Jurnal Hukum Islam





Review Jurnal 
HUKUM ISLAM (Perspektif Teori Hubungan Hukum dengan Perubahan Sosial)

karangan: Dr. H.A. Malthuf Siroj, M.Ag, Jurnal




Satjipto Rahardjo, menulis, bahwa hukum mempunyai kinerja sebagai berikut: Merumuskan hubungan-hubungan di antara anggota-anggota masyarakat dengan menunjukkan perbuatan apa saja yang dilarang dan yang diperbolehkan. Mengalokasikan dan menegaskan siapa saja yang boleh menggunakan kekuasaan atas siapa, berikut prosedurnya.Penyelesaian sengketa-sengketa.Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat apabila keadaan berubah. Soerjono Soekanto, mengutip Roucek, menulis bahwa yang dimaksud dengan kontrol sosial adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk sebuah proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak, atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan.[vi]  Jadi, fungsi kontrol sosial merupakan sebuah proses yang dilakukan untuk mempengaruhi anggota masyarakat agar bertingkah laku sesuai harapan masyarakat itu sendiri pada masa sekarang. Fungsi ini dijalankan oleh hukum dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang melibatkan kekuasaan negara sebagai sebuah institusi.
menurut Roscoe Pound seorang ahli hukum penganut aliran sosiologis dalam membuat peraturan hukum harus melakukan hal-hal sebagai berikut:
1.Mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran hukum.
2. Melakukan studi sosiologis dalam rangka mempersiapkan peraturan perundang-undangan. Membuat undang-undang dengan metode komparatif selama ini dianggap sebagai cara yang efektif. Namun demikian, tidak cukup apabila kita hanya mengkomparasikan suatu peraturan dengan yang lainnya. Yang lebih penting dalam konteks ini adalah mempelajari bagaimana peraturan itu beroperasi dalam masyarakat serta efek yang ditimbulkannya apabila memang ada, untuk kemudian diaplikasikan.
3. Melakukan studi tentang bagaimana membuat peraturan-peraturan hukum menjadi efektif. Selama ini, orang menganggap apabila suatu aturan telah dibuat, maka ia akan bekerja dengan sendirinya. Melakukan studi secara serius tentang bagaimana membuat peraturan perundang-undangan serta keputusan-keputusan pengadilan yang demikian banyak itu dapat efektif adalah sebuah keharusan.
4' Memperhatikan sejarah hukum. Studi ini tidak hanya mengenai bagaimana ajaran-ajaran itu terbentuk dan berkembang dan dipandang sebagai bahan kajian hukum, melainkan juga efek sosial apa yang ditimbulkan oleh ajaran-ajaran itu di masa lalu dan bagaimana cara efek sosial tersebut timbul. Studi ini untuk mengetahui bagaimana hukum pada masa lalu itu tumbuh dalam kondisi sosial, ekonomis, dan psikologis tertentu, dan bagaimana ia dapat menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi tersebut, dan seberapa jauh kita dapat mengacu dan mengabaikan hukum itu untuk memperoleh hasil yang diinginkan.
5. Pentingnya melakukan penyelesaian individual dengan menggunakan nalar yang selama ini masih lebih sering dikorbankan demi mencapai tingkat kepastian yang sebetulnya tidak mungkin. Aliran ini menerima kehadiran peraturan-peraturan hukum sebagai pedoman umum bagi para hakim yang akan menuntunnya menuju keputusan yang adil, tetapi menekankan agar dalam batas-batas yang cukup luas, para hakim harus bebas dalam memutus kasus yang dihadapinya agar dapat memenuhi tuntutan keadilan di antara pihak-pihak yang bersengketa dan bertindak sesuai dengan nalar masyarakat pada umumnya.
6. Pada akhirnya, semua tuntutan tersebut di atas hanyalah sarana-sarana untuk mencapai suatu tujuan, yaitu bagaimana mengupayakan efektivitas peraturan-peraturan  hukum agar dapat mencapai  tujuan-tujuannya.
Di Indonesia, pandangan baru yang modern tentang fungsi hukum itu diperkenalkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan mula-mula mengemukakan pandangan Roscoe Pound yang memandang hukum sebagai alat rekayasa sosial (social engineering), kemudian secara kreatif mengakomodasi dan mengolah pandangan Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Northrop, Laswell dan McDougal dikaitkan dengan realitas sosio-kultural masyarakat Indonesia, dan ia sampai pada kesimpulan bahwa hukum mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai alat pemelihara ketertiban masyarakat (menjamin kepastian dan ketertiban) dan alat pembaruan masyarakat

Hukum Islam dan  Perubahan Sosial
 Teori-teori tentang hubungan hukum dengan perubahan sosial dan fungsi hukum sebagaimana di atas, dapat berlaku juga bagi hukum Islam, walaupun tidak sepenuhnya. Yang membedakan hukum Islam dengan hukum sekuler adalah bahwa sumber utama hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits Nabi, yang keduanya merupakan wahyu dari Allah SWT. Sungguhpun demikian, di dalam kedua sumber hukum itu terdapat teks-teks yang sebagian bersifat qath’i (aksiomatik) dan sebagian yang lain bersifat dhanni (hipotetik). Di dalam teks-teks yang dhanni inilah intervensi akal manusia dimungkinkan melakukan interpretasi-interpretasi dan menyesuaikan pemaknaannya dengan tuntutan perubahan sosial melalui aktivitas yang disebut ijtihad. Bahkan tidak hanya teks-teks dhanni saja, teks-teks yang qath’i sekalipun apabila illat hukumnya dapat diketahui dan mengalami transformasi maka hukum yang dikandung teks-teks tersebut dapat mengalami perubahan. Di sinilah letak hubungan hukum Islam dengan perubahan sosial secara timbal balik, artinya bahwa hukum Islam dapat mempengaruhi perubahan sosial, dan sebaliknya perubahan sosial juga dapat mempengaruhi perubahan hukum Islam. menetapkan hukum bagi masyarakat, Islam selalu mempertimbangkan kesiapan mereka dalam menerima beban hukum itu. Oleh karenanya, cara yang ditempuh adalah menggunakan tahapan-tahapan (tadarruj), artinya tidak secara simultan.  Contohnya, penetapan keharaman tuak (khamr) dilakukan secara bertahap, karena orang Arab ketika itu dipandang belum siap menerima ketetapan hukum itu mengingat kebiasaan minum tuak di kalangan mereka sudah mendarah-daging dan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi mereka. Pada mulanya, Islam hanya melarang mereka mabuk ketika akan melakukan shalat, kemudian tahap berikutnya, teks Al-Qur’an menjelaskan bahwa di dalam tuak (demikian juga perjudian) terdapat dosa besar, di samping manfaatnya yang banyak dan dosanya yang lebih besar daripada manfaatnya. Di sini, pelarangan tuak (dan perjudian) belum dijelaskan secara tegas. Akhirnya ketika kondisi psikologis masyarakat sudah dinilai siap untuk menerima ketetapan final diharamkannya tuak (dan perjudian), diturunkanlah ayat yang menyatakan bahwa tuak (perjudian dan lain-lain) adalah perbuatan setan yang keji yang harus dihindari.
 Lebih dari itu, pada dasarnya semua teks Al-Qur’an dan Hadits itu diwahyukan oleh Allah kepada Nabi secara bertahap sebagai bentuk respons terhadap setiap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, kita mengenal asbab-al-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an) dan asbab al-wurud (sebab-sebab kemunculan Hadits).
Setelah Nabi wafat, terputuslah wahyu dan nasakh tidak berlaku lagi. Pasca-Nabi muncullah para khalifah yang juga menetapkan hukum, di samping berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, juga berdasarkan ijtihad dengan memperhatikan perkembangan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Contohnya adalah keputusan Khalifah Umar ibn Khattab tentang harta rampasan perang (ghanimah), khususnya harta yang tidak bergerak. Setelah Umar memperoleh informasi tentang keberhasilan tentara Islam  membebaskan Syam, Irak, dan negeri Khusru (Persia) maka ia merasa perlu membuat kebijakan kontroversial demi menjaga stabilitas moneter negara yang ketika itu sedang mengalami krisis. Berkenaan dengan harta yang bergerak, Umar sepenuhnya melaksanakan ketentuan yang telah digariskan oleh Al-Qur’an  Surat Al-Anfal ayat 41 dan yang juga telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam masa hidupnya. Ia mengambil seperlima untuk negara dan membagikan empat perlimanya kepada masing masing tentara. Tetapi, berkenaan dengan tanah pertanian, Umar berpendapat lain. Menurutnya, tanah itu harus dikuasai oleh negara dan tidak dibagikan kepada para tentara dengan cara membiarkannya di tangan pemilik asalnya tetapi dengan mengenakan pajak (kharaj). Pemasukan pajak itu lalu dianggarkan untuk kepentingan rakyat secara umum, setelah dipotong gaji tentara yang bertugas di pos-pos pertahanan di negeri negeri yang dibebaskan tersebut.[x] Contoh lain, Khalifah Umar ibn Khattab tidak menghukum tidak pidana pencurian yang dilakukan pada masa krisis ekonomi,[xi] sebab menurutnya, penjatuhan hukuman terhadap tindak pidana tersebut pada masa krisis ekonomi tidak akan dapat merealisasikan tujuan hukum yang ingin dicapai, mengingat faktor pendorong terjadinya pencurian itu lebih kuat pengaruhnya dibanding hukumannya. Juga Umar ibn Khattab membuat ketetapan hukum bahwa seorang perempuan yang kawin dalam masa ‘iddah menjadi haram selamanya bagi seorang laki-laki yang mengawininya, karena menurutnya, orang yang bersegera kepada satu hal sebelum waktunya, harus dikenai sanksi dengan pelarangan.[xii] Contoh-contoh di atas merupakan representasi dari sekian banyak pemikiran Khalifah Umar ibn Khattab yang rasional dan tampak kontroversial, karena dalam menetapkan hukum, ia sangat memperhatikan kondisi sosiologis masyarakat, dan dalam pandangannya, hukum bisa berubah apabila kondisi sosial berubah.         Karakteristik pemikiran Umar yang demikian juga diikuti oleh sahabat-sahabat yang lain, misalnya Abdullah ibn Mas’ud, Zaid ibn Tsabit, dan lain-lain.[xiii]
Pasca-sahabat muncul para tabi’in. Pada masa ini terdapat dua tren pemikiran hukum yang berbeda satu sama lain, yaitu mazhab hadits dan mazhab ra’yu (rasio). Mazhab hadits, sesuai namanya, dalam menetapkan hukum selalu menggunakan sumber-sumber tekstual dan jarang menggunakan ra’yu kecuali dalam keadaan terpaksa. Mazhab ini berpusat di Madinah, yang terkenal sebagai sentra hadits. Sedangkan mazhab ra’yu sering menggunakan rasio dalam menetapkan hukum. Mazhab ini berprinsip bahwa hukum Islam dapat dirasionalkan dan mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Hukum ditetapkan berdasarkan ‘illat-nya, dan oleh karena itu, hukum bisa berubah sejalan dengan perubahan ‘illat. Mazhab ini berpusat di Irak yang terkenal sebagai sentra peradaban Islam.
Pada masa berikutnya muncul tokoh-tokoh mazhab yang lebih bersifat personal, di antara yang terkenal misalnya adalah mazhab Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Malik, mazahab Imam Syafi’I, dan mazhab Imam Ahamad ibn Hanbal, dan lain-lain. Masing-masing mazhab ini menformulasikan kerangka berpikir dan metodologi mazhabnya. Misalnya, Imam Abu Hanifah terkenal dengan istihsan-nya, Imam Malik terkenal dengan mashlahah mursalah-nya, dan Imam Syafi’i terkenal dengan qiyas-nya. Semua metode ini selalu mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat, yang berarti bahwa apabila kemaslahatan itu mengalami perubahan maka konsekuensinya adalah hukumnya pun akan mengalami perubahan pula. Selain itu, Imam Syafi’i juga terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadid-nya, yaitu perubahan fatwanya setelah bermigrasi dari Irak ke Mesir karena perbedaan kondisi sosiologis yang ia temukan di kedua negara itu. Setelah periode imam mazhab ini berlalu, muncullah para ulama yang menformulasikan teori-teori hukum, misalnya Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, yang menyatakan bahwa tidak dapat dipungkiri terjadinya perubahan hukum sebab perubahan tempat, waktu, dan lingkungan. Selain itu, al-Syatibi, dengan konsep maqashid al-syari’ah-nya, juga memposisikan mashlahah sebagai tujuan hukum Islam yang harus menjadi fokus seorang mujtahid dalam menetapkan hukum Islam. Juga Najm al-Din al-Thufi al-Hanbali yang terkenal dengan konsep mashlahah-nya menyatakan bahwa apabila mashlahah berkontradiksi dengan teks atau ijma’, maka yang harus diperioritaskan adalah mashlahah atas dasar bayan.perkembangan sosial masyarakat, misalnya Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam yang mendapat predikat  sebagai ormas tradisionalis, menetapkan aturan tentang sistem pengambilan keputusan hukum berdasarkan Keputusan Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung Tahun 1992 yang di antaranya adalah bahwa pengambilan keputusan hukum harus menggunakan kerangka kajian masalah yang terdiri dari  analisis masalah yang meliputi sebab yang melatar belakangi terjadinya kasus itu dari aspek ekonomi, budaya, politik dan sosial, juga analisis dampak ditinjau dari aspek-aspek tersebut. Sistem pengambilan keputusan hukum NU yang demikian ini menunjukkan bahwa pertimbangan sosiologis harus menjadi pijakan utama dalam pengambilan keputusan hukum di lingkungan NU, sehingga fatwa hukum yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat. Selain NU, terdapat Muhammadiyah, ormas Islam yang mendapat sebutan sebagai ormas rasionalis-modernis, dan mengklaim tidak terikat dengan mazhab tertentu, dalam perumusan fatwanya tentu juga sangat memperhatikan pertimbangan sosiologis.
      Selain ormas Islam, di Indonesia juga muncul para pemikir hukum Islam yang merepresentasikan pemikir-pemikir personal, di antaranya yang terkenal adalah Hasbi Ash-Shiddiqi dengan tema Fiqh Indonesia, Hazairin dengan Fiqh Mazhab Nasional, Munawir Syadzali dengan Reaktualisasi Ajaran Islam, Abdurrahman Wahid dengan Pribumisasi Islam, Sahal Mahfudz dengan Fiqh Sosial, dan Masdar Farid Mas’udi dengan Agama Keadilan.[xv] Tema-tema fiqh (hukum Islam) bercorak lokal yang diangkat oleh tokoh-tokoh di atas, meunjukkan bahwa mereka ingin mendesain hukum Islam selalu bersinergi dengan perkembangan kondisi sosiologis masyarakat yang dinamis sehingga hukum Islam benar-benar dapat dihayati sebagai hukum yang rahmatan li al-‘alamin.


No comments:

Post a Comment

Kepercayan, sistem pemerintahan Bangsa inca, Bangsa Maya, bangsa Aztec dan peradaban india kuno

1   Kepercayaan dan sistem pemerintahan Bangsa Inca, bangsa maya dan bangsa Aztec Kepercayaan Bangsa Inca: Masyarakat Inca perca...