 H - 179 H)
3. Imam Syafi’i Muhammad bin Idris rahimahullah, lahir di Ghazza, ‘Asqalan, kemudian pindah ke Mekkah. Beliau bersafar ke Madinah, Yaman dan Irak, lalu menetap dan wafat di Mesir (hidup th 150 H - 204 H).
4. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dari Baghdad, ‘Irak (hidup th 164 H - 241 H).

Empat ulama ini sangat masyhur di kalangan umat Islam. Kepada empat imam inilah, empat madzhab fiqih dinisbatkan.

AQIDAH IMAM EMPAT
Siapapun yang meneliti aqidah para ulama Salafush Shalih, maka ia akan mendapatkan bahwa aqidah mereka adalah satu, jalan mereka juga satu. Para ulama Salafush Shalih tidak berpaling dari nash-nash Al Kitab dan Sunnah, dan tidak menentangnya dengan akal, perasaan, atau perkataan manusia.

Mereka mempunyai pandangan yang jernih, bahwa aqidah itu tidak diambil dari seorang ‘alim tertentu, bagaimanapun tinggi kedudukannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun i’tiqad (aqidah, keyakinan), maka tidaklah diambil dariku, atau dari orang yang dia lebih besar dariku. Tetapi diambil dari Allah dan RasulNya, dan keyakinan yang disepakati oleh salaful ummah (umat Islam yang telah lalu, para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Maka apa yang ada di dalam Al Qur’an wajib diyakini. Demikian juga yang hadits-hadits yang shahih telah pasti, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim” [5]. Imam Al Ashfahani rahimahullah berkata: “Seandainya engkau meneliti seluruh kitab-kitab mereka (Ahlu Sunnah) yang telah ditulis, dari awal mereka sampai yang akhir mereka, yang dahulu dari mereka dan yang sekarang dari mereka, dengan perbedaan kota dan zaman mereka, dan jauhnya negeri-negeri mereka, masing-masing tinggal di suatu daerah dari daerah-daerah (Islam); engkau dapati mereka dalam menjelaskan aqidah di atas jalan yang satu, bentuk yang satu. Pendapat mereka dalam hal itu (aqidah) satu. Penukilan mereka satu. Engkau tidak melihat perselisihan dan perbedaan pada suatu masalah tertentu, walaupun sedikit. Bahkan seandainya engkau kumpulkan seluruh apa yang lewat pada lidah mereka dan apa yang mereka nukilkan dari Salaf (orang-orang dahulu) mereka, engkau mendapatinya seolah-olah itu datang dari satu hati dan melalui satu lidah”. [6]

Termasuk Imam Empat, mereka berada di atas satu aqidah. Para ulama terkenal dari berbagai madzhab telah menulis aqidah Imam Empat ini, dan mereka semua memiliki aqidah yang sama.

Secara terperinci, aqidah Imam Empat ini antara lain dapat dilihat di dalam kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari, dosen aqidah Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud Qashim dan kitab Mujmal I’tiqad Aimmatis Salaf, karya Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki, Rektor Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud.

IMAM ABU HANIFAH
Imam Abu Hanifah t berkata: “Aku berpegang kepada kitab Allah. Kemudian yang tidak aku dapatkan (di dalam kitab Allah, aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah n . Jika aku tidak mendapatkannya di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat Beliau. Aku akan berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki, dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki di antara mereka. Dan aku tidak akan meninggalkan perkataan mereka (dan) mengambil perkataan selain (dari) mereka”. [Riwayat Ibnu Ma’in di dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim].

Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (wafat 321 H), salah seorang ulama Hanafiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, yang kemudian terkenal dengan nama “Aqidah Ath Thahawiyah”. Beliau membukanya dengan perkataan: “Ini peringatan dan penjelasan aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah di atas jalan ahli fiqih-ahli fiqih agama: Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al Anshari, Abu Abdillah Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani g , dan yang mereka yakini, berupa ushuluddin (pokok-pokok agama), dan cara beragamanya mereka (dengannya) kepada Rabbul ‘Alamin”. [Kitab Aqidah Ath Thahawiyah]

As Subki rahimahullah memberikan komentar terhadap “Aqidah Ath Thahawiyah” dengan perkataan : “Madzhab yang empat ini –segala puji hanya bagi Allah- satu dalam aqidah, kecuali di antara mereka yang mengikuti orang-orang Mu’tazilah dan orang-orang yang menganggap Allah berjisim [7], Namun mayoritas (pengikut) madzhab empat ini, berada di atas al haq. Mereka mengakui aqidah Abu Ja’far Ath Thahawi yang telah diterima secara utuh oleh para ulama dahulu dan generasi berikutnya”. [Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 28, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari].

Penerimaan para ulama terhadap Aqidah Ath Thahawiyah adalah secara umum. Karena ada beberapa perkara yang perlu dikoreksi, sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh pensyarah (pemberi penjelasan) Aqidah Ath Thahawiyah, (yaitu) Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi. Demikian juga oleh para ulama belakangan, seperti Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam ta’liq (komentar) beliau, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam syarah dan ta’liq beliau, dan Syaikh Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais di dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah Al Muyassar. Namun secara umum, para ulama menerima kebenaran aqidah tersebut.

IMAM MALIK BIN ANAS
Imam Malik bin Anas t dikenal sebagai ulama yang tegas dalam menyikapi bid’ah. Di antara perkataan beliau yang masyhur ialah: “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam (dan) ia menganggapnya sebagai kebaikan, maka ia telah menyangka bahwa (Nabi) Muhammad n telah mengkhianati risalah. Karena Allah Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. [Al Maidah:3]

Maka apa-apa yang pada hari itu bukan agama, pada hari ini pun tidak menjadi agama”. [8]

Imam Ibnu Abi Zaid Al Qairawani rahimahullah, (wafat 386 H), salah seorang ulama Malikiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, dan berisi aqidah Ahlu Sunnah, sama dengan aqidah ulama lainnya.

IMAM ASY SYAFI’I
Imam Syafi’I t berkata: “Selama ada Al Kitab dan As Sunnah, maka (semua) alasan tertolak atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi  , atau salah satu dari mereka”. [Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36].

Dan telah masyhur perkataan Imam Syafi’i rahimahullah : “Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah (yakni Al Qur’an), sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Aku beriman kepada utusan Allah dan kepada apa yang datang dari utusan Allah (yakni Nabi Muhammad ), sesuai dengan yang dikehendaki utusan Allah” [9]. Imam Abu Bakar Al Isma’ili Al Jurjani rahimahullah, (wafat 371 H), salah seorang ulama Syafi’iyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah. Beliau membukanya dengan perkataan: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepada kami dan kalian, bahwa jalan Ahli Hadits, Ahli Sunnah wal Jama’ah, ialah mengakui kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan menerima apa yang dikatakan oleh kitab Allah Ta’ala, dan apa yang telah shahih riwayatnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam" [10]. Aqidah Imam Syafi'i adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah;

Sumber aqidah Imam Syafi'i adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Beliau pernah mengucapkan: "Sebuah ucapan seperti apapun tidak akan pasti (tidak diterima) kecuali dengan (dasar) Kitabullah atau Sunnah RasulNya. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka ia adalah mengigau (membual, tidak ada artinya). Waallu a'lam." ( Manaqibusy Syafi'i, 1/470&475);

Manhaj Imam Syafi'i dalam aqidah menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, dan menolak apa yang ditolak oleh Allah dan RasulNya. Karena itu beliau menetapkan sifat istiwa' (Allah bersemayam di atas), ru'yatul mukminin lirrabbihim (orang mukmin melihat Tuhannya) dan lain sebagainya;

Dalam hal sifat-sifat Allah, Imam Syafi'i mengimani makna zhahirnya lafazh tanpa takwil (meniadakan makna tersebut) apalagi ta'thil (membelokkan maknanya). Beliau berkata: "Hadits itu berdasarkan zhahirnya. Dan jika ia mengandung makna lebih dari satu, maka makna yang lebih mirip dengan zhahirnya itu yang lebih utama." (Al-Mizanul Kubra, 1/60; Ijtima'ul Juyusy, 95).

Imam Syafi'i pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah yang harus diimani, maka beliau menjawab, 'Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dikabarkan oleh kitabNya dan dijelaskan oleh NabiNya kepada umatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya setelah hujjah (keterangan) sampai kepadanya karena Al-Qur'an turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat itu. Maka barangsiapa yang menolaknya setelah tegaknya hujjah, ia adalah kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah, ia adalah ma'dzur (diampuni) karena kebodohannya, sebab hal (nama-nama dan sifat-sifat Allah) itu tidak bisa diketahui dengan akal dan pemikiran. Allah memberitahukan bahwa Dia memiliki sifat "Yadaini" (dua tangan), dengan firmanNya: "Tetapi kedua tangan Allah terbuka" (Al-Maidah: 64). Dia memiliki wajah, dengan firmanNya: "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajahNya" (Al-Qashash: 88)." (Manaqib Asy-Syafi'i, Baihaqi, 1/412-413; Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah, Al-Lalikai, 2/702; Siyar A'lam An-Nubala', 10/79-80; Ijtima' Al-Juyusy Al-Islamiyah, Ibnul Qayyim, 94).

Kata-kata "As-Sunnah" dalam ucapan dan wasiat Imam Syafi'i dimaksudkan untuk tiga arti.

Pertama, adalah apa saja yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah, berarti lawan dari bid'ah.

Kedua, adalah aqidah shahihah yang disebut juga tauhid (lawan dari kalam atau ra'yu). Berarti ilmu tauhid adalah bukan ilmu kalam begitu pula sebaliknya.

Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang mendalami ilmu kalam, maka seakan-akan ia telah menyelam ke dalam samudera ketika ombaknya sedang menggunung". (Al-Mizanul Kubra, Asy-Sya'rani, 1/60).

Ketiga, As-Sunnah dimaksudkan sebagai sinonim dari hadits yaitu apa yang datang dari Rasulullah selain Al-Qur'an.

Ahlus Sunnah disebut juga oleh Imam Syafi'i dengan sebutan Ahlul Hadits. Karena itu beliau juga berwasiat: "Ikutilah Ahlul Hadits, karena mereka adalah manusia yang paling banyak benarnya." (Al-Adab Asy-Syar'iyah, Ibnu Muflih, 1/231). "Ahli Hadits di setiap zaman adalah bagaikan sahabat Nabi." (Al-Mizanul Kubra, 1/60)

Di antara Ahlul Hadits yang diperintahkan oleh Imam Syafi'i untuk diikuti adalah Imam Ahmad bin Hanbal, murid Imam Syafi'i sendiri yang menurut Imam Nawawi : "Imam Ahmad adalah imamnya Ashhabul Hadits, imam Ahli Hadits." (Al-Majmu', 1/10).

IMAM AHMAD BIN HANBAL
Imam Ahmad bin Hambal  berkata: “Pokok-pokok Sunnah menurut kami ialah, berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah berada di atasnya, dan meneladani mereka … “ [Riwayat Al Lalikai]

Imam Abu Muhammad Al Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Al Barbahari rahimahullah (wafat 329 H), salah seorang ulama Hanbaliyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah; aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, yang bernama Syarhus Sunnah. Di antara yang beliau katakan di awal kitab ini ialah: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu. Bahwa agama hanyalah yang datang dari Allah Tabaraka wa Ta’ala (Yang Banyak Memberi Berkah dan Maha Tinggi), tidak diletakkan pada akal-akal manusia dan fikiran-fikiran mereka. Dan ilmunya (agama) di sisi Allah dan di sisi RasulNya. Maka janganlah engkau mengikuti sesuatu dengan hawa-nafsumu, sehingga engkau akan lepas dari agama dan keluar dari Islam. Sesungguhnya tidak ada argumen bagimu, karena Rasulullah  telah menjelaskan Sunnah (ajaran agama/aqidah) kepada umatnya, telah menerangkannya kepada para sahabat Beliau, dan mereka adalah Al Jama’ah. Mereka adalah As Sawadul A’zham (golongan mayoritas). Dan As Sawadul A’zham (yang dimaksudkan) adalah al haq dan pengikutnya. Barangsiapa menyelisihi para sahabat Rasulullah  di dalam sesuatu dari urusan agama, (maka) dia telah kafir”. [11]

KESALAHAN YANG WAJIB DILURUSKAN
Ada beberapa kesalahan yang harus dibenarkan seputar kesatuan aqidah para ulama. Di antaranya:

1. Anggapan bahwa beragamnya madzhab (pendapat yang diikuti) dalam masalah fiqih, berarti beragamnya aqidah para imam.

Anggapan ini batil, sebagaimana telah kami sampaikan tentang kesatuan aqidah para ulama Ahlu Sunnah. Nampaknya, anggapan ini sudah ada semenjak lama. Pada zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau menampakkan aqidah Salafiyah Ahli Sunnah wal Jama’ah, (tetapi) beliau dituduh menyebarkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal t . Kemudian beliau menjawab: “Ini adalah aqidah seluruh imam-imam dan Salaf (para pendahulu) umat ini, yang mereka mengambilnya dari Nabi n . Ini adalah aqidah Muhammad n “. Lihat Munazharah Aqidah Al Wasithiyah.

2. Anggapan bahwa perbedaan Ahlu Sunnah dengan firqah Syi’ah dan semacamnya dari kalangan Ahli Bid’ah, seperti perbedaan di antara madzhab empat.

Bahkan saat sekarang ini, di negara Mesir muncul lembaga yang disebut Darut Taqrib, dengan semboyan mendekatkan antara Madzhab Enam. Yaitu madzhab Hanafiyah, madzhab Malikiyah, madzhab Syafi’iyah, madzhab Hanbaliyah, madzhab (Syi’ah) Zaidiyah, dan madzhab (Syi’ah) Al Itsna ‘Asyariyah. Lembaga ini menganggap, bahwa madzhab empat yang beraqidah Ahlu Sunnah, sama seperti Syi’ah yang sesat. Padahal telah kita ketahui, sebagaimana kami sampaikan di atas, bahwa aqidah seluruh imam itu satu, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun Syi’ah, Rafidhah, maka para ulama telah sepakat bahwa mereka adalah ahli bid’ah.

Setelah kita mengetahui bahwa aqidah Imam Empat sama, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, bukan aqidah Asy’ariyah, bukan pula aqidah Maturidiyah, maka sepantasnya orang-orang yang menyatakan mengikuti imam-imam tersebut dalam masalah fiqih, juga mengikuti imam mereka dalam masalah aqidah. Dengan begitu mereka akan bersatu di atas al haq. Wallahul Musta’an.
Fungsi Aqidah
Aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Seorang yang mamiliki aqidah yang kuat, pasti akan melakukan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia dan bermu’amalat dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah swt kalau tidak dilandasi dengan aqidah. peranan yang sangat besar dalam hidupnya antara lain:
• Menopang seluruh prilaku, membentuk dan memberi corak dan warna kehidupannya dalam hubungannya dengan makhluk lain dan hubungannya dengan Tuhan.
• Aqidah/ keyakinan akan memberikan ketenangan dan ketentraman dalam pengabdian dan penyerahan dirinya secara utuh kepada Zat yang Maha Besar
• Iman memberikan daya dorong utama untuk bergaul dan berbuat baik sesama manusia tanpa pamrih.
• Dengan iman seorang muslim akan senantiasa menghadirkan dirinya dalam pengawasan Allah semata.
• Aqidah sebagai filter, penyaring budaya-budaya non Islami (sekularisasi)

Daftar Pustaka

[1]. Hanafiyah, ialah orang-orang yang mengikuti madzhab Imam Abu Hanifah rahimahullah
[2]. Ahli dzimmah, ialah orang kafir yang menjadi warga negara di bawah kekuasaan negara Islam
[3]. Syafi’iyyah, ialah orang-orang yang mengikuti madzhab Imam Syafi’i rahimahullah
[4]. Lihat Tarikh Fiqih Islami, hlm. 171-176, karya Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar.
[5]. Lihat Majmu’ Fatawa (3/161).
[6]. Lihat Al Hujjah Fi Bayanil Mahajjah (2/224-225). Dinukil dari kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 73, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari.
[7]. Yakni menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, Pen
[8]. Al I’tisham (1/64), karya Asy Syatibi.
[9]. Majmu’ Fatawa (4/2).
[10]. I’tiqad Aimmatil Hadits Lil Imam Abi Bakar Al Isma’ili , hlm. 49, karya, tahqiq: Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais.
[11]. Syarhus Sunnah, hlm. 68, no. 5, karya Imam Al Barbahari, tahqiq Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar Radadi.
[12] manaqib al habib ahmad bin alwi al haddad

No comments:

Post a Comment

Kepercayan, sistem pemerintahan Bangsa inca, Bangsa Maya, bangsa Aztec dan peradaban india kuno

1   Kepercayaan dan sistem pemerintahan Bangsa Inca, bangsa maya dan bangsa Aztec Kepercayaan Bangsa Inca: Masyarakat Inca perca...